11. Sebutir Nasi

1021 Words
Aku keluar dari dalam kamar mandi yang berada di dalam kamar rawat inap Ben. Setelah aku membantu membersihkan tubuh Ben tadi, lelaki itu memintaku untuk mandi sekalian. Dan yang membuatku tak habis pikir, ternyata Ben menyiapkan beberapa baju untukku. Baju yang pas melekat di tubuhku. Tak hanya baju luar saja tetapi dalamannya juga. Semua baju yang masih tergantung label salah satu brand ternama yang tak asing bagiku. Tidak hanya satu potong melainkan ada sekitar sepuluh stel baju yang terdiri dari baju kantor, baju tidur berupa piyama dan dress sederhana. Kali ini aku langsung memakai piyama tidur karena aku yakin malam ini Ben akan memintaku untuk tidur di sini. Tidak masalah juga jika aku harus tidur menemani Ben karena di dalam ruang rawat inap Ben terdapat sofa bed yang bisa aku gunakan untuk tidur. Daripada aku harus tidur seorang diri di rumah Ben yang mirip istana itu, tapi aku tak bisa menikmati malamku dengan tidur nyenyak. "Ben ... Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanyaku saat kini menjatuhkan tubuh di atas sofa. Meraih sisir yang berada di dalam tas, lalu mulai merapikan rambut panjangku. Tak ada sahutan dari Ben. Dan ketika aku mendongak lelaki itu ternyata sedang memperhatikanku. Aku gugup tentu saja karena ditatap seperti itu. "Apa yang ingin kau tanyakan?" ucapnya kemudian. "Apa yang membeli baju-bajuku itu adalah kamu?" "Kau pikir?" Aku mendengus tidak suka karena bukannya menjawab pertanyaanku justru ia menjawab dengan pertanyaan juga. "Membeli barang via online itu sudah hal yang wajar bukan? Jadi aku tak perlu keluar jika hanya ingin membelikanmu baju," jelasnya tanpa kuminta. "Untuk apa kau membelikanku baju dan bagaimana mungkin semua ukurannya pas di tubuhku." "Sudahlah, Si. Kau tak perlu mendebat atau mempermasalahkan hal sekecil itu." Lagi-lagi aku tidak suka dengan semua hal yang tak Ben paparkan secara jelas kepadaku. Dan di saat itulah pintu ruangan terbuka. Lelaki itu masuk sembari menenteng sesuatu di tangannya. "Hai, Sifa!" sapa Bara lalu duduk di sebelahku. Meletakkan kotak makanan di atas meja. Aroma makanan yang begitu harum tercium di indera penciumanku. "Aku bawakan makanan untukmu. Kau makanlah. Aku tahu kau pasti belum makan," pinta Bara kepadaku. Seolah tanpa beban lelaki itu tersenyum. Apakah ia tak pernah peduli akan perasaanku. "Terima kasih," jawabku singkat. Bara beranjak berdiri dan mendekati Ben. Duduk di tepi ranjang yang Ben tiduri. "Bagiamana kondisimu hari ini? Kurasa kau terlihat lebih baik." Aku bisa mendengar perbincangan keduanya. Begitupun saat Bara kembali berkata. "Kau harus yakin jika operasi yang terakhir nanti pasti akan berhasil. Siapkan dirimu dengan sebaik-baiknya, Ben." Operasi. Satu kata yang aku tangkap dari perkataan Bara. Jadi Ben masih harus menjalani operasi lagi? Separah apakah kondisi Ben sebenarnya? "Karena sudah ada Sifa di sini, jadi aku tak perlu lagi repot-repot menjagamu. Bukankah begitu, Ben?" "Terserah kau saja. Lagipula ... kau datang hanya untuk mengantar makanan untuk Sifa?" "Tenanglah, Ben. Begitu kau keluar dari rumah sakit, aku akan membawamu makan di mana pun kau mau." Bara beranjak berdiri. Menatapku lalu berkata, "Jangan lupa memakan makan malammu, Si! Dan, aku titipkan Ben kepadamu. Aku harus pergi sekarang. Selamat malam." Tanpa menunggu aku membalas semua perkataannya, begitu saja Bara pergi meninggalkan kamar rawat inap Ben. Mataku masih mengawasinya hingga pintu itu tertutup. Aku mendesah tak mengerti dengan apa yang lelaki itu mau. Merutuki kembali nasibku. Seandainya dulu aku tak menerima pinangan Om Bastian, mungkin hidupku tak akan jadi serumit dan semenyedihkan ini. Terperangkap diantara dua lelaki. "Kau menyukainya?" Aku terkesiap setelah mendengar apa yang Ben tanyakan. Kutolehkan kepala menatapnya dan mataku memicing melihatnya yang juga sedang menatapku. "Apa maksudmu, Ben?" "Lupakan. Sebaiknya segera kau habiskan makan malammu. Sebelum makanan itu menjadi dingin." Ben beringsut untuk merebahkan diri di atas ranjangnya. Kulongokkan kepala pada makanan yang Bara bawakan. Membuka kotak tersebut dan harum masakan semakin menusuk indera penciumanku. Nasi beserta lauknya yang menggugah selera. Aku memang belum makan dan melihat makanan rasa lapar melanda begitu saja. Sebelum menyuap makanan ke dalam mulutku, kembali aku menatap Ben. "Ben, apa kau sudah makan tadi?" tanyaku padanya. Karena aku pun juga tidak tega jika harus makan dihadapannya seperti ini. "Sudah." "Kapan kau makan?" "Sebelum kau datang tadi." "Kau yakin sudah makan? Atau kau mau aku suapi. Sepertinya makanan ini sangat enak." "Kenapa kau cerewet sekali. Sudahlah. Makanlah sendiri." "Aku kan hanya menawarimu. Jika kau tak mau, ya, sudah. Aku akan makan sendiri." Mendengus keras dan memilih menyuap makanan ke dalam mulutku dengan suapan yang besar. Hingga kedua pipiku menggembung. Tak lagi peduli pada Ben karena lelaki itu sungguh sangat menyebalkan sekali. Baru beberapa suap yang masuk ke dalam mulutku, rasanya ada yang memperhatikanku dan ketika aku mendongak, ternyata Ben tengah memperhatikan caraku makan. Lelaki itu sempat kulihat menelan salivanya. Dan aku langsung tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku tahu jika Ben pasti mencium harum makanan yang sedang aku makan ini. Nasi dengan lauk rendang dan cah sayuran yang begitu nikmat kurasakan. Aku berdiri masih dengan membawa kotak makanan di tangan. Menghampiri Ben dan duduk di tepi ranjang. "Bangunlah, Ben!" perintahku. Kening lelaki itu mengernyit. "Untuk apa kau menyuruhku bangun?" "Ayo sini aku bantu." Dengan satu tangan aku membantu Ben beringsut bangun. Lalu meletakkan bantal di belakang kepala Ben. Setelahnya aku kembali duduk dengan mengangkat sebelah kakiku. Mengisi sendok dengan nasi dan rendang tentunya. "Buka mulutmu, Ben!" Lagi-lagi lelaki itu tampak kebingungan dengan permintaanku. Kusodorkan sendok berisi nasi dan lauknya ke depan mulut Ben. "Untuk apa kau menyuapiku?" tanyanya masih dengan mengatupkan mulutnya. "Aku tahu makanan rumah sakit pasti tidak enak, kan? Jadi, tak ada salahnya kau mencicipi sedikit saja makanan ini. Karena makanan ini rasanya sangat enak sekali. Ayo cobalah. Aku tak berbohong padamu." Aku masih mengacungkan sendok di depan mulut Ben dan memintanya agar membuka mulut. Senyumku mengembang kala Ben menurut dan membuka mulutnya. Satu suapan aku masukan ke dalam mulutnya. Ben perlahan mengunyahnya dan aku lagi-lagi hanya tersenyum lebar apalagi saat mendapati sebutir nasi menempel di sudut bibirnya. Refleks aku mengambil nasi tersebut dan membersihkan sudut bibir Ben karena bumbu rendang yang mengotorinya. Mata Ben menatapku dalam dan aku baru tersadar dengan apa yang baru saja kulakukan. Kenapa aku begitu lancang berani menyentuh sudut bibirnya. Sungguh malunya aku. Wajahku pasti sudah merona sekarang. Astaga, Sifa! Kenapa kau bisa kelewatan seperti itu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD