Keinginan Yang Terpendam.

1114 Words
Ethan POV. Aku ingin sekali bergabung dengan teman temannya itu, terutama dengan Rama dan Ana. Namun sekali lagi aku masih merasa tidak layak untuk bertemu keduanya. Jadi aku putuskan untuk bersembunyi, sampai mungkin Ana dan Rama pergi. Lalu aku pun mendekati Klarissa setelah hanya ada perempuan itu beserta Reksa dan asisten rumah tangganya. "Dia manggil kamu mamah, sebenarnya Reksa itu siapa?" Lihat begitu tegangnya Klarissa saat aku mengutarakan pertanyaan ini. Kadua pupilnya terlihat menegang, kedua mata indah itu pun mengerjap lari ke sana ke mari seolah takut sekali bertemu dengan sorot mataku. Kemudian kedua bibirnya gemetar seperti hendak mengatakan sesuatu namun ia tidak mamu mengutarakannya. "Klarissa ..." "Ka-kamu kenapa di sini?" dia terlihat berusaha tersenyum. Yang aku inginkan dia segera menjawab pertanyaanku. Namun dia malah mengalihkan topik dan lihat dia tersenyum seolah kegugupan yang baru saja terjadi itu hilang begitu saja. "Tolong jawab pertanyaanku, Reksa itu--" "Reksa sini!" dia memanggil anak lelaki berusia lima tahun itu. Dan dia menghampiri dengan senyuman yang begitu manis dan aku sungguh menyukainya. "Iya, mama." dia memegang tangan Klarissa. "Ini Om Ethan. Teman mamah." "Hay, om. Saya Reksa. Satu satunya lelaki beruntung karena memiliki mamah sebaik dan secantik mama Klarissa." perkenalan yang sangat luar biasa, dan membuatku tidak berhenti tersenyum. Aku sangat kagum pada anak itu. "Hay, sayang. Sehat sehat, dan jadi anak hebat, ya." kuusap pucuk kepalanya dengan lembut. "Terima kasih, Om." Kemudian ia pun pergi, kembali menghampiri sang asisten rumah tangga. "Jadi Reksa anak kamu?" "Kamu sudah tahu kan? jadi silakan pulang." Dia mengusirku? "Tapi aku hanya--" "Ini sudah malam, dan kami harus segera pulang, Ethan." "Kita harus bicara Kla." "Tidak ada yang harus kita bicarakan. Dan kita selesai sudah lama sekali, dan kamu tahu itu." "Maksudku, tentang Reksa. Aku ingin tahu siapa dia? aku--" "Reksa anaku, itu kan jawaban yang kamu mau?" Maksudku, anak dari siapa dan darah daging siapa? aku sungguh sangat penasarana sekali. Kenapa Reksa begitu mirip dengan ku. "Kla--" Dia mengangkat ponsel dan aku tidak tahu dari siapa. "Halo, Pak." Dari Wenlee kah? "Oh, ini anak malah ngerjain saya, Pak." "Iya, dia baik baik, saja. Bapak masih di kantor?" "Oh, itu besok lah saya kerjain ya ... bisa?" "Pokoknya saya pagi pagi sekali bakal ada di kantor, janji." "Iya, Pak. BTW itu assemblyng sekarang gimana? stop dulu atau gimana?" "Oh, iya. Diperbaiki kan bisa kan?" "Oh. Ya udah kalau gitu, berarti ovennya harus istirahat dulu mungkin." "Oh, syukur lah, kalau oven yang satunya bisa bekerja." "Iya, pasti nanti numpuk di finishing. Enggak apa apa lah, Pak. Nanti kalau sewing enggak terlalu padat, kita bisa bantu anak assemblyng buat ngikat sepatu atau ikut bungkus bungkus lah." "Sama sama, pak." "Iya, aku udah mau pulang. Acaranya udah selesai ko," "Kue ya? nih masih ada. Bapak beneran mau?" "Oh, boleh. Bapak bisa mampir sebentar ke rumah. Nanti aku tungguin di depan gerbang." "Iya, boleh." "Ok, see u." Kemudian ia pun menutup ponselnya. Dia menoleh padaku. "Kamu masih di sini?" tanya nya. Aku menghela napas dalam. "Kla--" "Aku harus segera pulang, karena ini udah malem banget. Kamu kalau masih mau di sini boleh lah. Kan kalau mafia emang udah terbiasa berada di tempat yang seperti ini kan?" dia malah menyindirku dan membahas masa laluku. "Aku tahu, kalau aku telah membuat kekacauan yang sangat hebat. Tapi kamu enggak tahu kan apa yang membuatku masuk ke dalam ke kacauan itu? kamu enggak tahu Kla." "Iya, aku enggak tahu, dan sama sekali enggak mau tahu." Dia begitu terlihat angkuh dan membuat pertahanan yang kokoh dengan diriku. "Aku sudah tidak memikirkan itu lagi, karena aku tahu, bahwa saat ini Ana dan Rama itu sudah baik baik saja. Namun ada satu hal yang aku harapkan darimu. Tolong jangan bawa aku ke dalam ke kacauan kamu. Hiduplah seperti yang pernah kamu alami sebelumnya. Entah itu mafia atau apalah. Aku sungguh enggak peduli." "Kla--" "Permisi!" Klarissa meninggalkan ku dengan langkah cepatnya. Aku bukannya enggak mampu untuk mengejarnya. Hanya saja, aku yakin sekali akan ada pertengakaran hebat diantara kami, jika aku terus memaksa untuk mengajaknya berbicara. Namun ini belum selesai, aku masih belum selesai bicara dengannya. Besok atau lusa, aku pasti akan menemukannya, dan kembali mengungkap semuanya. Keesokan harinya, aku kembali ke Global, karena masih ingin melihat semua prosesnya. "Gimana? ada yang mau ditanyain lagi?" Wenlee berkata. Saat ini aku memang sedang berada di ruangannya Wenlee. "Enggak ada sih, dan meski aku ngerti dengan semua prosesnya, aku tetep enggak akan ngiutin prosesnya kan?" "Lalu?" "Aku hanya ingin tahu se susah apa sepatu sepatu itu di buatnya, dan berarapa harga yang pas untuk aku berikan pada sepasang sepatu." "Jadi berapa?" tanya Wenlee. "Apa harga yang aku berikan terlalu mahal?" Aku menggeleng pelan. "Tidak, lah. Itu sangat pas." ujarku. "Kemudian apakah kerja sama kita akan berlanjut?" "Oh, tentu saja. Kita akan berlanjut terus dan terus." "Wah, saya suka sekali kalau seperti ini." dia menepuk bahuku. "Mm ... apa aku boleh bertanya untuk hal yang pribadi?" "Pribadi?" Wenlee menatapku dengan memicing."Seperti? kamu enggak akan meminta untuk menikahi saya kan?" godanya. Aku tergelak pelan seraya menggeleng geli. "memangnya aku terlihat seperti penyuka sesama jenis?" "Ya ... wajah anda ini terlalu membuat ku curiga." "Curiga?" "Iya. Anda pernah mendengar sebuah pepatah." "pepatah apa?" "Anda mau mendengar?" "Ya, tentu saja." Kulihat Wenlee menghela napas dalam, kemudian ... "Iya. Wajah tampan kadang memiliki kekasih yang lebih tampan." Wah, dia berengsek sekali! Percakapan ku dengan Wenlee, berakhir dengan sarapan bersama di kantin pabrik, kemudian kami pergi ke pabrik untuk kembali meninjau. Kutemukan Klarissa hari ini memakai celana jeans berwarna hitam, kaos polo di dalam berwarna merah, lalu blezer berwarna coklat yang tangannya digulung ke siku. Rambutnya ia gulung, memperlihatkan lehernya yang mulus dan menggoda. Hari ini Klarissa memakai heel, tidak seperti kemarin kemarin memakai sepatu ket. "Klarissa!" Wenlee memanggilnya. Peremuan jelita itu pun mendekat. "Iya, Pak. Ada apa?" tanya nya. "kenapa kamu pake heel?" tanya nya cemas dan agak sewot. Klarissa menatap kedua kakinya dengan sebuah ringisan kecil. "Aku hanya punya satu sepatu, jadi hari ini pake heel aja," keluhnya. "Kenapa kamu enggak bilang sama saya?" aku tahu, kalau Wenlee sepertinya begitu memuja Klarissa. Tapi berbicara hal pribadi di depanku dan karyawan lainnya, tentu saja membuat Klarisa malu. Terlihat dari wajah cantiknya yang memerah. "Pak, saya hari ini full di kantor ya? jadi enggak perlu masuk pabrik. Saya serius lagi sibuk banget di kantor." ujarnya. "Ok, awas aja kalau ke pabrik." kesalnya. Dan perempuan itu terkekeh, kemudian pergi meninggalkan kami. Kudengar helaan napas lelah dari Wenlee. "Dia itu sangat keras kepala dan kadang membuatku sakit kepala. Dia juga pekerja keras, dan jujur saja, saya menyukainya bagaimana ia bekerja." Dan aku hanya terdiam menatap pinggul ramping itu menjauh. Dia terus menghindariku, terutama untuk pembahasan soal Reksa. Lalu haruskah aku cek DNA secara diam diam?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD