61. Rencana dalam Rencana

1219 Words
Malam ini Ralph benar-benar disibukkan dengan berbagai jenis tugas dari sekolah. Selain tugas dari sekolah, ada beban pikiran lain yang saat ini menggerogoti otaknya sehingga tidak dapat fokus dengan satu tujuan. Uang. Iya, Ralph merasa uang dari Mores membuatnya pusing. Sejak kepindahan pria itu bersama dengan Ralin ke luar negeri, Ralph sudah dua kali mendapatkan transferan dalam jumlah yang sangat besar. Dari sana, rasa bersalah Ralph semakin besar mengingat bagaimana perlakuannya terakhir kali terhadap Ralin. Helaan nafas lelah terlontar dari bibir Ralph. Sungguh kepalanya ingin sekali pecah saat ini. Mungkin orang akan menganggap menerima uang adalah hal sepele dan menyenangkan, namun bagi Ralph itu adalah hutang karena tidak ada kerjaan yang ia jalankan. “Cleon!” Panggilan dari luar kamarnya membuat Ralph kembali pada kenyataan. Segera pemuda itu melangkah keluar untuk menemui Chloe yang entah apa tujuannya saat ini. “Kenapa, Chloe?” tanya Ralph saat sudah berhadapan dengan Chloe. Wanita bertubuh mungil itu mendongak. “Aku beneran udah gak boleh sekolah, ya?” “Gue gak tau,” jujur Ralph, “tapi kata Pak Deo masih nunggu keputusan dari sekolah buat lo. Kalau besok mau ikut, ya udah sok lah.” Awalnya Chloe menunjukkan wajah ragu, namun akhirnya wanita itu mengangguk karena ia yakin tidak akan dikeluarkan dari sekolah. “Kalian sedang apa?” Andara yang baru saja membangunkan Sela dibuat heran dengan dua manusia berbeda gender tersebut. Wajah keduanya terlihat saling berlawanan entah karena apa. “Ini Ma, lagi bahas soal sekolahnya Chloe,” jawab Ralph acuh. Andara membulatkan bibir pertanda paham, “Ya udah kalau gitu sekarang makan malam yuk!” Baik Ralph maupun Chloe mengangguk senang karena mendengar kata 'makan'. *** Malam yang dingin di Kota New York kali ini tak membuat Mores yang duduk di rooftop perusahaannya terganggu. Pria yang masih terlihat tampan namun jomblo itu menatap Kota dari lantai 40 gedung bertingkat miliknya. Sesekali matanya terpejam karena perasaan gundah pada hatinya. Pikiran Mores menerka tentang sosok Ibu yang sempat dibahas oleh Dokter Ander saat itu. Sudah hari ketiga dan Mores belum memberikan keputusan pasti tentang wanita yang akan ia jadikan istri. Tentu saja Mores tidak atau mungkin belum bisa memberikan keputusan karena dia tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Hidup Mores terlalu datar karena hanya seputar pekerjaan saja. “Tuan Mores.” Seruan dari arah belakang tak membuat Mores menyahut. Pria itu masih menunggu apa yang akan dikatakan manusia berstatus sebagai tangan kanannya tersebut. “Maaf jika anda beranggapan saya lancang. Umur saya tidak jauh dari anda, jika anda membutuhkan seseorang untuk bercerita ... mungkin anda bisa mempercayai saya untuk berbagi segala persoalan.” Mores terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya menyahut, “saya bingung harus bercerita seperti apa karena saat kejadian 10 tahun lalu tidak ada kamu di tempat kejadian.” “Katakan sesuai kemampuan Tuan saya karena jika anda bercerita semuanya, pasti tidak hanya Nona yang terluka, tetapi Anda juga,” sahut Aksa. “Istri saya ...” *** Castil mewah di sebuah pegunungan saat ini terlihat ramai. Kedatangan Januar dan sosok gadis cantik berwajah kalem dan bersuara lembut membuat Ratu Alice yang baru saja keluar dari kamar langsung tersenyum senang. “Anak-anakku,” ucap Ratu Alice sembari mempercepat langkahnya. “Mami,” sapa si gadis lembut. Tiba di hadapan kedua anaknya, Ratu Alice langsung membawa mereka ke dekapannya. Senang sekali melihat mereka berdua bisa berkumpul seperti sekarang ini. Terlalu lama di dunia manusia membuat Ratu Alice seringkali kesepian mengingat Raja sudah tiada cukup lama. “Kabar Ratu bagaimana?” tanya Januar penuh perhatian. Ratu Alice tersenyum menatap Januar. Ini salah satu sifat Januar yang sangat disukai oleh wanita cantik tersebut. “Baik. Sekolahmu bagaimana Januar?” tanya Ratu Alice balik. “Seperti itu,” jawab Januar. Melihat Mami dan saudaranya mengacuhkan dirinya, gadis yang biasa disapa El itu cemberut. Disini ia seolah patung yang keberadaannya bahkan tak dianggap. “Oh lihatlah Januar mate kesayanganmu sepertinya cemburu,” goda Ratu Alice membuat El semakin menekuk wajahnya. “Mami ...!” Gadis itu merengek membuat Januar segera merangkul gadis kesayangannya. “Kamu cemburu dengan Mamimu sendiri, El?” “Tidak!” tukas El melotot. “Jangan menggodaku, lebih baik segera membahas seperti yang kau katakan sebelum kita kesini, Januar.” Mendengar ucapan gadisnya, raut wajah Januar berubah keruh. Untuk sementara dia harus membuat Chloe menjauh dari Ralph. Tidak ada yang tau alasan kuat seorang Januar menjauhkan kedua orang itu untuk saat ini. Sedangkan Ratu Alice yang mengerti jika kedua anaknya ingin membahas hal penting segera berpamitan. Meskipun dipersilahkan untuk mendengarkan, namun Ratu Alice tetap saja menolak karena itu bukan bagiannya. Selepas Ratu Alice pergi, Januar segera mengajak El menuju taman belakang Castil. Keduanya perlu berbicara di tempat yang sedikit sepi supaya tidak ada gangguan dari werewolf lain karena jika sore hari begini anak-anak serigala akan berkeliaran dan itu membuat perbincangan mereka terganggu. “Apa kamu sudah yakin dengan rencana ini?” tanya El mengawali. Tangannya memegang pagar pembatas kolam ikan dengan erat. “Iya. Kamu tau sendiri jika aku sangat menyayangi gadisku itu,” jawab Januar tanpa menatap El. El memegang lengan Januar dan menyandarkan kepalanya disana. Kedua orang itu menikmati pemandangan dimana ikan-ikan saling berenang di air dengan gerakan lincah. “Aku tau, Januar. Sem—” “Alpha.” El tak jadi melanjutkan ucapannya kala Samuel menginterupsi. Segera gadis itu menegakkan badannya dan berbalik menatap Samuel, termasuk juga Januar. Sang Alpha itu masih menunggu apa yang akan dikatakan oleh Beta-nya saat ini. “Jika saya melepaskannya, apa akan ada kekacauan dalam silsilah bangsa serigala?” tandas Samuel langsung. Mengerti arah pembicaraan Samuel, segera Alpha Januar menggeleng. “Tidak akan ada kekacauan apapun. Aku menjamin itu karena tidak ada mating diantara kalian,” yakin Januar kala melihat wajah penuh keraguan pemuda di hadapannya. Samuel menunduk hormat. “Baik, Alpha. Kalau begitu saya permisi.” Samuel berlalu dari hadapan Januar beserta calon luna-nya. Dia tak mau menjadi sadboy untuk saat ini. Biarlah waktu yang akan menjawab suatu saat nanti. *** Motor yang dikendarai Ralph saat ini tiba di parkiran SMA Bengawan. Pemuda itu tidak berangkat sendiri karena ada Chloe yang memang nebeng. Bukan nebeng, lebih tepatnya karena Chloe sudah menjadi tanggung jawabnya. Ralph juga tidak ingin terjadi sesuatu dengan calon anaknya jika wanita itu berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum. “Cleon, mereka ngelihatin aku,” cicit Chloe kala pandangan anak-anak di sekolah seakan mencemooh dirinya. Ralph mengedarkan pandangannya dan benar saja jika seluruh atensi murid menatap kearah mereka berdua. Pemuda itu tak menjawab dan memberi kode kepada Chleo untuk mengikuti langkahnya menuju kelas. Murid besalus seperti Ralph tidak mungkin mengancam murid di sekolah. Maka dari itu, hal yang bisa dia lakukan hanyalah menghindar. Tiba di kelas ternyata sudah ada Zigo yang duduk di tempatnya. Sepertinya pemuda itu belum menyadari kehadirannya bersama Chloe. “Zig!” panggil Ralph menepuk pelan bahu sahabatnya. Benar saja, Zigo terlonjak padahal tepukan itu sangat pelan. Wajah sahabatnya itu berubah masam ketika melihat dirinya. “Kenapa, lo?” heran Ralph. “Gue gak nyangka kalian berdua bisa berbuat sejauh ini,” ucap Zigo menggelengkan kepalanya. Ralph yang mengerti maksud pembicaraan itu hanya bisa menghela nafas panjang. “Udah takdir. Bukannya ini yang lo mau?” “Gue emang gak suka sama Ralin. Tapi dalam kasus ini, kayaknya dia masih lebih baik dan punya harga diri daripada Chloe yang bahkan rela ngasih tubuhnya buat lo.” Bugh! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD