26. Vonis Dokter

1118 Words
Di belahan bumi yang lain, Januar dan Samuel akhirnya tiba. Setelah melesat dalam kurun waktu 1000km/jam akhirnya kini keduanya sudah berada di sebuah Castil kuno. Seorang wanita cantik dengan gaun perak menjuntai menghampiri kedua pemuda itu. “Ratu.” Samuel menunduk hormat saat melihat kedatangan Ratu Alice di hadapannya. Ratu Alice menatap kedua pemuda di hadapannya dengan pandangan menyelidik, membuat Samuel yang hanya berstatus sebagai Beta itu ketakutan. “Bagaimana keadaan Ibu-mu, Januar?” Merasa diberi pertanyaan, Januar tersenyum sekilas kemudian merubah guratan wajahnya menjadi sedih, “Mama baik-baik saja, Bunda. Namun sepertinya aku harus menahan waktu lebih lama lagi.” “Kenapa seperti itu?” Dahi Alice tertekuk karena bingung. “Bedebahh itu mengambil langkah terlalu jauh, Bunda. Dia bahkan sudah menyusun siasat untuk mencelakai gadisku.” Kedua tangannya mengepal erat saat mengingat tentang seseorang yang di kemudian hari menjadi segala sumber masalah. “Tenang saja, Januar ... Bunda akan membantumu dari sini,” kata Alice seraya tersenyum manis. Januar tersenyum, begitu juga dengan Samuel yang ikut menyunggingkan senyumnya. *** “Pi ...” Ralin berseru saat melihat Mores Baru saja datang dengan membawa tas kerjanya. Mores yang merasa dipanggil langsung menghampiri putrinya yang sedang berada di ruang bersantai. “Kenapa anak Papi?” tanya Mores lembut. “Ralin jahat gak sih, Pi?” Tiba-tiba saja Ralin berkata seperti itu hingga membuat Mores bingung. “Jahat kenapa?” Tak menjawab. Ralin justru bungkam setelah mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Mores. Sejujurnya hati Ralin sangat tidak tenang saat mengingat jika dia seringkali melupakan sahabatnya jika sedang bersama dengan Ralph. “Cerita sama Papi,” desak Mores lagi. “Eum ...” Ralin memilin jari-jarinya kemudian menatap Mores teduh. “Ralin sering lupa waktu saat dengan Ralph sampai sering lupa sama sahabat-sahabat Ralin ...” Seketika Mores tertarik dengan cerita tersebut. Pria yang belum terlalu tua itu menatap putrinya dalam hingga si empu risih sendiri. “Ngapain sih lihat sampai segitunya?” dengus Ralin yang merasa jika ceritanya dianggap sebagai angin lalu. “Apa alasan Ralin sampai lupa dengan sahabat Ralin ketika bersama dengan Ralph?” Sungguh Mores sangat penasaran dengan jawaban putrinya mengenai sosok pemuda yang menjabat sebagai bodyguard anaknya itu. Sampai detik ini sepertinya Mores juga tidak tau jika anaknya menjalin hubungan dengan orang kepercayaannya. “Ya kan Ralph bodyguard Ralin!” Mata Mores memicing karena tak percaya dengan jawaban tersebut hingga gadis itu gelagapan sendiri. Kepalanya terulur seolah menginterogasi lawan bicaranya. “Apa sih, Pi!” Ralin berdecak sebal karena seperti tidak dipercayai oleh Papinya sendiri. “Yakin hanya itu?” tanya Mores lagi karena merasa tidak puas dengan jawabannya. “Bukan karena ...” Sengaja Mores menggantungkan ucapannya hingga Ralin sulit bernafas. “Karena apa?” “Karena kamu jatuh cinta dengannya.” Ucapan telak dari Mores berhasil membungkam segala bantahan yang sejak tadi sudah dipersiapkan oleh Ralin. Gadis itu terlalu kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan Papinya. *** Kini Ralph berada di salah satu rumah sakit karena sedang bertanggung jawab kepada Chloe. Pemuda itu dengan kerendahan hati mengantarkan gadis yang terluka karena ke-barbar-an gadisnya hingga melukai orang lain meskipun tak disengaja. Di lobby tunggu, Ralph membuka ponselnya karena ingin mengecek apakah ada pesan dari Ralin atau tidak. Nihil. Tak ada satupun pesan yang masuk selain dari Zigo sahabatnya serta grup kelas. Sementara Chloe di sebelahnya hanya sibuk memilin jemari resah karena takut terjadi luka dalam hingga membuatnya tidak bisa bekerja lagi. “Pasien atas nama Chloecghasa Sliendtvi silahkan masuk ke ruang dokter.” Mendengar jika namanya dipanggil, Chloe langsung bangkit dari duduknya diikuti oleh Ralph yang mengekor di belakangnya. Sekarang Chloe dan Ralph sedang berhadapan dengan seorang dokter wanita yang sedang membuka amplop berisikan hasil lab mengenai keadaan Chloe. Gadis itu semakin takut dengan apa yang akan di dengarnya beberapa menit kedepan. “Saudari Chloe?” Dokter itu menarik nafas perlahan kemudian menatap Chloe dengan pandangan iba. “Dari hasil lab ... anda terkena Parkinson Permanent, yang artinya sakit itu akan terus bersemayam pada diri anda selama anda hidup.” Deg! Chloe menutup mulutnya secara menggeleng tak percaya. Meskipun ia belum terlalu mengerti bahaya dari penyakit tersebut, namun disaat Dokter itu menyebutkan kata 'Permanent', dunia Chloe hancur detik itu juga. “Lalu apa yang harus saya lakukan Dokter?” tanya Chloe dengan suara gemetaran. Di sebelahnya Ralph hanya bisa terdiam membisu karena tak tau harus melakukan apa. “Anda harus sering melakukan uji lab karena penyakit tersebut menyerang sistem otak yang akan membuat anda merasakan Tremor setiap saat,” jelas dokter tersebut. “Cleon ... Bagaimana ini?” Chloe menatap Ralph dengan raut yang kentara sekali takut. “Lo tenang dulu ya ... Gue bakal pikirin ini nanti,” kata Ralph menenangkan meskipun perasaannya sendiri tidak tenang. Dengan ragu akhirnya Chloe menganggukkan kepalanya guna menenangkan dirinya sendiri. *** Di sebuah cafe, tiga anak muda itu kini sedang duduk berhadapan. Ketiganya mengobrol santai sembari menikmati hot chocolate Karena kebetulan sekali cuaca diluar sedang dingin. “Alvero ... Brisia mau dong spaghetti nya,” ucap Brisia tak tau malu. Tanpa banyak bicara Alvero menggeser piringnya hingga berhadapan dengan gadis cantik dan cerewet itu. Segera Brisia menyantap mie panjang dengan saos yang membuat mata merem melek tersebut. “Enak banget gini ...” Mata Brisia terpejam kala makanan itu mulai memasuki tenggorokannya. Sesekali ia juga meneguk milktea favoritnya. “Astaga surga ...” Jeno meletakkan ponselnya setelah tadi bertukar pesan dengan kedua orang tuanya mengenai hal penting. Wajah pemuda itu terlihat gusar karena tidak tenang dengan berita yang disampaikan Mamanya. “Kenapa?” tanya Alvero yang menyadari perubahan raut wajah sahabatnya. Meskipun ia sering jengkel dengan Jeno, namun tetap saja Jeno adalah sahabatnya. “Nyokap.” Tumben sekali Jeno menjawab dengan singkat. Pikiran Brisia langsung berkelana ke sesuatu yang tak masuk akal. “Gak usah mikir macem-macem,” kata Jeno seolah tau apa pikiran Brisia. Brisia bangkit dan mengambil duduk diantara Jeno dan Alvero. Mata gadis itu mengerjap pelan karena berusaha merayu. “Apaan?” Jeno bertanya bingung. “Jelasin ...” rengek Brisia membuat Jeno semakin dilanda frustasi. “Gak ada apa-apa, beneran deh.” Pemuda itu mencoba meyakinkan supaya Brisia tak bertanya macam-macam karena dia sendiri belum yakin dengan apa yang dilihatnya baru saja. “Ish nyebelin!” Kaki Brisia menghentak kemudian bangkit dan mengambil tasnya. Hal tersebut membuat Jeno semakin merasa bersalah karena belum dapat menceritakan yang sebenarnya. “Jangan dipikirkan. Gue yakin Brisia bisa ngerti.” Meskipun bernada dingin dan datar, ketahuilah jika Alvero sangat menyayangi para sahabatnya. Hanya saja dia tak dapat mengutarakan apa yang dirasakan olehnya. Jeno menundukkan kepalanya karena ia sendiri bingung harus bercerita bagaimana karena ini persoalan keluarga yang tentunya bukan untuk konsumsi publik. “Iya ...” Hanya itu yang bisa Jeno jawab supaya hatinya juga bisa tenang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD