Bu Indah memasuki 11 IPA 4 dengan berlenggak-lenggok sesuai dengan kepribadiannya yang centil. Kelas yang tadinya berisik seketika hening. Selain centil, Bu Indah merupakan guru yang memiliki tutur kata sepedas boncabe.
“Kelas yang membagongkan. Perasaan tadi ramai sekali waktu saya masih berada di depan koridor,” ucap Bu Indah pedas.
Tak ada jawaban dari para murid disana karena malas menanggapi. Jika ditanggapi, omongannya akan melantur kemana-mana.
“APA KALIAN TIDAK BISA MENGHARGAI GURU YANG BERBICARA?” teriak Bu Indah lantang.
“BISA BU!!!!!”
Bu Indah tersentak karena teriakan muridnya. Lantas ia mengusap d**a.
Rab’J yang melihat drama itu hanya bisa mendengus. Terlalu banyak drama menurut mereka.
Setelah sedikit berbincang hal yang tak penting, kini 11 IPA 4 akhirnya dapat memulai pelajaran dengan hening. Mereka tak ingin menjadi sasaran dari guru centil tersebut.
***
Saat ini Ralph dan Zigo tengah menikmati jamkos nya dengan makan di kantin. Keduanya lebih memilih lokasi tersebut karena sedang suntuk melihat buku.
“Tumben lo jadi bandel gini? Ketularan tuh cewek sombong?” heran Zigo.
“Kok ketularan? Kan Classica gak ada disini?” jawab Ralph bingung. Dia tak mengerti dengan ucapan Zigo yang lebih mengarah ke sindiran.
Zigo yang melihat jika sahabatnya tak paham dengan sindiran itu hanya mampu merotasikan mata. Sahabatnya ini cowok berprestasi, tapi kenapa kalau disindir gak peka?
Saat sedang berbincang, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari sudut kantin. Zigo yang penasaran lantas bersuara
“Apaan tuh heboh banget?”
“Mungkin ada pertunjukan,” balas Ralph acuh.
“LO YANG BENER AJA DONG! NGAPAIN LO NUMPAHIN MAKANAN GUE!”
“Gak ada yang numpahin makanan lo! Kalau mau makan gratis, bilang baik-baik. Gak usah pakai fitnah orang.”
Ralph dan Zigo saling pandang. Mereka berdua sangat mengenali suara yang sedang bercekcok itu.
“Gue gak salah denger kan?” celetuk Zigo.
“Kali ini kalau lo sepemikiran sama gue, berarti yang lo denger itu beneran,” jawab Ralph kemudian berlari meninggalkan Zigo yang masih terdiam.
Mata Ralph menjelajah ke area kantin hingga berhenti pada satu titik. Tangannya mengepal saat melihat seragam Ralin basah karena disiram air yang entah milik siapa. Dengan langkah lebar ia berlari menghampiri gadis itu yang saat ini dalam keadaan sendirian.
Plak!
Semua pasang mata yang berada di kantin membelalak saat melihat tangan dari gadis bernama Cindy Claudya Assegra mendarat sempurna pada wajah Ralph. Setelah melihat adegan itu, beberapa diantaranya mulai tertawa karena seorang murid besalus terkena gamparan seorang gadis cantik.
Ralin langsung membuka mata saat tak merasakan sakit pada wajahnya. Ia tadinya sadar jika hampir saja ditampar oleh Cindy namun setelahnya ia memejamkan mata.
“Ralph???!!!! Kenapa kamu ngehalangin aku buat mukul dia!” jerit Cindy kaget. Tangannya gemetar saat tahu jika orang yang disukainya terkena tamparan tangannya sendiri.
Ralph tak menggubris jeritan itu. Dia membuka seragam sekolahnya hingga menyisakan kaos putih polos lalu memakaikan ke badan Ralin. Gadis itu bukannya berterima kasih, justru dia melakukan pemberontakan karena merasa tak sudi.
“Apa sih, lo!”
“Diem! Baju lo nerawang, Class,” bisik Ralph tajam.
Emosi Cindy semakin meletup saat melihat sang pujaan hati justru membantu wanita lain.
“Kenapa kamu malah bantuin dia! Harusnya kamu bantu aku karena makananku tumpah semua!!!!”
Memang benar saat bertabrakan dengan Ralin, bakso yang dibawa Cindy tumpah hingga mengenai baju seragamnya. Itulah yang menyebabkan Cindy emosi karena keadaannya lebih mengenaskan, namun tak diberi bantuan.
“Lo apain Ralin lagi, hah!!” Jeno berteriak salah paham. Seperti biasa, Rab'J selalu salah sangka dalam melihat kenyataan.
Brisia menghampiri kerumuman itu seraya berkacak pinggang. Matanya mendelik kearah Cindy yang masih mengepalkan tangan. “Berani banget ganggu sahabat Brisia!”
“Lo sahabatnya? Kasih tau tuh, jangan suka jadi pelakor!”
“Siapa yang lo maksud pelakor?” tantang Alvero. Baru kali ini pemuda itu berbicara panjang lebar. Bukan kali ini, tetapi jika ada yang mengganggu sahabat perempuannya.
Cindy bukannya takut, justru dia menghampiri Alvero dengan berlenggak-lenggok.
“Cewek gatel itu. Dia udah rebut cowok gue,” jawabnya genit. Alvero mendecih mendengar suara itu.
Sementara Ralph masih membersihkan wajah Ralin yang terlihat basah. Pemuda itu melabuhkan tissu dengan lembut seolah Ralin adalah barang mudah pecah.
“Dia ada pukul lo?” tanya Ralph khawatir.
“Gak ada,” ketus Ralin.
Mendengar nada bicara ketus yang Ralin lontarkan, Ralph justru tersenyum. Ia tak marah dengan gadis itu karena memang sudah pembawaannya yang seperti itu.
“Ayo ikut gue. Lo harus ganti seragam soalnya pulang sekolah masih lama banget.”
Ralin hanya diam saat Ralph menggandeng lembut tangannya. Tangan yang terbebas itu memegang dadanya yang terasa berdetak cepat.
Disaat sang objek sibuk berduaan, mereka yang berada di kantin justru masih saja berdebat tanpa melihat ke sekitar.
“Awas lo semua! Gue mau—”
“Mau apa?” sela Brisia.
Tangan Cindy mengepal hingga buku jarinya memutih saat tak melihat keberadaan Ralin. Matanya menatap Alvero, Jeno, serta Brisia dengan sengit.
“Kemana temen lo tadi?”
Kali ini gue dukung tuh anak gedongan deh
Iya soalnya si Cindy ganjen banget
Kemarin doi minta putus karena dia
Bisik-bisik yang membahas keburukan Cindy namun gadis itu tak menghiraukan. Dia terlalu tebal muka jika hanya sekedar ejekan.
“Bilang sama temen lo, jangan suka ngerebut cowok orang!” tukasnya sebelum berlalu.
Para kerumuman di kantin mulai membubarkan diri. Sementara Jeno, Brisia, dan Alvero saling pandang hingga arah pandang mereka mengedar dan tak menemukan sahabatnya.
“Astaga ... Kemana lagi itu si Ralin,” erang Jeno frustasi.
“Cari,” titah Alvero singkat.
“Alvero kalau ngomong jangan disingkat dong! Bikin yang denger bingung aja!”
Di taman belakang, baik Ralph ataupun Ralin tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Keduanya masih mempertahankan ucapan dalam batin mereka.
“Gue ...”
“Gue ...”
“Lo duluan,” sela Ralin sebelum saling menyela ucapan.
“Nanti gue mau ke cafe buat izin resign,” ucap Ralph menyuarakan.
“Urusannya sama gue apa?”
Tangan Ralph terkepal serta alisnya menukik tajam. Matanya menyorot Ralin penuh intimidasi namun tak membuat gadis itu ciut.
“Apa hah? Gue Cuma nanya!” sengit Ralin.
“Kan gue bodyguard lo, jadi lo harus sama gue Class.”
Pernyataan itu membuat Ralin bergidik. Meskipun dengan embel-embel bodyguard, tetapi tetap saja ada unsur posesif dalam ucapan Ralph.
Apa perasaan gue aja, kalau dia sedikit posesif? Batin Ralin terdiam.
“Class, kok ngelamun?” tegur Ralph melambaikan tangannya di depan wajah Ralin yang langsung ditepis oleh gadis itu.
“Jangan lama-lama,” tegasnya karena tak mau terlalu lama dengan orang lain.
“Iya-iya.” Ralph mengacak gemas rambut gadis cantik itu kemudian berlari menjauh. Sementara Ralin sudah membulatkan mata karena babu nya kini semakin kurang ajar.
“SIALANN LO BESALUS!!!!”
***