Klarissa POV.
Karena insiden kopi itu, saat ini aku berada di ruangannya Pak Wen. Sedangkan Ethan, dia ditemani oleh top lider untuk melihat lihat bagian produksi di setiap departemen yang ada. Namun aku yakin sekali, tidak akan selesai satu hari, mengingat bagitu luasnya pabrik Global ini.
"Ini untuk kamu!" Pak Wen meletakan kotak berwarna biru beludru. Kutaksir kalau itu adalah kotak perhiasan.
Aku menatapnya."Itu apa Pak?" tanyaku.
"Buka saja, aku sangat berharap kalau kamu menyukainya."
Perlahan ku raih kotak itu, dan kubuka isinya. Sebuah gelang emas murni dengan mutiara termahal yang pernah aku lihat di media sosial. "Ini ..."
"Aku beli ini untuk kamu. Semoga kamu suka." itu kalau dijual sepertinya lumayan. Aku bisa menabung untuk masa depan putraku. Reksa. Tapi itu artinya aku harus menerima hadiah itu dari Pak Wen.
"Tapi dalam rangka apa ya pak?" tanya ku lagi.
"Aku mau minta maaf, atas makan malam kita yang gagal itu." Aku kembali ingat malam di mana Pak Wen meraih tangan pegawai muda yang masih sangat segar itu. Pak Wen terlihat sekali tertarik padanya.
"Aku ... hanya bermain main saja dengan dia. Kamu tahu kan, kalau laki laki kadang memang akan seperti itu. Tapi kamu harus percaya kalau aku itu serius sama kamu. Hanya sama kamu." Aku terdiam. Di dalam diri sedang berperang antara nurani dan logika. Aku butuh uang untuk sekolah Reksa, juga untuk hidup ku seterusnya. Kalau aku menerima Pak Wen, sudah jelas masa depanku akan terjamin. Tapi apa harus aku merendahkan diri dengan menerima lelaki laki buaya darat ini.
JANGAN KLARISSA!
Alarm dibawah sadarku seperti berteriak, agar aku jangan sampai terlena pada satu penipu ini.
"Pak, aku minta maaf. Aku sungguh enggak bisa nerima ini." ku dekatkan lagi gelang itu padanya. Dan membuat wajahnya Pak Wen muram. "Apa kamu masih marah padaku?" tanya nya.
"Bukan masalah marah pak, tapi karena aku memang belum siap memulai sebuah hubungan."
"Aku tidak akan menyusahkan mu Klarissa. Aku hanya perlu kamu berada si sisiku. Kamu jadi pendamping hidupku. Masa depan putramu akan aman bersama ku."
"putraku tidak membutuhkan apapun pak. Aku bisa menjadi ibu sekaligus seorang ayah."
"Aku tahu kamu hebat. Tapi anak mu pasti akan sangat menginginkan seorang ayah."
"Aku masih tidak membutuhkan itu Pak. Aku lebih bertah sendirian bersama anaku."
"Kelak dia akan menikah dan kamu akan sendirian. Apa kamu yakin mau hidup sendirian di usia senja?"
"itu masih lama pak. Aku rasa, aku akan memiliki opsi yang lain selain menikah."
Terdengar helaan napas dalam Pak Wen. "Baiklah. Jadi kamu menolak saya?"
"Aku minta maaf, pak."
"Apa kamu ada target?"
"Target?"
"Iya. Misal, tahun ini kamu harus beli ini, tahun berikutnya kamu harus beli itu. Sehingga kamu harus pokus dengan dunia kerja kamu?"
"Target ya? aku rasa, setiap orang memang harus memiliki target sih pak." jelasku.
"Apa target mu?"
"Aku ingin hidup bahagia, bersama Reksa. Dan memiliki tabungan untuk masa depannya."
Pak Wen meraih tanganku. "Menikahlah denganku! Maka kamu akan hidup bahagia bersama Reksa, dan juga memiliki tabungan tebal untuk masa depannya!"
***
Sudah jam delapan malam, aku masih berada di line karena melihat produksi juga melihat pekerjaan anak QC, yang mulai kewalahan dengan sepatu setengah jadi yang menumpuk. Masih di produksi sewing dengan wajah mereka yang mulai terlihat lelah. Padahal barang masih kurang untuk stock ke assemblyng besok.
Tiba tiba ponsel ku berdering menampilkan nama asisten rumah tangga yang menunggu Reksa di rumah. "Halo!"
"Halo Bu, Reksa jatuh dari sepeda, dan sekarang kita sedang di rumah sakit." Ah, ini tidak tepat waktu, aku sangat sibuk sekali.
Segera ku tutup ponsel ku dan berlari keluar dari pabrik. Bayangkan saja luas dari ruangan sewing ini hampir setengah hektar. Jadi aku harus ektra cepat agar cepat bisa pulang.
"Klarissa!" dan aku malah bertabrakan dengan Pak Wen.
"Pak saya mau ijin."
"Ke mana?"
"Reksa jatuh dari sepeda, dan sekarang dia ada di rumah sakit."
"Oh, baiklah. Ayo aku antar ke rumah sakit!"
"Jangan, Pak."
"Kenapa?"
"Jangan merepotkan." Aku pun segera berbalik dan berlari, tanpa memedulikan panggilan Pak Wen.
ETHAN POV.
Aku tidak salah dengar kalau Klarissa baru saja ingin pulang, karena merasa cemas pada seorang anak. Reksa? siapa dia?
"Ada apa pak?" tanya asisten direktur. Saat ini seharusnya aku harus kembali ke kantorku. Namun karena aku mulai tertarik dengan pabrik ini. Aku malah di sini seharian.
"Itu ... Klarisa ..."
"Oh, dia kayanya terburu buru."
"Kamu tahu dia kenapa?"
"Ah, saya kurang tahu, karena kami tidak terlalu akrab juga."
"Oh, kalau begitu, saya pamit ya."
"Mau ke mana?" tanya nya.
"Saya mau pulang cepat."
"Oh, baiklah." dan aku pun segera keluar dari pabrik, menuju parkiran, setelah sebelumnya aku pamit pada Wen. Sampai di parkiran, aku melihat Klarissa memakai skoopy kemudian dia meninggalkan gerbang Global. Aku segera memasuki mobilku dan mengikutinya dari belakang.
Kulihat dia melaju ke arah selatan, dan memasuki rumah sakit medika citra. Rumah sakit terbesar di Kotaku. Aku tidak tahu siapa yang telah membuatnya sampai cemas seperti itu.
Reksa?
Kalau dia naik sepeda, itu artinya dia anak kecil, sekitar umuran enam sampai sembilan tahunan. Apakah dia adiknya?Setahuku Klarissa tidak memiliki seorang adik. Atau ...
Dia anaknya?
Kapan dia menikah?
Aku akhirnya melihat Klarissa memasuki gebang rumah sakit, begitu pun aku mengikutinya namun kami berada di parkiran berbeda. Aku berada di parkiran khusus mobil, dan dia berada di khusus parkiran motor. Kulihat dia selesai memarkirkan motornya, kemudian masuk ke dalam dengan berlari. Aku tidak mau kehilangannya, aku segera melesat mengikuti. Dia bertanya pada resepsionis. Dan aku sembunyi di tembok, namun suaranya masih aku dengarkan.
"Ruangannya Reksa?"
"Oh, di nomor 24 lantai tiga ya, bu."
"Oh, baiklah. Terima kasih."
Aku tentu saja sudah merekamnya di ingatan. Lekas mengikutinya, tentu saja setelah aku memminta ijin besuk pada bagian resepsionis. Aku mengenalkan bahwa aku pamannya Reksa, dan syukurnya penjaga resepsionis itu mengijinkan ku masuk.
Sampai di dalam, aku melihat Klarissa masuk, aku tidak mungkin bisa ikut masuk. Kalau sampai Klarissa tahu, dia pasti akan terkejut pada keberadaanku.
Jadi yang aku lakukan adalah menunggu di kursi, dan agar orang rumah sakit tidak mencurigaiku. Lalu setelah satu jam, keluarlah seorang perempuan seumuran 30 han, dia bukan ibunya Klarissa. Mungkin ART nya.
"Maaf, apa boleh tanya?"
"Eh, iya pak."
"Di dalam gimana keadaannya?" Pertanyaan yang akan langsung dijawab pada intinya kan? Aku memang jenius.
"Oh, Tuan Reksa sedang istirahat, ada nyonya di dalam. Bapak mau ketemu?" Ah, berarti benar dia adalah ARTnya.
"Oh, nanti saja. Itu Reksa sudah makan? saya mau belikan makanan untuk dia. Apa yang makanan kesukaannya?"
"Oh, Nyonya sudah belikan. Nyonya sangat sayang pada putranya itu."
Deg!
Putra?
Jadi Reksa putranya Klarissa?
"Oh, maaf, saya mau merayakan ulang tahun Reksa secara diam diam. Saya butuh lilin umur berapa ya?"
"Enam tahun Pak."
"Oh, baiklah."
Enam tahun?
Aku meninggalkan Klarissa enam tahun yang lalu karena ada masalah dengan Rama dan Ana. Apakah ... apakah dia menikah setelah aku tinggalkan? atau ... Reksa ...