Rhea 28

2141 Words
Tidak sepenuhnya salah. Ada alasan kenapa Drian tidak begitu terbuka pada keluarganya. Dan apa? Keluarga? Keluarga yang mana? Keluarga baru Papa? Drian tidak mengenal apa itu keluarga sejak Mama meninggal dan Papa yang harusnya masih berkabung sama sepertinya malah menikah lagi. Kenapa Papa yang hidup lebih lama dengan Mama dibanding Drian bisa dengan cepat melupakan wanita yang dulu disebutnya sebagai love of my live? Keluarga Audi adalah kerabat Drian dari pihak Papa. Kerabat yang Drian ingat sekali tidak bergeming saat belasan tahun yang lalu Papa mengumumkan pernikahan keduanya. Hal ini memang terjadi sudah lama sekali dan Drian juga sudah bisa menerima semuanya, istri baru Papa dan adik-adik tirinya. Tapi bukan berarti dia bisa melebur bersama keluarga baru Papa atau pun menumpahkan segala keluh kesahnya pada kerabat yang ada. Bagaimana ya cara menjelaskannya? Kenapa Drian harus mengadu pada mereka saat ia sudah mandiri dan memiliki keluarga sendiri? Bahkan dulu saat ia terombang ambing karena kehilangan Mamanya, tidak ada yang benar-benar peduli. Apakah kamu melihat poin yang ingin Drian tunjukkan? Sedang saat Drian berada di titik benar-benar membutuhkan saja mereka semua mengabaikannya. Lalu apa alasan yang membuat mereka memperhatikan Drian saat ini? Tidak ada. Drian tidak menemukan alasan seperti itu. Sedangkan Rhea, ia kehilangan dua ibu di awal pernikahan mereka. Rhea bukan sengaja menarik diri. Istrinya Drian tersebut hanya tidak punya tempat mengadu lagi. Keadaan menjadi begitu pas bagi mereka berdua sehingga Zaki, Audi atau pun semua orang melihat seolah-olah Drian dan Rhea membangun dunia sendiri yang terisolasi dari dunia luar. Sekarang, setelah mendengar semua hal tentangnya dan Rhea dari sudut pandang Zaki, Drian mulai punya pemikiran lain. Apakah selama ini, by any chance, Rhea punya sesuatu yang tidak ia ceritakan padanya? Baby blues? Ini kali pertama Drian mendengarnya setelah sekian lama. Bukan berarti Drian tidak tau apapun tentang sindrom ini, hanya saja ia tidak pernah menyangka Rhea akan mengalami hal ini. Drian mengatakan hal ini, tentang Rhea yang menyembunyikan sesuatu, karena dirinya pun menyimpan sesuatu untuk dirinya sendiri. Drian mengetahui dengan pasti dan bahkan masih mengingat bagaimana perasaan tersbut, bahwa Rhea terasa jauh. Wanita itu berubah dan mungkin hal ini ada hubungannya dengan sesuatu yang tidak Rhea bagi dengannya. Makanya, jika Zaki melihat ada dinding yang membatasi orang lain dengan pernikahan Rhea dan Drian. Bagaimana jika ternyata masih ada dinding di dalam dinding tersebut? “People can get married without flirting, like you guys did, but not without talking.” Ini adalah kalimat Zaki sebelum pulang beberapa jam yang lalu tapi Drian masih bisa mendengarnya dengan jelas. Seolah-olah Zaki masih ada di sini dan mengatakan kalimat tersebut berulang-ulang. Nyatanya Drian sendiri yang memutar kalimat tersebut berkali-kali di dalam benaknya. Dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Tidak sedikit pun mata drian terpejam karena pikirannya dipenuhi oleh Rhea dan semua yang mungkin istrinya itu alami sendiri selama ini. >>> Rhea langsung duduk begitu mendengar suara alaram ponselnya memekakkan telinga. Jantung Rhea berdebar kencang karena harusnya ia tidak membuat banyak suara seolah-olah ia tidak berada di apartemen Om Drian. Gadis itu memastikan ponselnya tidak akan membuat keributan lagi dan dalam kamar yang menyala dengan terang karena dia tidak memadamkan lampu ketika tidur, yang mana hal yang berbeda sekali dengan Rhea versi istrinya Om Drian, Rhea termenung. Apa yang akan ia lakukan hari ini? Om Drian marah dan Rhea tidak mungkin mengingatkan pria itu dengan kemarahannya jika Rhea memustukan untuk tetap pergi les. Tapi tidak pergi kemana-mana dengan Om Drian yang akan berada di apartemen seharian tidak terdengar bagus. Rhea memutuskan untuk tidur lagi, kemudian bangun karena mendengar suara tangisan Ale yang pasti sedang menunggunya di depan pintu kamar. Ale pasti ingin main dengannya karena seharian kemaren mereka benar-benar punya kegiatan masing-masing. Gadis itu berjalan mondar mandir di depan balik pintu kamarnya dengan suara tangis Ale sebagai pengiring. Beberapa saat kemudian dia bisa mendengar Om Drian yang terkekeh dan membawa putrinya menjauh. “Yaya masih tidur, Sayang,” begitu ucap Om Drian pada Alesha. Namun pada akhirnya Rhea keluar dari kamar. Gadis itu ingat bahwa Ale belum mandi dan satu-satunya kamar mandi ada di tempat ia mengurung diri. Begitu keluar dari kamar, Rhea langsung mendekati Ale yang untungnya sedang main sendirian di depan tivi. Dia langsung memeluk Ale karena Om Drian tentu tidak akan marah-marah jika Ale ada pada Rhea. Dan mumpung pria itu belum melihatnya, Rhea segera membawa Ale ke dalam kamar. Untuk bersembunyi dengan dalih memandikan Ale. Mereka bisa menghabiskan lebih dari satu jam untuk mandi berdua dan setelahnya keduanya bisa tidur siang. Pokoknya sebisa mungkin tidak bertatap muka dengan Om Drian. Keduanya benar-benar baru keluar dari kamar mandi satu jam setelah mereka masuk ke dalam ruangan tersebut. Dan tidur siang adalah hal yang sangat mustahil karena Ale begitu bersemangat. Rhea lupa bahwa semalam anak itu tidur cukup awal. Sangat tidak mungkin Ale mengantuk secepat yang ia harapkan. Dan lebih tidak mungkin lagi membuat Ale berhenti bicara dengan bahasa yang hanya dia sendiri saja yang mengerti. Namun begitu Rhea bisa membuat bocah itu tetap bersamanya di dalam kamar. “Sst..” desis Rhea pada Ale untuk yang sekian kalinya. Dan bocah itu meletakkan telunjuknya di depan bibir hanya untuk kembali bicara sesuka hati. Khas anak-anak yang baru mulai bicara deh pokoknya. Jika Ale memiliki waktu yang menyenangkan, Rhea sebaliknya karena ia tidak bisa terhubung ke internet. Gadis itu yang selama ini hanya menyentuh setrikaan saat terpaksa, saat Om Drian sudah mengomel, bahkan mencoba mengisi kebosanan dengan menyetrika. Namun lima belas menit kemudian Rhea menyimpan kembali benda tersebut ke dalam lemari dan beralih mendandani Ale dengan semua aksesoris yang ia punya. Mulai dari menggantikan pakaian dan memotret tiap penampilan bocah perempuan ini. Rambut sebahu Ale diikat dari yang satu di puncak kepala sampai satu di puncak kepala, kiri dan kana serta belakang. Rhea bahkan mengepang rambut Ale sampai akhirnya empat setengah jam kemudian bocah itu tertidur dengan sendirinya. Dan Rhea benar-benar tetap pada pendiriannya untuk tidak keluar dari kamar. >>> “Udah bangun? Ale masih tidur?” tanya Drian pada Rhea yang tampak sangat terkejut melihatnya. Apa Rhea pikir Drian sedang tidak ada di apartemen makanya dia baru keluar? “...” “Ayo makan! Aku tau kamu lapar.” Rhea yang ketahuan mengendap-endap tidak punya pilihan lain selain mengikuti langkah Om Drian menuju meja makan. Rhea akui nasi goreng yang tersaji di atas meja makan benar-benar menggugah selera. Mana masih panas. Gadis yang mengurung diri sejak pagi ini, yang entah kapan menculik Ale dan membawanya ke dalam kamar itu mengerjap-ngerjalkan matanya melihat Drian ikutan menarik kursi. “Kamu ga mau makan sama aku?” “Eh- ga gitu, kok, Om,” seru Rhea buru-buru saat Om Drian hendak berbalik. Om Drian jarang masak tapi beliau selalu memastikan setidaknya sekali sehari Rhea makan nasi. Dan hari ini sepertinya beliau cukup senggang sampai bisa memasak nasi goreng. Biasanya yang sering Rhea temukan adalah nasi, telur ceplok dan saus sambal. “Hm..” gumam Rhea saat satu sendok nasi goreng tersebut masuk ke dalam mulutnya. Segera saja dia melupakan kecanggungan karena sedang bersama Om Drian. “Om ga makan tomatnya?” tanya Rhea pada Drian yang sengaja membuat suara antara sendok dan piringnya. Sehingga Rhea melihatnya mendorong potongan tomat yang ada di piringnya lebih ke pinggir. “Kamu suka?” “Suka.” Deg. ‘Okay,’ ucap Drian membatin kemudian memindahkan tomatnya pada Rhea. Lagi pula memang ini tujuannya. Mengenal Rhea lebih dalam lagi. “Kamu suka strawberry?” “Ada?” tanya Rhea yang memang isi kepalanya itu tidak jauh-jauh dari makan. “Kalau kamu suka kita bisa beli. Tunggu Ale bangun dulu nanti kita belanja buah-buah yang lain.” Dan respon Rhea berikutnya membuat senyum menghiasi wajah Drian karena Rhea menyebutkan plum sebagai buah yang lebih ingin ia beli nanti. Pria itu masih melakukan misinya dengan mengajukan pertanyaan demi pertanyaan pada Rhea sampai akhirnya putri kecilnya keluar dari kamar dengan rambut yang entah bagaimana cara menamainya. Rambut Ale semuanya diikat dan ikatannya lebih dari sepuluh. Kemudian rambutnya dikepang di tiap ikatannya itu sehingga kepala Ale terlihat bertanduk-tanduk. “Sejak kapan kamu bisa ngepang rambut, Rhe? Ga cuma ngepang rambut Ale, kamu juga ga kesusahan ngepang rambutmu sendiri.” “Sejak kelas lima SD kayaknya,” jawab Rhea yang sudah memeluk Ale. Dia menggendong balita perempuan itu lebih cepat dari Om Drian. Rhea mengerti bahwa Om Drian sudah tidak semarah semalam tapi apa saja bisa terjadi bukan? Drian menggeleng pelan. Ibuk sendiri yang pernah cerita pada Drian bahwa Rhea tidak bisa mengepang rambutnya sendiri. Dan Drian pernah melihat sendiri bagaimana Rhea selalu duduk di lantai setiap kali Ibuk duduk di sofa. Rhea akan memberikan sisirnya pada Ibuk dan keduanya akan tertawa geli pada kebiasaan Rhea yang satu ini. Gemar sekali membuat Ibuk menyentuh dan mengelus-elus kepalanya. Setelah berbagai pertanyaan dilontarkan, Drian merasa Rhea terasa seperti orang yang sangat berbeda dengan Rhea yang pernah dikenalnya. “Ada yang beda dengan Rhea jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya,’ suara pengajar perempuan yang kemaren ia temui kembali menggema di dalam kepala Drian. Kalimat tersebut diutarakan sang perempuan setelah menanyakan dimana Rhea sebelumnya belajar. “Bahkan pengetahuan yang tidak perlu usaha besar untuk mengingatnya saja Rhea tidak bisa menjawab dengan benar. Seperti siapa presiden pertama negara kita, kapan negara kita merdeka, sistem pemerintahan negara kita dan bahkan tanggal lahirnya saja, Rhea menjawab dengan salah. If this was a book, kita bisa aja bilang Rhea datang dari dunia lain. Yet it wasn’t, makanya jika ternyata Rhea bukan sengaja menjawab dengan salah, jika Rhea memang punya kesulitan untuk mengingat banyak hal. Apa kita periksa aja?” “...” “Mungkin MRI bisa bantu kita nyari tau apa yang salah.” Drian menyerngit memandang wanita bernama Dewi yang duduk tepat di depannya. Tidak kah wanita ini merasa bahwa dirinya hidup di dalam buku? MRI? Ini kali pertama Drian mendengar saran dari seorang pengajar untuk melakukan MRI pada siswanya? Tidakkah konseling lebih tepat untuk ranah guru? Sekali lagi, MRI? Apa wanita ini hidup dalam dunia khayalan dan dia berprofesi sebagai dokter di dalamnya? Drian tau bahwa mereka tidak akrab, bahkan baru pertama kali bertemu. Hanya saja pria itu ingin sekali meletakkan punggung tangannya di jidat Dewi untuk memastikan suhu tubuh wanita itu normal. Sedangkan Dewi yang sedang berada di bawah pengaruh Giam yang mana ia bersumpah tidak akan melakukan hal ini untuk yang kedua kalinya pada siapapun, kembali menengur Drian yang menatapnya tanpa berkedip dengan kedua alis menyatu, “Bapak Adrian?” “Ya? Maksud saya, maaf. Saya sedang banyak pikiran. Rhea belajar di sekolah biasa, Bu. Anak ini memang tidak mau belajar dan selalu membuat masalah. Ibu tidak perlu khawatir. Saya janji akan menegur Rhea. Kalau begitu, permisi, Bu.” “Sistem pemerintahan negara kita apa Rhe?” “Kenapa pertanyaan Om makin aneh?” tanya Rhea yang menyuapkan nasi gorengnya pada Ale. Putrinya Om Drian tampak lucu dengan caranya mengunyah karena hanya memiliki beberapa gigi saja. “Jawab aja.” “Parlementer.” Deg. Kali ini degub jantung Drian lebih cepat dari saat Rhea mengaku menyukai tomat. Ada alasan kenapa Drian mengajukan pertanyaan ini. Apa kata Dewi kemaren padanya? If this was a book? Kenyataannya apa yang sedang Drian alami memang terdengar tidak masuk akal dan hanya akan terjadi di dalam buku-buku fiksi. Makanya karena Drian sendiri tau bahwa kehadiran Rhea disini bersamanya dan Ale bahkan mungkin hanya akan terjadi di dunia fiksi, dan dia juga pernah dengan sarkas mengatakan bahwa sedang terjadi drama fantasi pada Zaki saat temannya itu pertama kali bertemu Rhea, apa salahnya mengajukan beberapa pertanyaan lainnya? “Kapan negara kita merdeka?” tanya Drian setelah mengangguk pelan. Seolah-olah Rhea menjawab pertanyaannya dengan benar. “Tiga belas september tahun sembilan belas tiga dua.” “Oh..o-okay.” “Tanggal ulang tahun kamu?” Senyum yang tercetak di wajah Rhea sebelum gadis itu menjawab pertanyaan barusan membuat bulu kuduk Drian berdiri. Rasa-rasanya dia tidak sanggup untuk mendengar jawaban Rhea. “Tiga belas september, semua orang ngerayain ulang tahunku, loh, Om. Aku sering bilang sama Bapak kalo aku ga cuma anak beliau tapi juga anak negara kita soalnya aku lahir di hari kemerdekaan kita.” “Kamu sama Ale siap-siap! Kita jajan bertiga,” ucap Drian yang tidak bisa tetap menatap Rhea dengan pandangan normal. Semakin lama gadis ini duduk di depannya maka tidak mungkin Drian menatapnya seperti menatap hantu. Secepat diperintahkan secepat itu pula Rhea meninggalkan Drian. “Rhea ulang tahun dua puluh tiga September,” ucap Drian lirih. Mereka sudah merayakan hal ini sebanyak tiga kali. Dan tidak mungkin Drian lupa karena tiga puluh hari setelahnya, tepatanya dua puluh tiga Oktober adalah hari ulang tahunnya. “Kamu ga ikut?” tanya Giam pada Sian yang terpaku melihat kepalan tangan Drian. “Kamu aja yang pergi gimana? Kalo aku ikut yang ada kita makin lama. Aku udah kaya nenek-nenek yang sebentar lagi sakaratul maut, Gi.” “Kata si biang kerok,” ucap Giam ketus sebelum meninggalkan Sian dan mencari Rhea Davina Russel yang asli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD