Apa Kabar?

1118 Words
Author POV. "Oven sudah panas kalian malah tetap mengoven sepatu?" Sinta bersungut sungut, karena oven meledak dan seratus pasang sepatuh terbakar. sekarang sudah pukul tujuh malam. Sepatu yang seharusnya masuk ke bagian finishing. Kini malah menjadi abu. Alhasil Sinta memaki anak anak bagian oven dan memarahinya se jadi jadinya, berikut dengan lider lidernya. Pak Wen juga berada di sana dan ikut memarahi anak bagian assemblyng itu. "Itu sepatu mau kalian apakan? jawab pertanyaan saya?" tidak ada yang berani menjawab karena memang ini murni kesalahan mereka. Karena ingin segera cepat pulang. Mereka terus menerus membuat oven bekerja, tanpa istirahat, sehingga akhirnya oven meledak. "Kalian memang tidak bertanggung jawab! saya tidak tahu harus bersikap apa sama kalian. Asal kalian tahu, satu sepatu ini harganya sama dengan lima bulan gajih kalian. Bayangkan ini seratus sepatu. Kalian benar benar telah membuat saya rugi." "Sinta! meetingkan semua lider sekarang juga!" Pak Wen meninggalkan assemblyng dengan langkah lebar dan tatapan tajam. kemudian ia melihat ke bagian Sewing, dia tidak menemukan Klarissa, mungkin perempuan itu memang sedang berada di ruangannya. Wen bergegas ke naik ke bagian kantor. Dia ingin sekali menemui nya. Di sisi lain, Klarissa sedang menelpon aisten rumah tangganya. Perempuan itu mengadu bahwa Reksa tidak mau makan obat. Hal itu sungguh membuat Klarissa sakit kepala. "Usahakan biar dia makan ya?" "Saya akan mencoba, Nyonya." "Kalau dia enggak mau makan. Coba kamu bikin pasta atau makroni. Aku yakin sekali dia pasti mau." "Iya, Nyonya. Saya akan mencobanya." Klarissa kembali akan berkata, ketika sebuah rengkuhan di bahunya, membuatnya terdiam dan menoleh pada sang tersangka. Pak Wen memeluk punggungnya dengan erat, dan meletakan dagunya di bahunya. "Pa-pak, ada apa nih?" Klarissa segera menutup ponselnya. "Aku lagi kesel banget." ujar Wen. "Kenapa?" "Oven di assemblyng meledak." keluhnya. Perlahan Klarissa mendorong Wen, demi agar bisa melihat wajahnya. "Lagi?" "Iya." jawabnya lemah. "Perasaan meledaknya sering banget." Klarissa membawa Wen ke sopa dan mempersilakannya duduk. "Aku pesankan jus ya?" Klarissa memesan jus pada pihak kantin. Wen mengangguk menyerah, ia menyutujui saja apa yang akan dilakukan perempuan yang saat ini memang sedang memegang kendali perasaannya itu. "Aku harus pesan oven baru." keluhnya. "Dan harganya lumayan mahal. Itu di imfor dari luar." "Emang di kita enggak ada?" "Ada. Tapi justru harga produk dalam negri, herannya lebih mahal." "Lah, ko bisa?" "Iya. Aku juga enggak tahu." Ketukan dari pintu membuat Klarissa segera beranjak, menlihat bagian kantin menbawakan jus di nampan. "Ini pesanannya Bu." ujarnya. "Terima kasih." Klarissa meraih jus itu di bawa nya masuk. "Ini pak, semoga enggak terlalu stres." dia meletakan jus itu di meja. "Itu anak adminitrasi sewing, ko cowok sih?" keluh Wen lagi. "Emang cowok sih, pak. Kenapa emang?" "Bukannya cewek ya?" "Kan dia udah lama resign. Bapak lupa, kalau Lola itu hamil dan dia minta resign?" jelas Klarissa. Wen mengangguk. "Iya, aku lupa. Ah, yang bagus bagus malah resign. Haruskan aku membuat peraturan karyawan global dilarang hamil?" keluhnya. "Ya, enggak bisa gitu juga Pak. Kan justru yang butuh pekerjaan itu mereka yang sudah berumah tangga kan?" "Iya sih. Tapi endingnya, ya kaya gitu. Mereka harus resign karena tuntutan rumah tangga." Wen menyesap jusnya. "Padahal Lola kerjanya sangat bagus." "Tama juga bagus. Aku sering ngecek kerjaan dia, dan aku rasa dia sudah cukup bagus." "jadi namanya Tama?" "Adytama segar." "Namanya bagus sekali. Aku iri dengan namanya." dia terus saja mengeluh, membuat Klarissa menghela napas lelah menghadapi bosnya itu. "Oh, iya. Bagaimana Reksa?" "Pak, aku sebenarnya enggak mau membahas reksa di sini. Aku tidak mau orang kantor kepo dengan anaku yang lahir tanpa seorang ayah." Tanpa Klarissa ketahui, kalau di luar pintu ada Ethan yang sebenarnya hendak masuk. Dia ingin menemui Klarisa karena memang ingin membahas Reksa. Dia kemarin melihat Reksa keluar bersama asisten rumah tangganya. Ethan terkejut karena wajah Reksa begitu mirip dengannya. Dari kedua mata, hidung dan dan juga bibirnya. Ethan sungguh dibuat mati penasaran dengan pemandangan itu. Dan makanya saat ini, dia bela belain masuk pabrik agar bisa bertemu dengan Klarissa. Namun ia malah terdiam di balik pintu karena di dalam ternyata ada Wenlee, si lelaki keturunan cina yang sepertinya sudah mengetahui rahasianya Klarissa. "Baiklah, aku minta maaf. Aku hanya ingin lebih akrab saja dengannya." "Bapak bisa datang saat libur kan?" "Iya. Jadi kamu mengijinkan aku bertemu Reksa?" "Karena bapak bos saya." "Hanya itu?" "Untuk saat ini, saya tidak bisa memikirkan hal lain Pak." "Ah, rasanya agak kecewa sih." kekeh Wen Lee, "Tapi baiklah, aku akan bersabar. Aku akan berjuang untuk mendapatkan kamu dan hati anak kamu!" rasanya Ethan entah kenapa sudah tidak sanggup lagi mendengarkan semuanya. Ia tahu, kalau hubungannya dengan Klarissa mungkin tidak akan lagi bisa dimulai. Klarissa pasti sudah memblack list namanya di hatinya. Namun ketika mendengar bahwa Reksa adalah seorang anak lahir tanpa seorang ayah. Dan juga dengan wajah mereka yang bagaikan pinang di belah dua. Hal itu membuat Ethan tidak peduli dengan bagaimana tanggapan Klarissa dengan dirinya. Ia semangat dan sangat ingin kembali meraih keduanya. Ethan tidak pernah lupa kejadian enam tahun yang lalu. Di mana ia dan perempuan itu telah menghabiskan malam bersama. Dan Ethan sejujurnya sampai saat ini tidak bisa melupakan itu. Klarissa siapa Reksa? lelaki yang memakai kemeja hitam di gulung ke siku itu berjalan cepat menuju parkiran. Mungkin dia akan menunggu Klarissa di sana. Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Klarisa baru keluar dari kantor. Dan saat ini perempuan itu menaiki motor metiknya. "Mau sekalian pulang bareng enggak?" Ethan berjalan mendekat. Klarisa memicingkan kedua matanya. "Kamu ngapain di sini?" "Aku ada urusan sama Wen Lee." "Oh," "Mari pulangnya aku antar. Ini sudah malam." "Aku bawa motor, kamu enggak liat?" "Tapi..." kalimat Ethan terpotong ketika hujan tiba tiba lebat. Dia pun tersenyum, sepertinya Tuhan memang mendukung dirinya. "Ayolah masuk ke mobilku." Ajak Ethan. "Aku bawa mantel." Terlihat Klarissa membuka bagasi motornya. "Please lah, Klarissa." Ethan menahan tangan perempuan itu, sehingga bagasi motor metik itu kembali tertutup. "Kita pulang bareng dan kamu enggak akan kehujanan." karena tatapan Ethan yang menghiba, dan karena Klarissa sudah lelah. Ia pun mengikuti keinginan laki laki itu. Dia pun masuk ke dalam mobilnya Ethan. Suasana di dalam mobil itu terasa henging. Klarisa merasa canggung dan asing. Ah, tentu saja karena mereka telah lama tidak bertemu. Ethan melirik perempuan itu dengan tatapan rindu. Dan Klarissa tentu saja merasakan itu. Maksudnya ia merasakan jantungnya begitu cepat berdegup, sampai rasanya seperti akan meledak. Sialnya kenapa ia malah ikut masuk ke dalam mobil itu. Ingin menyapa duluan, namun ia takut Ethan tidak suka disapa. Diam pun sepertinya bukan cara yang tepat untuk melalui ketegangan ini. Klarissa menggenggam tangannya sendiri yang mulai berkeringat dingin karena keadaan ini. Ia hampir menoleh, namun ... ia menegang karena ternyata laki laki itu telah lebih dulu menatap padanya. Klarissa membatu dan mereka akhirnya terdiam dalam satu tatapan. "Apa kabar?" tanya Ethan, membuat Klarissa bersenyum lega.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD