Vivi menyukai gerimis, Bara sangat tahu itu. Dia akan berlama-lama di depan jendela, memandangi rintik hujan menunggu pelangi muncul. Biasanya habis gerimis pasti muncul pelangi. Vivi juga sangat menyukai warna-warni spektrum matahari itu. Selalu menantikannya, tak peduli berapa lama gerimis. Namun, Vivi tidak terlalu menyukai hujan lebat, apalagi disertai kilat dan petir seperti sekarang ini. Dia akan menutup telinga dan memejamkan mata begitu dilihatnya cahaya kilat. Seandainya saja bisa dan tidak malu, Bara yakin Vivi pasti akan bersembunyi ke dalam lemari pakaian mereka.
Ctar!
Sekali lagi suara petir terdengar, disusul dengan gemuruh guntur bersahut-sahutan. Vivi membenamkan wajah di d**a Bara, tubuh mungilnya menggigil. Bukan karena dingin, melainkan karena takut. Vivi menggigit bibir, semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh suaminya. Mencari keamanan di d**a Bara.
"Hon!" Bara mengusap pucuk kepala istrinya, menciuminya beberapa kali. Bara membelai pipi mulus itu, memberikan kecupan di sana. "Jangan takut lagi, dong. Kan, ada aku di sini. Aku nggak bakalan ninggalin kamu," hibur Bara. Ia berharap kata-katanya dapat mengurangi ketakutan sang istri.
Beruntung ia menuruti istrinya untuk tidak ke mana-mana hari ini, ternyata hujan lebat turun siang hari setelah beberapa menit sebelumnya awan berubah kelabu. Semakin lama semakin menghitam sampai akhirnya hujan turun disertai petir. Insting Vivi ternyata sangat tepat. Bara tidak dapat membayangkan seandainya istrinya sendirian di rumah. Entah bagaimana Vivi seandainya ia pergi ke kafe tadi pagi.
Sebenarnya tadi sebelum hujan Revan menelepon, memberitahu keadaan kafe yang ramai. Revan memintanya untuk datang, sekedar menyapa para pelanggan. Namun, Bara menolak. Ia sudah berjanji menemani Vivi hari ini setelah kemarin meninggalkannya seharian lebih. Bara tidak mengatakan apa-apa pada Vivi tentang telepon Revan, ia tidak ingin Vivi kecewa karena mengira ia akan pergi. Lagipula mereka masih berada di dalam selimut setelah menyelesaikan ronde pertama permainan panas mereka.
Jari-jari Bara bermain di pipi istrinya yang tak bernoda. Merayap ke belakang leher dan menengadahkan kepala yang terus saja tertunduk sejak tadi.
"Jangan takut lagi!" pinta Bara. "Aku di sini."
Entah berapa kali Bara mengulang kata-kata itu, ia tidak akan pernah bosan. Ia ingin membuat Vivi merasa aman, bahkan di saat ketakutan terbesarnya sekalipun. Ia ingin Vivi menggantungkan semua padanya.
"Tapi suaranya nyeremin, Hon," cicit Vivi. Menggigit bibirnya untuk mengurangi gugup. Jantungnya masih saja berdegup kencang, dan semakin kencang bila kilatan cahaya di langit kembali berkelebat.
Bukan phobia pada petir dan kilat, Vivi hanya takut. Sejak kecil dia tidak pernah menyukai kilat apalagi petir. Sangat menakutkan baginya. Suara petir yang bergemuruh selalu membuatnya menggigil.
"Jangan lepasin aku, ya, Hon?" pinta Vivi lirih. Suaranya terdengar serak. "Aku takut."
Bara mengangguk. Mengecup kening Vivi lama, merambat ke kedua matanya, pipi, hidung, dan berhenti di bibir mungil setengah terbuka. Dengan lembut Bara melumat bibir itu. Lidahnya menyusup ke dalam mulut dan mulai mengabsen seluruh isi mulut mungil Vivi. Mengajak lidahnya bertarung.
Vivi mengerang. Suara petir terdengar samar. Bara menutup telinganya sambil terus menciuminya, berusaha mengalihkan perhatiannya dari suara petir yang bersahutan. Vivi mencengkeram lengan suaminya, dia hampir tidak bisa bernapas. Namun tak ingin Bara mengakhiri ciuman panas mereka. Dia masih tak ingin mendengar suara petir.
Bara mengakhiri ciumannya, tapi tidak menjauhkan tangannya dari telinga Vivi. Tangan besar itu masih menutupi indra pendengaran sang istri.
"Tidur aja, yuk!" ajak Bara tersenyum.
Vivi yang masih mengatur napasnya menggeleng. Dia tidak akan bisa tidur dalam cuaca buruk seperti sekarang. Sekeras apa pun dia berusaha, tetap tidak bisa berkelana ke alam mimpi. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya berkelana ke mana-mana. Kadang menciptakan makhluk-makhluk mengerikan yang membuatnya semakin ketakutan. Sehingga Vivi lebih memilih untuk terjaga meski matanya sudah sangat mengantuk.
Selama dua bulan lebih menikah dengan Bara, baru pertama ini hujan lebat beserta petir. Beberapa kali hujan turun, tetapi tidak selebat sekarang. Hanya hujan biasa atau gerimis saja. Dia tidak masalah dengan hujan seperti itu, apalagi gerimis. Dia memnag sangat menyukai gerimis, selalu menantikannya ketika panas terik. Karena pelangi pasti akan muncul setelah gerimis. Vivi sangat menyukai hal itu. Namun, tidak dengan hujan lebar seperti sekarang ini.
"Nggak bisa!" Vivi menggeleng. Suaranya terdengar semakin serak, dia sudah akan menangis. "Nggak berani."
"Nggak apa-apa, kan, aku di sini," bujuk Bara. Tidur adalah solusi untuk meredam ketakutan Vivi. "Aku bakalan meluk kamu sampai kamu tidur. Nggak aku lepasin juga kecuali kamu minta aku lepasin."
Vivi menggeleng lagi. "Jangan dilepasin!" pintanya merengek. Vivi menarik tangan Bara yang melingkari pinggangnya, meminta Bara mengeratkan pelukan.
Bara mengerang, tangannya bersentuhan dengan sesuatu yang lembut dan kencang. Bara tergoda untuk meremasnya, tetapi ditahan. Istrinya sedang ketakutan, sangat kurang ajar sekali dirinya kalau sampai tidak bisa menahan diri. Tangan Bara bergerak naik, membelai punggung mulus istrinya. Mengusap lembut agar Vivi bisa cepat tertidur.
Dulu, ketika mereka masih kecil, beberapa kali ia melihat Vivi seperti ini. Mama Vivi akan menggendongnya atau memeluk Vivi di pangkuannya, tidak melepaskan sampai hujan reda dan suara petir sudah tidak terdengar lagi.
Bara menunduk, mengintip untuk mengetahui keadaan istrinya. Mata cantik itu terpejam rapat. Namun, dari gerakan liar mata itu, Bara tahu kalau istrinya belum tidur. Ingin ia kembali menyalurkan hasrat, si kecil sudah tegak lagi di bawah sana. Bahkan sudah sejak beberapa menit yang lalu. Rasanya sangat nyeri dan ngilu, membuatnya berkeringat dingin. Sangat menyiksa.
Bara memeluk Vivi erat, menciumi pucuk kepala sekali lagi sebelum ikut memejamkan mata. Ia juga sebenarnya tidak akan bisa tidur. Si kecil yang berdenyut membuatnya tidak bisa terlelap kecuali si kecil yang tidur lebih dulu. Namun, rasanya tidak mungkin. Bara junior tidak akan melemas kecuali sudah memasuki sarangnya.
Vivi merasakannya. Benda keras menusuk-nusuk perutnya. Rasanya geli tapi juga ngeri. Dia tidak bisa berkonsentrasi karena rasa takutnya pada petir. Vivi lebih memilih untuk meredakan rasa takutnya daripada godaan Bara kecil.
"Hon...." Bara mengerang. "Aku nggak bisa tidur."
Vivi mengerutkan kening, membuka mata dan mendongak menatap Bara. Bukankah suaminya itu yang memintanya untuk tidur agar dia tidak takut lagi, lalu kenapa Bara yang justru tidak bisa tidur?
"Kenapa?" tanya Vivi bingung. "Kamu nggak ngantuk? Sama, aku juga nggak ngantuk, Hon. Nggak bisa tidur juga."
Bara tersenyum miring. "Kan, nggak bisa tidur, berarti bisa dong." Bara menaik-turunkan alisnya,.menggoda sang istri yang berdecak.
Vivi sudah tahu apa yang dimaksud Bara. Pasti Bara menginginkan mereka melanjutkan permainan panas mereka. Vivi sudah mengatakan tidak apa-apa kalau diantidak bisa berjalan tadi pagi. Artinya dia tidak akan menolak keinginan Bara. Hanya saja dia masih takut. Suara petir masih sesekali terdengar, hujan juga belum benar-benar berhenti. Suara gemuruhnya masih terdengar.
Namun, Vivi mengangguk. Dia mengizinkan Bara untuk mengulangi permainan mereka. Selain karena memang dia menginginkannya, Vivi juga ingin mengalihkan ketakutannya.
***
"Beneran nggak bisa, nih, Bar?"
Pertanyaan Revan membuat Bara berdecak. Sudah dikatakannya pada Revan saat pria itu meneleponnya pertama kali sebelum hujan tadi kalau ia tidak bisa. Revan masih saja menanyakan hal itu. Harus berapa kali ia menjelaskan kalau hari ini tidak ke mana-mana, di rumah saja menemani istrinya. Hujan memang sudah reda, suara petir juga tidak terdengar lagi. Percikan kilat hanya kadang-kadang saja masih tertangkap netra mereka. Vivi sudah tidak ketakutan lagi, sekarang istrinya berjongkok di depan oven yang berada di bagian bawah kompor. Vivi tengah memasukkan loyang berisi adonan kue ke dalamnya.
Hujan reda begitu mereka menyelesaikan permainan ronde kedua. Vivi langsung bangun, memintanya mengantarkan ke kamar mandi. Vivi benar-benar tidak bisa berjalan. Karena sudah berada di dalam kamar mandi, sekalian saja ia ikut membersihkan diri. Setelah berendam dengan air hangat beberapa saat, Vivi merasa baikan dan keluar kamar mandi lebih dulu. Ia membiarkan karena ingin berendam sebentar lagi.
Bara keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian. Sedikit panik karena tidak menemukan sang istri di kamar tidur mereka. Bergegas Bara mengenakan pakaian seadanya, keluar kamar setelah menyambar ponselnya yang berbunyi. Tempat pertama yang dituju Bara untuk mencari Vivi adalah dapur, ia yakin akan menemukan istrinya di sana. Dugaan Bara benar, Vivi memang tengah berada di dapur, tepatnya di belakang meja pantry. Tangannya menjalankan mixer, mengaduk adonan kue di dalam mangkok adonan.
Bara tersenyum lega, menatap ponselnya yang kembali berbunyi. Revan meneleponnya untuk yang kedua kali. Bara memutar bola mata sebelum menyentuh ikon telepon berwarna hijau dan menggulir ya ke atas untuk menjawab panggilan itu. Revan menghubunginya hanya untuk menanyakan apakah ia benar-benar tidak bisa ke kafe, lagi.
"Iya, gue nggak ke mana-mana hari ini," sahut Bara kesal. "Gue mau nemenin Vivi, udah janji."
"Tapi di kafe lagi rame banget, Bar...."
"Terus?" tanya Bara memotong perkataan Revan. "Gue, kan, tadi udah bilang sama lu, Van, kalo gue nggak ke kafe hari ini. Elu masih aja nelpon gue nanya ini lagi."
"Masalahnya, kan, tadi hujan, Bar. Nah, pelanggan lebih banyak dari biasanya karena mereka sekalian berteduh juga."
"Terus hubungannya sama kehadiran gue di sana apa?" tanya Bara malas. Sungguh, Revan membuatnya kesal hari ini. Sahabatnya itu menjelma menjadi seperti perempuan yang sangat cerewet. "Nggak ada, kan? Kalo kekurangan pelayan, lu bisa turun tangan. Kenapa jadi nelpon gue?"
Suara Bara naik beberapa oktaf. Rasa kesalnya meningkat dengan Revan yang seolah tidak mengerti kalau ia juga memerlukan privasi. Sebagai seorang suami tugasnya bukan hanya mencari nafkah untuk Vivi, tetapi juga melindunginya. Sudah menjadi kebiasaan Bara, kalau dilihatnya mendung menggelayut di langit, ia tidak akan ke mana-mana. Saat di kafe pun ia akan pulang secepatnya. Ia tidak ingin meninggalkan istrinya sendirian di rumah saat hujan. Kalau hanya gerimis tidak apa-apa, yang ditakutkannya adalah hujan lebat seperti tadi. Bagaimana istrinya melewati ketakutannya sendirian?
"Ya lu, kan, yang punya kafe, Bar...."
"Justru itu!" Kembali Bara memotong perkataan Revan. Kali ini dengan penuh penekanan. "Gue yang punya kafe, apa gue juga harus ikut melayani pembeli? Nggak, kan?" tanya Bara. "Karena gue yang punya kafe terus ada pelayan sama lu juga selaku manajer, gue nggak harus berada di kafe setiap saat. Gue capek, Van, perlu istirahat. Lu, kan, tau kalo gue habis manggung tadi malam!"
"Iya, gue tau. Tapi, kan, kali aja...."
"Nggak ada tapi-tapian!" Sekali lagi Bara memotong perkataan Revan. "Gue nggak ke kafe hari ini, gue libur sampe besok. Titik!"
Bara memutuskan sambungan telepon sepihak. Menyimpan ponsel ke saku celananya, menghampiri Vivi yang masih berkutat di dapur. Bara membawa tangannya melingkari perut rata Vivi, meletakkan dagu di bahu istrinya yang sedikit terekspos. Vivi hanya mengenakan tank top tanpa dalaman. Bara dapat merasakannya.
Vivi berjengit. Dia tahu Bara sejak tadi mengamatinya, suaminya itu berdiri di tengah jalan yang menghubungkan dapur dan ruang tengah. Menyandarkan bahu pada dinding sambil menerima telepon yang dia yakin dari Revan. Namun, tetap saja dia kaget karena pelukan tiba-tiba Bara.
"Kok, keluar kamar nggak bilang-bilang, sih?" tanya Bara di ceruk leher Vivi, sambil mencium dan mengecup sesekali, menambah ruam di leher mulus itu. "Kan, aku khawatir, Hon."
Vivi menggigit bibir, Bara menyesap kulit lehernya kuat setelah mengucapkan kata-kata itu. Dia tidak ingin bersuara yang hanya akan membuat Bara mengulangi permainan mereka. Sudah cukup dua kali, itu sudah membuat tubuhnya terasa remuk. Seolah habis dipukuli orang sekampung. Berada di dapur juga karena terpaksa. Dia tidak ingin terus berada di tempat tidur karena sungguh, kamar dan tempat tidur sangat tidak aman baginya saat Bara berada di rumah seperti saat ini. Memang dirinya yang meminta Bara untuk tidak ke mana-mana, tapi tidak juga harus selalu bergumul di atas tempat tidur, bukan? Dia bukan robot yang tidak bisa merasakan lelah.
"Kamu tadi masih mandi," jawab Vivi setelah Bara tidak lagi bermain dengan kulit lehernya. "Aku mau bikin kue, tadi ingat kalo mau nyoba resep baru. Ntar kamu cicipin, ya, Hon?" pinta Vivi sambil memutar tubuh berhadapan dengan Bara. Dia sudah selesai membersihkan peralatan bakingnya.
Bara mengangguk, menundukkan kepala berusaha menyentuh bibir Vivi. Namun, Vivi menghindar, dia tidak ingin menuruti keinginan Bara saat ini. Dia ingin istirahat. Gerakan menghindar Vivi membuat Bara menggeram. Bibirnya mendarat di rahang pipi bukan di bibir. Kesal, Bara membingkai wajah cantik itu, memaksanya untuk bertatapan.
Vivi mengalah, menatap Bara dan mengecup bibirnya lebih dulu. Hanya sekilas, Vivi langsung menarik kepalanya begitu bibir Bara bergerak untuk membalas. Vivi memeluk Bara erat, memurukkan kepala di dadanya.
"Capek!" rengek Vivi manja. Mendongak dan meletakkan dagu di d**a Bara yang tertutup kaus.
Rasa kesal Bara karena Vivi menolak ciumannya lenyap seketika. Puppy eyes dan sikap manja Vivi adalah kelemahannya. Tangan Bara terangkat mengusap pucuk kepala bersurai hitam itu kemudian membalas pelukan Vivi tidak kalah erat. Menggendongnya di depan, membawa ke ruang tengah untuk menghabiskan waktu di sana sambil menunggu kue Vivi matang.