Bab 4

2046 Words
Lewat tengah malam Bara baru menginjakkan kaki di rumahnya. Rasanya sangat lelah, seluruh tubuhnya terasa sakit semua. Meski begitu, ia selalu menikmati pekerjaannya. Menjadi drummer adalah impiannya di masa remaja dulu. Selain memasak, Bara juga mengalihkan rasa rindunya pada Vivi dengan menabuh drum. Bagaimanapun ia tidak ingin dianggap tukang berkelahi atau playboy sekolah. Ia tidak ingin menjadi koki, menabuh drum terlihat lebih menyenangkan. Jadilah setelah memasuki perguruan tinggi ia menekuni hobinya lebih dalam lagi dan direkrut Hendri sebagai anggota band The Wolf dua tahun yang lalu. Pelan-pelan Bara membuka pintu kamarnya, ia tidak ingin membangunkan Vivi. Ia juga sengaja membawa kunci duplikat untuk pintu garasi dan pintu pagar serta kunci pintu rumah mereka. Selalu seperti itu setiap ia akan manggung ke luar kota. Selama pernikahannya yang masih bisa disebut pengantin baru, sudah tiga kali dengan yang ini ia manggung bersama band-nya. Vivi memang tidak pernah mau ikut, istrinya lebih memilih di rumah kalau ia manggung ke luar kota seperti tadi. Vivi hanya akan mendampinginya bila ia manggung di dalam kota saja. Entah kenapa, ia tidak pernah bertanya. Semua itu tak masalah baginya, yang penting Vivi selalu menyambutnya setiap kali pulang ke rumah. Ia memang tidak pernah menginap seperti anggota The Wolf lainnya. Kalau mereka hanya manggung di daerah Bandung dan sekitarnya, ia tetap akan pulang. Tak peduli sendirian,toh ia mengendarai kendaraan pribadi miliknya. Tidak ikut serta bersama bis rombongan yang disediakan panitia. Alasannya hanya satu, ia tidak ingin membiarkan Vivi sendirian di rumah. Padahal itu hanyalah alasan kesekian, alasan sesungguhnya adalah karena ia tidak bisa tidur tanpa istrinya. Setelah menikah, tubuhnya selalu bereaksi aneh bila tidak di dekat Vivi. Salah satunya tidak bisa memejamkan mata bila jauh dari Vivi. Ia sudah terbiasa tidur dengan memeluk Vivi setiap malamnya. Kedua sudut bibir Bara terangkat melihat Vivi yang pulas di balik selimut. Sengaja ia tidak menyalakan lampu kamar, sekali lagi karena tak ingin mengganggu tidur sang istri. Lampu tidur di atas nakas sudah cukup menjadi penerangan. Tergesa Bara melangkahkan kaki ke kamar mandi, ia sudah tidak sabar untuk bergabung di balik selimut dan memeluk tubuh mungil sang istri. Tadi setelah manggung ia sudah membersihkan diri. Memang tidak mandi, mencuci tubuh sekedarnya saja yang penting menghilangkan keringat dan tubuhnya terasa segar itu sudah cukup. Bara paling anti mandi di atas jam delapan malam, di bawah dari jam itu ia akan tetap mandi. Setelah bertukar pakaian dengan piyama, walau hanya mengenakan celananya saja, Bara langsung bergabung bersama Vivi di atas tempat tidur. Memeluk tubuh mungil itu erat dan menciumi pucuk kepalanya beberapa kali. Ia sangat merindukan istrinya, lebih dari dua belas jam mereka tidak bertemu hari ini. Perlakuan Bara justru membuat Vivi terbangun, padahal Bara mencium pucuk kepalanya dengan lembut. Vivi membuka mata perlahan, tersenyum saat melihat wajah tampan suaminya. Tangan Vivi terangkat, mengusap wajah tampan yang tampak lelah itu. "Kamu udah pulang?" tanya Vivi serak. "Maaf, Hon, aku ketiduran." Vivi mengucek mata, berniat untuk bangun. Namun, pelukan erat Bara di tubuhnya memaksanya untuk tidak ke mana-mana. "Nggak usah bangun, Hon, baring aja." Suara Bara juga serak. Bukan karena ia juga baru bangun tidur, melainkan karena hal lain. Vivi mengangguk. Dia paham, suaminya pasti sangat lelah. Bara selalu mengeluh seperti itu setiap kali pulang manggung dari luar kota. Suaminya tidak pernah menginap, langsung pulang setiap kali selesai manggung. Kadang Vivi merasa bersalah, seandainya dia ikut serta mendampingi mungkin Bara tidak akan langsung pulang, mungkin akan menginap seperti anggota band lainnya. Namun, ia memiliki alasan yang kuat untuk tidak ikut. Alasan yang belum pernah diberitahukan kepada suaminya. "Kamu pasti capek, ya, Hon?" tanya Vivi lembut, tangannya masih mengusap pipi Bara dengan kelembutan yang sama. Bara mengangguk. Geraman tertahan keluar dari mulutnya. Serta-merta Bara meraih tengkuk Vivi, menundukkan wajah dan menyatukan bibir mereka. Begitu rindu ia pada bibir manis istrinya, seharian Bara tidak merasakannya. Wajar saja kalau sekarang ciumannya menggebu dan menuntut, apalagi Vivi membalas ciumannya. Vivi membuka mulut, membiarkan lidahnya menyusup dan mengobrak-abrik mulut mungil itu. Tak ada perlawanan selain suara desah tertahan. Bibir dan lidah Vivi pasrah dalam kuasanya. Tangan Bara tidak tinggal diam. Kedua tangannya terlalu hafal setiap titik sensitif yang dimiliki sang istri sehingga dalam hitungan menit tubuh mereka sudah sama-sama polos. Bara menyatukan tubuh mereka, mengayuh penuh kelembutan untuk mencapai tepian bersama. Ia tidak ingin menyakiti Vivi, sebisa mungkin Bara mengendalikan dirinya agar tidak berlaku kasar. Meski itu bukan dirinya sama sekali, tapi kelembutan Vivi meredam sisi liarnya. Lenguhan Vivi terdengar begitu merdu di telinga Bara, istrinya sudah dihantam gelombang itu lebih dulu daripadanya. Bara terus mengayuh, berusaha mengejar gelombangnya yang terasa sudah dekat. Selang beberapa detik, Bara terhempas. Ia sudah mendapatkan gelombang yang dikejarnya dan mencapai tepian bersama Vivi yang juga mencapai tepiannya. Bara memeluk tubuh mungil yang dipenuhi keringat itu erat, tak melepaskannya sampai mimpi menjemput. Sementara Vivi sudah lebih dulu tertidur. Istrinya terlalu mengantuk dan lelah. *** Seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini pun sama. Bara tidak lagi mendapati Vivi di sampingnya saat ia membuka mata. Vivi sudah berada di dapur menyiapkan sarapan untuk mereka. Kesukaannya pada masak membuat Vivi tidak pernah terlambat bangun pagi dan selalu tepat waktu menyiapkan sarapan. Semenjak menikah, pola makan Bara lebih terjaga. Ia yang biasanya akan sarapan dan makan malam semaunya, sekarang selalu makan tepat waktu dan dengan makanan bergizi. Vivi sangat telaten, selalu saja ribut kalau ia melewatkan makan siang. Tak jarang Vivi membuatkan bekal untuknya, menelepon hanya untuk mengingatkan jangan sampai terlambat makan. Senyum terukir sempurna di bibir sexy Bara melihat Vivi memasuki kamar. Apron masih melekat di tubuh mungilnya. Apron favorit yang tidak boleh disentuh olehnya atau siapa pun, apron berwarna merah muda. "Udah bangun, ya?" Vivi segera menghampiri Bara yang masih berbaring di balik selimut, duduk di sisi kosong tempat tidur. "Kirain belum bangun, aku tadi mau bangunin." Bara mengusap pipi mulus itu, menjalarkan tangan ke tengkuk Vivi dan menariknya mendekat. Memberikan kecupan-kecupan kecil sebelum melumat bibir berwarna merah muda alami milik Vivi. "Morning kiss," ucap Bara serak disela ciumannya. Vivi mengerang, mulutnya terbuka karena gigitan Bara di bibir bawahnya. Tangannya meremas bahu polos Bara, Indra pengecap suaminya menerobos masuk ke dalam mulutnya begitu saja. Mengaduk isi di dalamnya tanpa memberikan jeda untuk bernapas. Vivi tersengal. Mulutnya terbuka, menghirup udara sebanyak-banyaknya dari sana. Bara baru saja mengakhiri ciuman selamat paginya yang terlalu panas sampai-sampai Vivi berkeringat. Pipinya juga ikut-ikutan terasa panas. Kesal, Vivi memukul bahu suaminya kuat. "Cara bangunin aku kayak gitu, Hon." Bara terkekeh, duduk dan menyibak selimut. Berniat turun dari ranjang, sebelum Vivi menduduki pangkuannya. "Hon...?" Bara mengerang tertahan. Vivi menarik rambutnya, membuatnya mendongak. Apa yang dilakukan Vivi selanjutnya membuat Bara menahan napas. Bibi lembut Vivi menjalari lehernya, memberikan jejak basah di sepanjang kecupannya. Bara menggeram, Vivi membenamkan mulur di lehernya, menggigit dan menyesap kulit lehernya kuat. Bara yakin hasil mahakarya Vivi pasti akan tercetak di sana. Bukannya di satu tempat tapi Vivi melakukan hal yang sama di beberapa tempat lainnya. Tak hanya leher, dadanya juga mendapat perlakuan yang sama. Vivi menegakkan punggung, menatap Bara sambil memainkan mata menggoda. Segera menjauh dari jangkauan suaminya itu begitu Bara terlihat ingin menerkamnya. Vivi berlari ke arah pintu, membukanya dan berbalik. "Cepat mandi terus sarapan!" seru Vivi sebelum menghilang di balik pintu. Vivi tersenyum lebar menuruni tangga, puas rasanya bisa mengerjai suaminya pagi-pagi. Dia tahu Bara mudah terbakar bila berada di dekatnya. Sama saja dengan reaksi tubuhnya yang cepat sekali memanas meski Bara hanya menyentuhnya sedikit saja. Kadang Vivi merasa bingung dengan tubuhnya sendiri. Tidak biasanya dia seperti ini. Dulu, dia tidak seperti ini, tubuhnya biasa-biasa saja. Sejak bertemu dan menikah dengan Bara, tubuhnya berubah. Dia merasa tidak mengenal dan tidak dapat mengendalikannya lagi. Bara memang memberi efek kuat pada tubuh dan kehidupannya. Sejak kecil dia sudah terbiasa berada di dekat pria itu. Terbiasa bersama dan selalu berdua. Rumah mereka yang berseberangan membuat mereka dekat dan akrab. Bahkan tak jarang dia dulu menginap di rumah Bara, terutama saat kedua orang tuanya sibuk dan keluar kota. Makan disuapi Bara sudah menjadi kebiasaannya. Meski suka memaksa tapi Bara selalu menuruti keinginannya. Bara juga tidak pernah membuatnya menangis. Selalu menemukan cara untuk membuatnya kembali tersenyum meski dalam keadaan tersedia sekali pun. Dia sedikit terpuruk ketika mereka berpisah. Hidup tanpa kehadiran dan melihat Bara sangat tidak menyenangkan baginya. Padahal saat itu dia masih berusia tiga tahun. Namun, karena terbiasa dan selalu bergantung pada Bara membuat kesehatannya menurun drastis. Dia tidak mau makan meski dipaksa, hanya mau makan kalau disuapi Bara. Yang mana tentu saja sudah tidak mungkin. Mereka sudah pindah, rumahnya tidak lagi berdekatan dengan rumah Bara. Ingatan seorang anak balita memang kuat. Buktinya dia tidak pernah melupakan Bara, selalu mengingat teman masa kecilnya. Pertemuannya kembali dengan Bara dua tahun yang lalu membuatnya semakin menyadari kalau yang dirasakannya selama ini adalah perasaan antara laki-laki dan perempuan. Dia mencintai Bara dan tetap bergantung padanya. Masa-masa suram dalam hidupnya berakhir, bertemu lagi dengan Bara mengembalikan dirinya yang selama ini hilang. Dia tidak menyangka ketika Bara mengungkapkan perasaannya. Dia mengira Bara Hany menganggapnya adik. Sungguh dia akan menjauhi Bara dan menghilang selamanya dari kehidupannya seandainya Bara tidak mempunyai perasaan yang sama dengannya. Dia memang tidak pernah berubah, tetap menjadi Vivi yang cerewet dan periang. Namun, semua itu hanya di luar saja. Di dalam, dia selalu menjerit dan menangis memanggil Bara. Hidupnya benar-benar terasa berbeda tanpa Bara. Vivi menyiapkan sarapan seperti biasa. Kali ini dia kembali menggunakan meja pantry. Dia hanya membuat nasi goreng tadi. Vivi tersenyum manis, dua piring nasi goreng sudah tersedia di meja beserta minuman pelengkapnya. Secangkir coffe latte dan segelas air putih untuk suaminya, segelas jus jeruk untuknya. "Honey...!" Vivi menoleh mendengar seruan itu. Tersenyum lebar melihat suami tampannya memasuki dapur. Vivi berlari menyambutnya, mengulurkan kedua tangan minta Bara menggendongnya. "Manja!" Bara mencubit hidung mancung istrinya sebelum menggendongnya di depan seperti koala. Vivi tidak memedulikannya. Tangannya memeluk leher Bara erat, menciumi leher itu, menghirup aroma maskulin khas Bara yang menguar dari sana. Aroma yang selalu membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. "Kangen," bisik Vivi manja di telinga Bara. Mengecup daun telinga itu dan menggigitnya sekali. Bara mengerang, mendudukkan Vivi di sisi kosong meja pantry. "Kalo kamu tetap kayak gini, aku pastikan kamu nggak bisa jalan besok pagi!" ancam Bara manis, memainkan ujung hidungnya di ujung hidung istrinya. Vivi membalas dengan sebuah kecupan di pipi Bara. Kedua tangannya masih berada di leher Bara. "Mau," bisik Vivi manja. Pipinya terasa memanas saat dia mengucapkan kata itu, tapi dia tidak peduli. Dia ingin Bara menemaninya di rumah hari ini. "Nggak apa-apa nggak bisa jalan, kan, kamu bisa gendong, Hon." Bara menggeram tertahan mendengar kata-kata yang diucapkan istrinya. Melarikan tangan ke tengkuk istrinya, menariknya dan menyatukan bibir mereka. Bara melumat bibir mungil itu rakus, menyesap dan mengisapnya kuat. Jangan salahkan dirinya yang liar, Vivi sudah membuatnya tidak bisa menahan diri lagi. Si kecil sudah sangat nyeri di bawah sana. Vivi menanggapi permainan bibir Bara. Membalas dengan kecupan-kecupan kecil dan lumatan sebisanya. Bara terlalu berpengalaman baginya yang masih hijau. Dia tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun selain Bara. Bara adalah yang pertama untuk segala hal di dalam hidupnya. Vivi mendorong d**a Bara pelan, dia sudah hampir kehabisan napas. Persediaan oksigen di paru-parunya menipis seiring ganasnya Bara memainkan bibirnya. "Aku nggak bisa napas, Hon." Bara terkekeh mendengarnya. Vivi selalu berkata seperti itu setiap kali mereka habis berciuman. Bara menyatukan kening mereka, memejamkan mata. "I love you, wifey," ucapnya lirih tapi masih bisa didengar Vivi. "Aku nggak bisa tanpa kamu." Bara menggeleng. "Aku cinta kamu, Vivian Hanatari Bagaskara." "Cinta kamu juga, Aldebaran Samudera Bagaskara," balas Vivi membuka matanya. Nama Bagaskara adalah nama keluarga Bara. Hanya saja, karena terlaku panjang menurutnya, Bara sangat jarang menambahkan nama itu ke dalam namanya. Ia hanya menggunakan dua kata depan namanya saja. Namun, tidak dengan Vivi. Meski panjang, istrinya tetap harus menggunakan nama itu. Semua orang harus tahu kalau Vivian Hanatari adalah istri dari Aldebaran Samudera. "Sarapan dulu, yuk, Hon!" ajak Vivi. "Lapar." Vivi mengusap perutnya yang masih rata. Entah kapan perut ratanya akan terisi bayi, dia sudah tidak sabar. Bara mengangguk. Menarik sepiring nasi goreng yang masih mengepulkan asap, menyuapkan sesendok ke mulut Vivi, kemudian sesendok lagi ke mulutnya. Seharusnya Vivi tidak meletakkan nasi goreng ke dalam dua buah piring berbeda, satu piring saja cukup untuk mereka berdua. "Hari ini jangan ke mana-mana, ya?" pinta Vivi. Lagi-lagi Bara mengangguk. Dengan senang hati ia akan menuruti keinginan istrinya. Percayalah, berada di ranjang seharian bersama Vivi lebih menyenangkan daripada semenit berada di kafe.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD