"Menikahlah dengan, Ben!" pinta Bara dengan tatapan memelas.
"Apa?!" seruku tak kalah terkejutnya.
Aku tidak salah dengar, kan? Atau jangan-jangan Bara yang salah bicara. "Kau tak salah bicara kan, Mas? Atau ... Aku yang salah dengar?"
Kali iki aku sudah duduk menyamping, menghadap tepat pada Bara. Ingin mendengar lagi apa yang ia minta padaku.
Helaan napas keluar di sela bibir Bara. "Aku serius dan kau pun tak salah dengar. Tolong aku, Si. Ben ... dia sudah seperti keluargaku sendiri. Tidak ada lagi yang bisa membantu Ben. Dan aku ... Aku tak bisa melihat Ben kehilangan semangat hidupnya."
Aku menatap Bara tak percaya. "Mas ... bagaimana mungkin kau meminta kepadaku untuk menikah dengan sahabatmu?"
"Sifa, Ben adalah sahabat baikku. Karena aku juga, Ben jadi seperti ini. Dan aku tahu, hanya kamulah satu-satunya orang yang bisa mengembalikan semangat hidupnya. Aku mohon padamu, Si. Tolong aku." Lagi-lagi Bara memohon, kali ini dia menggenggam erat kedua tanganku.
"Tapi aku ini istrimu, Mas. Teganya kau meminta padaku untuk menikah dengan lelaki lain!" Masih sarat akan emosi saat aku mengatakan hal itu.
"Sifa... Ben membutuhkan dukungan seseorang dan itu tak cukup dari aku saja. Selain itu ... rasa bersalahku padanya sangat menyiksaku."
"Kamu yang merasa bersalah kenapa aku yang kau jadikan korban."
"Kau istriku, Si. Dan bagiku hanya kau yang bisa membantuku. Aku tak bisa mencarikan Ben perempuan lain yang aku sendiri tidak pernah kenal sebelumnya."
"Kau bisa meminta kekasih Ben bukan, agar mau menikah dengannya."
"Ben tidak memiliki kekasih."
Bara meraup wajahnya tampak frustrasi
"Kenapa kau memintanya padaku? Padahal aku ini istrimu," lirihku.
"Karena aku yakin kau perempuan baik dan tepat untuk menjadi penyemangat hidup Ben. Kurasa aku tidak akan salah memilih orang, Si. Kau memang istriku, Si. Dan aku sendiri yang memintamu untuk menikah dengan Ben. Bagiku, Ben adalah segalanya. Tidak hanya sebagai sahabat tapi dia lebih dari sekedar keluarga buatku."
"Tapi aku tidak mencintainya, Mas. Mana mungkin aku bisa menikah dengannya." Aku masih berusaha mengelak.
"Bukankah di antara kita juga tidak saling mencintai? Dan buktinya kita bisa menikah."
Mulutku menganga mendengar perkataan Bara. Aku kalah telak dan tak bisa membalas perkataan Bara, suamiku. Bagaimana mungkin lelaki yang menyandang status sebagai suamiku sejak satu minggu yang lalu, justru kini meminta padaku agar mau menikah dengan sahabat baiknya yang saat ini sedang terpuruk hidupnya, setelah dokter memvonis kelumpuhan akibat kecelakaan yang dialami Ben satu minggu yang lalu.
Hidupku kenapa menjadi rumit seperti ini?
"Kumohon, Si. Hanya kepadamu aku bisa meminta bantuan." Lagi-lagi kata itu terdengar di telingaku. Aku diam. Meresapi semua yang Bara katakan. Tiba-tiba pikiran buruk menerpa. Mungkinkah ini salah satu cara Bara untuk membuangku? Ya, aku tahu jika Bara tak pernah menginginkan pernikahan ini. Bahkan, Bara tak pernah menganggap aku sebagai istrinya. Ya, Tuhan! Benarkah lelaki yang bergelar suamiku ini telah membuangku dan memberikanku pada lelaki cacat yang bernama Ben.
"Si ... mungkin kau bisa bertemu dulu dengan Ben. Jika kau melihat bagaimana kondisi Ben, aku yakin kau tak lagi mau menolak membantunya."
Aku masih diam dengan segala pemikiran buruk yang bercokol di dalam hati. Bara bangkit berdiri, sebelum meninggalkanku kembali dia berucap, "besok kau ikutlah denganku mengunjungi Ben di rumah sakit."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Bara meninggalkanku dan masuk ke dalam kamar. Ya, Tuhan, apalagi ini. Kenapa Bara bisa berpikir akan menjualku pada sahabatnya. Dengan dalih ingin menolong dan membantu lelaki bernama Ben.
***
Semalaman aku tak bisa tidur. Apalagi jika bukan karena kepikiran mengenai permintaan Bara. Sempat terlintas di benakku jika Bara memang tak menginginkan kehadiranku. Lantas, untuk apa aku tetap bertahan di sisinya jika Bara saja tak pernah menginginkanku. Aku harus bagaimana. Kuhela napas dan keluar kamar dengan tidak bersemangat. Saat melirik sofa, aku melihat Bara yang masih meringkuk di sana. Padahal pagi ini aku banyak sekali pekerjaan. Akan tetapi suasana hatiku sangat tidak baik-baik saja. Memasuki dapur dan aku tak berniat membuat sarapan. Kuraih cangkir dan kopi sachet di dalam lemari kitchen set. Kutumpahkan kopi instan ke dalam cangkir. Lalu menuang air panas dari dalam dispenser. Asap panas yang mengepul merasuki indera penciumanku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Sedikit meredakan rasa pusing dan lelahku. Kubawa cangkir kopi dan duduk di kursi mini bar. Meraih roti tawar beserta selai yang memang kusimpan di atas meja. Saat aku tengah mengoles selai coklat, terdengar pintu kamar yang terbuka, dan Bara keluar dari dalamnya. Aku menoleh sekilas tapi tak berniat menyapanya. Tumben sekali Bara baru bangun dari tidurnya di jam segini. Aku tak menghiraukannya karena hatiku masih berdenyut nyeri dengan semua kata yang bagiku adalah sebuah penolakan akan kehadiranku di hidupnya.
Kukira Bara akan masuk ke dalam kamar untuk mandi. Nyatanya dugaanku salah. Bara justru mendekatiku dan menarik kursi di sebelahku. Tampak ia terdiam. Mungkin merasa heran karena pagi ini tidak ada sarapan seperti biasanya. Tanpa diminta olehnya aku meraih roti dan juga selai. Kudekatkan di hadapannya agar ia bisa membuat sendiri sarapan untuknya. Aku melanjutkan menggigit rotiku. Mengunyahnya cepat agar segera selesai. Terasa canggung sekali berlama-lama berduaan bersama Bara.
Kenapa di saat aku tak mau berlama-lama berada di dekat Bara. Justru makanan yang aku kunyah sangat susah aku telan. Serasa nyangkut di tenggorokan. Kusesap kopiku yang mulai terasa hangat. Kulakukan semua dengan cepat dan begitu rotiku habis juga kopiku sudah tandas tak bersisa, segera beranjak berdiri dan menuju wastafel. Kucuci cangkir bekas kopiku. Saat aku berbalik tanpa sengaja kami saling tatap. Aku tak bisa membaca apa yang sedang dipikirkan oleh Bara. Memilih membuang pandanganku.
"Aku pergi dulu, Mas," pamitku. Pagi ini untuk pertama kalinya aku tidak menyapu dan membersihkan apartemen Bara. Suasana hatiku sedang buruk sehingga membuatku malas sekali melakukan semua rutinitas yang biasa kulakukan.
"Si ... jangan lupa. Sore nanti sepulang kau kerja, kita akan mengunjungi Ben. Aku akan menunggumu di parkiran. Jam lima tepat. Dan jangan telat."
Kubuka mulutku ingin memprotesnya. Tapi kemudian kukatupkan kembali. Percuma juga aku menolak jika Bara tak mengindahkan protesku. Tanpa berniat menjawab Bara, segera kuraih tas kerja dan memakai sepatu. Keluar dengan buru-buru dari dalam apartemen Bara.
Kata umpatan bertubi-tubi kulontarkan dalam hati. Bagaimana mungkin lelaki itu dengan sesuka hati memutuskan tentang jalan hidup yang akan kulalui. Sungguh keterlaluan. Dan sepertinya aku tak bisa melanjutkan hidupku bersamanya. Tak ada salahnya aku menikah dengan sahabatnya yang lumpuh itu dan aku akan meminta cerai dari Bara. Biar Bara puas meski rasa dendamku padanya tak akan mudah kuhapus begitu saja.