Bagian 50- Kisah Buah Obat Nyeri Penyihir

1210 Words
Anakes tidak ingin menceritakan masa lalunya. Ia dengan sopan menjawab mereka berdua agar tidak membahas hal itu lagi. Ia tidak bisa menceritakannya karena mencoba untuk melupakan kisah tersebut.  “Aku hanya peduli padamu!” Kata Fobos kepada Anakes. “Aku tahu itu!” “Kalian cukup akrab!” Kata Bia. Mereka pun beristirahat. Fobos memberikan sebuah tikar yang dianyam dari daun pisang yang sudah kering dan melebarkannya di lantai. Mereka membaringkan tubuh mereka hingga terlelap. Saat bangun, mereka merasa lebih baik dan mulai melanjutkan perjalanan. “Aku akan datang lagi kesini setelah s*****a ku selesai!” Kata Bia kepada Fobos saat melambai.  “Tentu, dengan senang hati!” Kata Fobos membalas.  Bia dan Anakes melanjutkan perjalanan mereka. Mereka mengitari hutan dan juga gunung menuju rumah Persefon. Mereka melihat kanan dan kiri mereka terdapat banyak tumbuhan yang sangat lebat. Mereka sangat menyukai daerah tersebut. Saat lapar, mereka akan berhenti sebentar dan memetik buah-buah yang ada disana dan memakannya. Beberapa buah ada yang tidak pernah mereka lihat. Buah tersebut berwarna hijau dengan bercak-bercak kuning. Tampak sangat lezat. Bia berhenti. Ia selalu melihat buah itu dan tidak bisa menahan nafsunya untuk memakan buah tersebut. “Aku tidak tahan lagi. Aku ingin mencobanya.” Kata Bia memetik buah tersebut. Anakes menatapnya tajam. Ia berang. “Aku tidak pernah melihat buah itu berada di pasar. Tidak ada yang memakan buah itu, padahal disekitar ini ada banyak tumbuh. Itu mencurigakan. Mungkin itu tidak bisa dimakan!” Kata Anakes melarang Bia. “Buah ini tampak sangat enak! Lihatlah, tidak akan terjadi apa-apa. Ayolah!” Kata Bia mengambil buah tersebut lalu dengan cepat memasukkan mulutnya. Saat akan menggigit buah tersebut, rumput tajam menancap buah tepat di tengah buah itu yang membuatnya terjatuh. Ia terkejut. Ia tidak jadi memakan buah itu. Anakes dan Bia melihat arah datangnya rumput tajam tersebut. Di depan mereka berdiri seorang wanita dengan rambut panjang, tampak sudah tua. Seluruh rambutnya putih dan ia memakai baju putih lengan panjang yang menyeret hingga ke tanah. Meski sudah tampak tua, ia masih terlihat cantik. “Siapa kau?” Tanya Anakes dengan kesal. Wanita itu langsung mengenalkan dirinya. “Persefon!” Katanya menunduk. Ia terlihat sangat anggun. Mereka berdua langsung bersorak. Mereka dengan cepat mendekati Persefon. Mereka memperkenalkan diri kepadanya dan menceritakan tentang buah obat nyeri penyihir.  “Kalian mau mencari itu? Darimana kalian tahu buah itu?” Tanya Persefon penasaran. Tak banyak yang tahu tentang buah tersebut. Bahkan, beberapa penghuni wilayah surga saja, ada yang tidak tahu tentang buah itu. “Kami mengetahuinya dari Hebe!” Jawab Bia. “Hebe? Apakah dia ada hubungan darah dengan Eidothea?” Tanya Persefon lagi kepada mereka. Bia menggelengkan kepala. Ia tidak mengetahui hal tersebut. Ia juga baru saja mengenal Hebe.  “Mencurigakan! Tak banyak yang tahu tentang itu! Menarik!” Kata Persefon.  Persefon mengajak mereka ke rumahnya. Mereka berjalan cukup jauh ke belakang gunung Subur. Rumah tersebut kecil dan tampak tua. Tak ada orang disana yang tinggal. Hanya dia sendiri saja. Mereka duduk di depan rumahnya dan memandang gunung besar di depan. Hutan yang lebat berada di depan mereka, jalan Persefon menuju hutan. Jalan itu dibuatnya indah seperti memasuki negeri baru. Tanaman-tanaman yang berada di sisi jalan masuk di tata rapi, memberi kesan penyambutan yang ramah.  Ia pergi ke dapurnya menyiapkan sebuah minuman. Ia membawanya dan menyuguhkannya kepada mereka. Teh itu sangat wangi.  “Sebelum meneguknya, kalian harus tahu tentang apa yang kalian minum. Itu akan menambah kenikmatan saat mencicipinya!” Kata Persefon dengan senyuman. “Ini adalah teh yang terbuat dari bunga telang. 75% adalah bunga telang dan selebihnya adalah lendir dari daun pandan. Pengendapan yang lama dari lendir daun pandan sangat penting. Pengendapan itu dilakukan beberapa waktu, sedangkan penggilingan bunga telang, harus dilakukan dengan cepat dan harus kedap udara. Setelah itu adalah ...” Jelasnya kepada mereka berdua. Mereka tampak bingung dengan penjelasan itu. “Silahkan diminum kalau begitu!” Kata Persefon yang tidak ingin melanjutkan penjelasannya lagi karena melihat reaksi wajah mereka. “Itu lebih baik!” Kata Anakes lalu meneguknya sedikit.  Bia juga meneguk minuman itu. “Wow!” Katanya. Anakes tak bisa berkata-kata saat mencicipinya. “Bagaimana?” Tanya Persefon meminta komentar mereka. “Ini benar-benar nikmat!” Kata Bia. “Aku tidak yakin bisa melupakan rasa ini!” Kata Anakes. Bia berbicara kepada Anakes. “Perjalanan kita kali ini selalu mendapatkan hal-hal yang baik!” Katanya. Semua yang dipikirkannya dari perjalanan ini adalah, memakan buah di pasar buah di wilayah surga bagian ke 3, Fobos si pandai besi dan juga berjumpa dengan teh buatan Persefon. “Kau benar! Aku sudah lama tidak menikmati keanekaragaman wilayah surga!” Kata Anakes menanggapi Bia. Mereka tampak sangat senang. “Ngomong-ngomong, mengapa kau bersikap kasar saat pertama bertemu tadi?” Tanya Bia. “Aku tidak pernah melakukannya.” Kata Persefon. “Kau tadi melemparkan rumput ke arah buah yang lezat itu!” Kata Bia. “Aku berupaya menyelamatkanmu. Buah itu beracun!” Kata Persefon. “Benarkah?” “Buah itu dijuluki dengan nama buah racun. Namanya saja sudah menunjukkan efeknya!” Kata Persefon. “Benar dugaanku!” Kata Anakes. “Terima kasih telah menyelamatkanku. Ngomong-ngomong, dimana kami bisa menemukan buah obat nyeri penyihir?” Tanya Bia. “Tentang buah itu? Apa sebelumnya kalian belum pernah dengar cerita tentang buah tersebut?” Tanya Persefon. “Aku tidak pernah mendengarnya! Apakah itu berbahaya?” Tanya Bia. “Tentu berbahaya! Kau harus masuk ke dalam hutan!” Kata Persefon dengan senyuman dan menunjuk ke hutan di depan rumahnya. “Apakah ada makhluk aneh di sana?” Tanya Anakes. “T-tidak… tidak ada!” “Lalu apa yang berbahayanya?” Tanya Anakes lagi. “Ia memerlukan tumbal!” Kata Persefon. Mereka langsung ketakutan.  “Aku akan ceritakan kisah dari asal buah tersebut!” Kata Persefon. “Buah itu adalah buah yang kecil yang tumbuh di hutan. Tingginya hanya tiga centimeter. Diantara milyaran tumbuhan di hutan, hanya ada satu buah yang berukuran kecil. Buah itu selalu mengeluarkan suara seperti tangisan. Suara itu kadang muncul dan kadang tidak. Buah kecil tersebut tidak memiliki nama, sedangkan buah yang lain memilikinya. Buah yang paling banyak tumbuh di dekatnya adalah buah Bell Pepper. Buah tersebut melihat ke arah buah kecil tanpa nama tersebut. Ia mengejeknya karena sendiri, sedangkan dia memiliki teman-teman yang berjumlah ribuan. Buah yang paling kecil tersebut bukannya bertambah besar, malah semakin lama semakin kecil, tapi suara tangisannya semakin lama semakin besar. Semakin besar tangisannya, semakin banyak cacian yang diberikan oleh Bell Pepper padanya. Sampai suatu ketika, buah itu tidak muncul lagi di permukaan dan tumbuh di bawah tanah seorang diri. Buah itu tidak akan muncul ke atas jika di sekelilingnya ada Bell Pepper. Tapi, ia akan muncul jika ada penghuni rumah yang sedih yang menangis sendirian di hutan. Menangis, tidaklah mudah bukan? Apalagi bagi penghuni surga. Jadi semenjak itu, buah kecil yang sekarang disebut obat nyeri penyihir itu, sangat sulit ditemukan karena ia hanya muncul saat ada kesedihan yang mendalam!” Kata Persefon. Bia dan Anakes menemui tantangan baru. Mereka terkejut karena tahu sulitnya mencari buah itu di dalam hutan. “Apa tidak ada cara lain untuk memancingnya keluar?” Tanya Bia. “Tidak ada, hanya itu!”  “Teman kami sedang membutuhkannya untuk lukanya. Kami memerlukannya segera sembuh dan tidak ingin menunggu lama. Bantulah kami mencari jalan keluar!” Kata Bia memohon pada Persefon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD