Pagi-pagi sekali Mores sudah rapi dengan jas mahalnya. Bisa dikatakan jam berangkat Mores kali ini bukan pagi, melainkan dini hari karena waktu masih menunjukkan pukul 03:30 pagi. Pria setengah baya itu melintasi lorong kamar hingga tiba di depan pintu berwarna coklat. Tangannya membuka pintu tersebut begitu perlahan supaya tidak membangunkan si empunya. Kakinya melangkah sudah seperti melayang karena tak ada suara ketukan pada lantai kayu kamar tersebut.
Mata Mores mengamati wajah sang putri dengan sendu. Hatinya benar-benar tergores kala melihat bawah mata itu terlihat membengkak ditambah genangan air mata yang mengering di pipinya. Mores merasa tidak berguna saat ini karena membiarkan anaknya seperti ini.
Tidak, mulai sekarang tidak lagi. Mores akan mencari semua hingga ke akarnya pihak-pihak yang sudah menyakiti anaknya, kesayangannya, setengah jiwanya.
Pria tampan yang sayangnya jomblo itu menyempatkan diri untuk mengecup kening putrinya. Keningnya mengernyit saat merasakan hangat di bibirnya. Karena penasaran, langsung saja Mores memegang dahi itu dan benar saja, panas menjalar begitu tinggi di kulit anaknya.
Tanpa basa-basi, Mores membungkus tubuh Ralin dengan selimut yang berada di ranjang dan menggendong anaknya keluar. Bisa Mores rasakan sedikit pergerakan dari sang putri namun ia tak peduli.
“Papi ...” Ketika membuka mata, mata Ralin sedikit melihat postur Mores berada di depannya.
“Iya sayang. Papi bakal bawa Ralin ke dokter,” sahut Mores.
Saat turun dari lift, beberapa bodyguard yang kebetulan melintas langsung dibuat kaget mendapati Tuannya sedang menggendong anaknya dengan wajah tergesa.
“Tuan, biar saya bantu bawa Nona muda,” ucap salah satunya.
“Tidak usah. Kamu hubungi maid untuk mempersiapkan pakaian Ralin. Diluar ada yang berjaga, kan?” Mores bertanya karena takut jika ternyata tidak ada shift di bagian luar.
“Baik, Tuan. Ada Tuan, biar saya kirim kode kepada rekan diluar.” Dengan sigap Bodyguard itu menghubungi rekannya yang berada di luar.
Setibanya di luar, Mores langsung disambut para pekerjanya yang sudah menunggu. Bahkan beberapa mobil juga sudah siap untuk mengawal perjalanan Mores hingga tiba di rumah sakit. Jalanan terlalu bahaya jika hanya seorang diri untuk ukuran pemilik tambang seperti Mores.
“Mari, Tuan.” Seorang pria mempersilahkan Mores untuk masuk.
“Kabari Alvero, Jeno, serta Brisia untuk ke rumah sakit Medika,” ucap Mores sebelum pintu mobil ditutup.
Di perjalanan, Mores terus membisikkan sesuatu untuk Ralin yang terus meracau kesakitan. Gadis itu meracau karena merasakan sakit pada seluruh tubuhnya.
“Sakit, Papi ...”
“Iya, kita udah di jalan ... Sebentar lagi Ralin diobati,” tutur Mores.
Pria itu memeluk tubuh anaknya yang terbungkus selimut tebal dengan hati-hati. Percayalah, sekalipun dia selalu sibuk di kantor, tak pernah sekalipun Mores melupakan anaknya. Mores bekerja juga untuk kebahagiaan sang putri karena ia tau sejak Ibunya memilih pergi bersama salah satu anak kembarnya, peran Mores untuk Ralin tak pernah berubah. Justru ia semakin menyayangi anaknya.
“Pak, lebih cepat,” titah Mores yang langsung diangguki sang supir.
Detak jantung Mores berpacu begitu cepat melihat nafas putrinya yang tersengal-sengal. Pria itu begitu takut kehilangan anak kesayangannya. Jika diizinkan, ingin sekali Mores membunuh siapapun yang sudah menyakiti putrinya.
“Anak Papi harus sembuh ...”
Dari kaca spion, sang supir mengusap sudut matanya yang terasa basah. Dia tau betul jika Tuannya itu begitu menyayangi sang anak lebih dari nyawanya sendiri. Kebahagiaan Ralin nomor satu. Tak peduli jika dirinya sendiri sakit karena kelelahan bekerja. Maka dari itu jika sedang sakit Mores selalu beralasan menginap di kantor supaya putrinya itu hanya mengetahui ketika dirinya sedang sehat.
***
Alvero dan Brisia tiba di gerbang mansion sahabatnya, Jeno. Sudah satu jam pemuda itu dihubungi namun tidak ada balasan sama sekali. Akhirnya mereka berdua memilih untuk menghampiri ke rumah.
Dari luar, telinga Brisia menangkap adanya kehidupan dari dalam mansion tersebut. Wajar saja karena sekarang sudah pukul lima pagi. Otomatis sang Nyonya sudah bangun dari tidurnya.
Ting! Tong!
Dengan tak sabaran, Alvero menekan bel pada rumah sahabatnya. Biarlah dia dibilang tidak sopan asalkan manusia Lucknut itu bisa segera bangun.
Cklek!
“Loh, kalian? Ngapain kesini?” Mita tentu saja kaget karena masih sangat pagi sekali jika disebut bertamu.
Alvero dan Brisia menyalami Mama dari Jeno terlebih dahulu sebelum berujar. “Jeno mana Tante? Kita mau pinjem buat dibawa ke rumah sakit.”
“Jeno? Masih tidur dia. Mending kamu panggil aja Vero. Kalau Brisia biar disini karena mau Tante introgasi,” ucap Mita mengibaskan tangannya.
Alvero mengangguk setuju dan berlari menuju kamar pemuda pemalas tersebut. Sementara Brisia yang tertinggal langsung dicecar oleh Mita.
“Ke rumah sakit mau ngapain, Brisia? Oh ya, mana Ralin? Biasanya kalian berempat,” cecar Mita beruntun.
Brisia sendiri sampai pusing karena tak diberikan kesempatan untuk menjawab. Dirasa Mita sudah tenang, barulah Brisia mulai menjelaskan. Bisa Brisia lihat jika wanita itu membelalak kaget karena penjelasannya.
“Rumah sakit mana? Nanti Tante sama Om kesana agak siangan,” sergah Mita khawatir.
“Medika, Tante.”
Saat akan bertanya lebih, kehadiran Alvero dan Jeno yang masih sayup-sayup mengecoh. Segera mereka bertiga berpamitan supaya bisa segera tiba di rumah sakit. Jeno sendiri langsung membuka matanya lebar begitu dijelaskan oleh Brisia.
Sekitar 15 menit perjalanan karena masih sepi, mobil yang dikemudikan oleh Alvero tiba di pekarangan rumah sakit Medika. Segera saja mereka memarkirkan mobil dan turun bersamaan menuju UGD sesuai pesan yang dituliskan oleh supir pribadi Mores.
Ketiga orang itu bisa melihat Mores yang terduduk di lantai dengan kepala yang menelungkup diantara lipatan tangan. Satu yang mereka bisa simpulkan, Mores menangis. Badan pria itu bergetar hebat meskipun wajahnya tidak terlihat.
“Papi,” panggil Brisia pelan. Gadis cerewet itu mengelus bahu pria yang sudah seperti Papinya sendiri itu.
Mores mengangkat wajahnya yang terlihat sembab. Pria itu menatap Brisia kemudian beralih pada kedua sahabat Ralin lainnya.
Jeno yang memang tidak ingin melihat Mores bersedih, langsung menghampiri pria itu. Dengan inisiatif sendiri, Jeno membuat lelucon meskipun krik-krik.
“Jeno yakin, Ralin bakalan baik-baik saja, Pi,” yakin Jeno. Yakin dong, sahabatnya itu perempuan hebat.
Pintu ruangan UGD terbuka dan menampilkan seorang dokter yang baru saja keluar dari sana. Melihat itu, Mores segera bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati sang pembawa berita.
“Bagaimana keadaan putri saya, dok?” Dari raut wajahnya, Mores harap-harap cemas mengingat jika di mobil tadi deru nafas putrinya tidak stabil.
Dokter itu tersenyum, “Nona Ralin sudah saya beri penanganan, Tuan. Tekanan dari dalam diri, membuat keadaannya memburuk. Namun anda tidak perlu khawatir lagi karena sudah saya berikan suntik untuk itu.”
“Tekanan?” beo Jeno kemudian sadar akan sesuatu. Rahangnya berubah mengeras kala mengingat perubahan sahabatnya dalam sebulan ini.
Gue akan bales semuanya, ucap Jeno dalam hati dengan kobaran api membara.
***