Ralph menikmati sarapan paginya dalam keadaan hening. Di ruangan itu tak ada yang memulai percakapan sama sekali. Andara dengan pikirannya sedangkan Sela tak tau menahu dengan keadaan sekitar.
“Kamu yakin mau bekerja?” tanya Andara pada akhirnya.
Setelah menenggak s**u, Ralph menatap Mamanya. “Yakin, Ma. Bukankah Ralph harus bertanggung jawab? Sekarang Ralph akan melakukannya.”
“Bertanggung jawab jika kesalahan itu karena kamu, Ralph. Sedangkan kali ini, bukan kamu penyebabnya,” tukas Andara membuat Ralph bungkam.
Memang benar Andara selalu mengajarkan tanggung jawab kepada anaknya jika memang telah melakukan kesalahan. Namun kali ini agaknya Andara sedikit tak setuju dengan tanggung jawab yang dilakukan oleh Ralph. Pasalnya kesalahan itu bukan karena anaknya.
“Apa orang bertanggung jawab, kalau punya salah aja Ma? Ralph gak mau kalau Zigo sampai di marahi kedua orang tuanya,” jelas Ralph berharap Andara mengerti.
Helaan nafas lelah akhirnya dikeluarkan oleh Andara. Senyuman tipis tersungging dari bibir wanita cantik tersebut. Ia tak menyangka jika putranya sudah dewasa.
Keduanya tak menyadari jika sejak tadi, Sela memperhatikan dengan bingung percakapan tersebut.
“Mama sama Kakak bicala apa?” Mata Sela mengerjap polos. Gadis itu mengerucutkan bibirnya karena bingung.
“Enggak. Ayo berangkat,” ajak Ralph bangkit dari duduknya. Tangannya mengamit tangan Andara diikuti Sela.
“Sela belangkat, Mama ...!!!!” Gadis kecil itu tersenyum lebar kearah Mamanya.
Seperti biasa kedua orang itu menaiki sepeda ditemani dengan obrolan ringan yang berasal dari Sela. Gadis itu selalu senang jika bersepeda dengan sang Kakak.
Tak lama sepeda itu tiba di sebuah TK dengan standard pendidikan dalam negeri. Bukan sekolah mahal karena Ralph tak memiliki biaya untuk itu.
“Belajar yang bener. Pulang tunggu Kakak, oke?” Ralph mengecup pipi chubby Adiknya.
“Okey, Kakak.”
***
Ralin menunggu di teras rumah dengan wajah datarnya. Sudah setengah tujuh namun makhluk itu tak kunjung tiba.
“Pi, ini udah setengah 7! Nanti Alin telat gimana?” Gadis itu berkacak pinggang penuh emosi. Matanya terus melirik jam yang bertengger pada pergelangan tangan.
Mores keluar dengan santai membawa tas kerjanya. “Papi berangkat ya.”
Bibir pink Ralin terbuka sempurna. Apa Papinya sedang bercanda?
“Pi!”
“Tuan, maaf saya sedikit terlambat karena harus mengantar Adik ke sekolah,” celetuk Ralph yang datang membawa sepeda kesayangannya.
“Sedikit kata lo? Ini udah hampir jam 7 b**o!” hardik Ralin mengamuk.
“Tidak masalah. Yang penting kau sudah bertanggung jawab untuk putriku,” jawab Mores terlampau santai tanpa peduli wajah anaknya sudah memerah.
“Jadi, saya mengikuti mobil Nona Classica dari belakang, Tuan?” tanya Ralph sopan.
“Tentu. Memang, siapa yang mau satu mobil sama lo?” sinis Ralin melipat tangan di depan d**a.
Mores menggeleng heran dengan kelakuan anaknya. Matanya menatap Ralph dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Kamu lihat di dekat gerbang.” Mores menunjuk kearah gerbang mansion nya. Tak hanya Ralph, Ralin pun ikut penasaran.
Oh? Jadi Papi mau kasih dia motor? ucap Ralin dalam hati penuh kesinisan. Namun setelah mendengar kalimat selanjutnya, ingin sekali Ralin membolos untuk ke sekolah dan kembali ke kamarnya.
“Kamu akan menggonceng Alin ke sekolah menggunakan motor tersebut. Jangan sampai putriku celaka apalagi saat tak ada di sampingmu.” Setelah itu, Mores berlalu tanpa peduli teriakan anaknya.
***
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Ralin terus saja memegang helm bogo yang sudah disediakan oleh Papinya. Ia terlalu gengsi untuk meminta tolong kepada Ralph. Sepertinya saat tiba di sekolah nanti, Ralin harus browsing tentang cara memakai helm yang benar.
Dari kaca spion, Ralph melirik gadis itu yang masih disibukkan dengan memegang kedua sisi helm nya. Melihat itu, Ralph dibuat terkekeh hingga tanpa sadar motonya sedikit bergerak limbung.
“Woi! Nyetir yang bener dong!” seru Ralin panik.
Menyadari kesalahannya, buru-buru Ralph memfokuskan matanya kearah jalanan pagi yang sudah mulai padat.
“Sorry, gue terlalu terpesona pas lihat mata indah lo,” ucap Ralph sedikit berteriak.
Bukannya blushing dan sebagainya, Ralin justru mendelik jengkel kepada Ralph. Tangannya yang tidak memegang helm langsung dipakai untuk mencubit pinggang keras pemuda tersebut hingga sang empu berteriak.
Tanpa disadari, Ralin tersenyum tipis melihat itu. Saat menyadari apa yang sudah terjadi, gadis itu langsung melempengkan raut wajahnya.
Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, motor yang dikendarai oleh Ralph dan Ralin akhirnya tiba di pekarangan SMA Bengawan. Kedatangan mereka berdua cukup membuat banyak pihak terkejut pasalnya selama ini Ralin selalu menunjukkan rasa bencinya secara jujur.
Itu Ralin beneran?
Tumben akur ya
Gila sih, bakal jadi trending topik
Kemakan omongan sendiri haha
Ralin yang geram mendengar gibahan itu langsung berteriak dengan kencang.
“Bacott lo semua berisik banget anjingg!”
“Ralin naik motor? Seriusan? Astaga, Brisia harus kasih sunscreen buat Ralin biar kulitnya tetap terjaga!!!” Selain heboh dengan teriakannya, Brisia juga heboh dengan tindakannya yang mengeluarkan sunscreen mahal dari tas sekolahnya.
Ralin yang diperlakukan seperti itu hanya mampu pasrah. Sementara Brisia, setelah mengoleskan barang kesayangannya ke tangan Alin langsung menatap sengit kearah Ralph.
“Ini semua karena Ralph! Kalau aja Ralph sama si bodoh itu gak cari masalah, pasti hidup Alin saat ini bahagia tanpa harus terikat dengan cowok miskiin seperti Ralph!” tukas Brisia pedas. Demi apapun, Brisia sedih jika melihat sahabatnya hidup susah. Dan dia tau jika pemuda miskiin itu ada hati dengan sahabatnya.
“Gue gak mau Classica kenapa-kenapa. Tujuan gue murni karena mau jaga dia,” balas Ralph tenang.
Dari kejauhan, Alvero yang baru saja tiba dibuat muak dengan pemandangan yang berjarak 20 langkah dari tempatnya berdiri. Entahlah karena apa, yang pasti dia tak suka jika kedua sahabatnya bergantung dengan orang lain.
“Ngapain lo mantau doang? Biasanya langsung samperin.” Tepukan pada bahunya membuat pandangan Alvero beralih. Di sebelahnya ada Jeno yang menatapnya bingung.
“Gue gak suka kalau mereka deket sama orang lain,” aku Alvero.
Alis Jeno tertukik karena bingung dengan penjelasan si dingin itu. “Kalau gak suka ya samperin, lah! Lo pikir, diem gini doang bikin Ralin bisa jauh dari tuh besalus? Yang ada justru semakin deket!”
Kepalan tangan Alvero semakin mengetat disertai gemelatuk gigi membuat Jeno beringsut. Sepertinya dia salah berbicara!
“Tenang, bro. Mending kita samperin,” ajak Jeno merangkul paksa bahu sahabatnya. Mau tak mau Alvero pun mengikuti langkah kaki si playboy.
“Heh! Masih pagi udah tigaan aja lo. Mau pedekate?” cetus Jeno sarkas.
“Diem, Jeno!” sentak Brisia. Matanya kembali menatap Ralph dengan tajam.
Zigo yang baru saja tiba langsung memarkirkan motor sport nya dengan tergesa saat melihat sahabatnya dikerumuni oleh anggota Rab'J.
“Mau apa lagi kalian? Gak cukup jadiin Ralph babu buat tuan putri kesayangan lo semua?” sambar Zigo jengah. Dia melupakan fakta jika tak boleh berbicara sembarangan kepada keturunan Millano.
“Lo gak lupa dengan wejangan yang dikasih tau Papi Mores Kan?” Jeno berujar ketus.
Mendengar peringatan itu Zigo langsung terdiam. Dalam hati ia menyumpah serapahi daya ingatnya yang mendadak pikun.
“Gue—Gue gak lupa kok,” jawab Zigo gagap. “Gue cuma gak mau kalian seenaknya sama sahabat gue!” Tukasnya memberanikan diri.
Ralin langsung memutar matanya jengah. Setelah itu ia bersidekap dadaa menghadap Zigo.
“Ralph sekarang ada di tangan gue. Dan yang berhak atas hidupnya sekarang, cuma gue!”
Tanpa ada yang menyadari, semua kisahnya dimulai dari detik ini
***