9. Apa Aku Bisa Membuatmu Cinta?

1928 Words
Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku. Meski kau tak cinta kepadaku Beri sedikit waktu Biar cinta datang karena telah terbiasa Risalah Cinta By Dewa 19 >>>>>   Bersahabat dan pacaran itu adalah dua hal yang berbeda. Namun kadang-kadang aku lupa akan perbedaan itu. Entah sengaja melupakan atau benar-benar tidak sadar akan perbedaan itu. Sejak penjelasan Rama siang itu soal apa nama hubungannya dengan  Rasti, hubungan kami bukannya merenggang, tapi malah nempel nggak karu-karuan, dan Rama pun makin brutal nempelnya dengan Song Hye Kyo imitasi itu. Aku kan yang jadi tidak enak. Berasa kayak nggak tahu malu tuh. Jujur, dalam hati aku cemburu, tapi aku pendam. Tahu kenapa? Kalau aku bilang cemburu, takutnya semua pada bilang 'kamu siapanya?' Hellooo... Matiii dah. Eh, kloningan BCL mending lo ke rawa-rawa aja sono, berenang kek, berendam lumpur kayak kerbau kek, atau sekalian aja berendam di lumpur Lapindo. Pekik dewi batinku yang mulai angkat tangan membangunkan sisi rasionalku, kibar bendera putih menghidupkan logikaku yang hampir mati rasa ini. Sisi akal tidak sehatku merasa bahwa tidak satu orang pun yang boleh dekat dengan Rama. Oleh karena itu aku juga tidak akan menjauh barang sejengkal pun dari sisinya, kecuali saat aku kerja, kuliah dan dia sedang kerja. Sintingnya Rama pun juga bersikap begitu sodarah-sodarah. Dia itu seperti yang tidak mau jaga jarak denganku. Contohnya, ketika Rama sedang berkunjung ke kosnya si Rasti, sempat-sempatnya pula dia nongkrong di kosku. Calon pacarnya itu dianggurin. Aneh banget, asli. Bahkan sempat terpikir olehku kalau Rama itu seperti sedang sengaja ingin membuatku cemburu dengan pura-pura dekat dengan Rasti. Bagaimana tidak berpikiran seperti itu kalau setiap diajukan pertanyaan, memangnya Rasti tidak marah ditinggal ke kosku? Dengan entengnya dia menjawab, aku lebih takut kamu yang marah kalau nggak disamperin. Tuh kan? Tuh kan? Siapa coba yang mencari gara-gara kalau sudah gini. Kezel. Sumpah ya, aku tuh serasa jadi istri tua gitu. Nah Rasti itu istri mudanya. Bedanya kalau laki-laki pasti lebih gatel pada istri mudanya, nah kalau Rama... Ah nggak tau deh. Pokoknya dia nggak mau ada yang berubah di antara kami meskipun dia sedang dekat dengan Rasti atau perempuan mana pun. So egois... *** Malam ini aku harus ke rumah dosenku melakukan bimbingan. Ya mau gimana lagi, meski capek seperti apa pun, aku harus menunaikan kewajiban skripshit-ku. Saat mengeluarkan Beat ku dari garasi motor kosan, aku lihat Rama sedang bercanda dengan Rasti di beranda depan kosan cewek itu. Dari ekor mataku, kulihat Rama melompat dari kursi lalu menghampiriku. Aku cuek saja, tetap mengeluarkan motor lalu menutup rolling door garasi kosan. “Mau ke mana malam gini?” tanyanya seraya menahan bagian belakang motorku. “Ke rumah dosen, mau bimbingan,” jawabku datar. “Sama siapa?” “Sendirian, Uda. Awas ah, motorku mau lewat.” “Aku anter ya.” “Eh..., nggak usah. Deket kok. Cuma di kompleks sebelah ini.” “Bimbingannya sama siapa aja?” “Sendirian. Rama mengambil alih setir motor lalu naik ke atas motor. “Ayo aku antar,” kekehnya. Melirik ke tempat Rasti sedang berdiri dengan tangan bersedekap, aku mendengus kesal. Pertama kesal banget pada Rama karena menempatkanku pada posisi sesulit ini. Kedua kesal karena tatapan tajam dari Rasti dengan ekspresi wajah ujung bibir yang terangkat sebelah. Tatapan matanya itu sarat akan kekesalan, kebencian dan ketidaksukaannya kepadaku. “Apa sih? Emang aku anak kecil pakek dianter-anter segala. Minggir, aku mau pergi!” Aku masih berusaha membantah. “Ras tunggu ya, aku keluar bentar.” Akhirnya tanpa bisa dibantah lagi, Rama menghidupkan mesin motor dan menarik tanganku untuk segera naik ke boncengan motor. Ya Tuhan, aku dosa, dosa, dosa. Karena aku nggak bisa bohong kalau aku sekarang merasa bahagia di atas penderitaan orang lain. Setelah mendapat jawaban ‘iya’ dari Rasti, Rama melajukan motor menuju rumah dosenku. Aku pun cuma bisa pasrah. Hari-hari berikutnya, sikap Rama tidak berubah sama sekali. Meski sudah dekat banget, Rama tidak mengizinkan Rasti ikutan memanggilnya Rama seperti aku. Memang hanya aku dan Mamanya yang boleh memanggilnya Rama. Yang lain, bahkan keluarga dekatnya biasa memanggil Albar sesuai nama depannya. *** Untuk membuat skripsi bab empat aku mulai melakukan penelitian. Penelitian apo lai? Rama pasti ketawa kalau aku bilang penelitian gitu. Planning-ku Senin ini adalah mengurusi berkas pengajuan kredit mobil untuk calon pembeli. Mas Andra sudah lepas tangan, membiarkanku mengurus semuanya. Agak keder sih awalnya karena biasanya yang menegosiasi dan menentukan orang itu layak diberi kredit atau tidak adalah Mas Andra dan dia sendiri juga yang akan mengambil risiko jika terjadi kegagalan dalam analisisnya. Sebenarnya dari pihak bank, sudah ada petugas surveynya, tapi Mas Andra selalu selangkah lebih dulu untuk menganalisis dan mensurvey sendiri calon pembeli yang akan melakukan pembelian dengan cara kredit. Nah kali ini untuk yang pertama kalinya Mas Andra menyerahkan semua tugasnya kepadaku. “Udah cek lingkungan dan karakter orangnya?” tanya Mas Andra saat aku meminta tanda tangannya di form pengajuan kredit. Bukannya menjawab, aku malah diam menatap ujung converse semata kakiku.  “Tok... tok... Assalamualaikum. Any body home?” canda Mas Andra mengetukkan ujung bolpoinnya di keningku.  Aku mendadak tremor, astaga. Grogiku sudah sampai di ubun-ubun. Aku terkesiap saat Mas Andra melambaikan tangannya di depan wajahku. “Be... belum mas. Hari ini rencananya mau cekling.” Sebuah decakan keras meluncur dari mulut Mas Andra. Aku jamin dalam hitungan nggak sampai ke sepuluh sisi Voldemort-nya akan muncul. “Kamu itu niat kerja nggak? Kalau nggak niat nggak apa-apa. Saya bisa cari orang lain.” Tuh kan, tuh kan... “Niat Mas, niat. Aku jalan dulu, Mas.” Sebelum aku jadi santapan sarapan si bos killer, dengan langkah seribu ala-ala Naruto aku melesat dari hadapan Mas Andra. Beres dari cek lingkungan dan tes karakter, aku melajukan motor menuju Bank. Sesampainya di pintu masuk, Mbak Nessa menyerukan namaku dan memintaku untuk berhenti. “Mau ke lantai tiga ya?” “Iya, Mbak. Ada berkas pengajuan kredit.” “Sini, biar aku bantu.” “Oh, nggak usah, Mbak. Makasih banyak. Kali ini biar saya sendiri aja.” Wajah Mbak Nessa yang imut itu memberengut. Aku jadi tidak tega. Namun aku harus tegas menolak bantuan yang aku sendiri juga tidak tahu tulus tidaknya itu. Tiba-tiba saja tampang horor Mas Andra saat memarahiku habis-habisan karena tahu Mbak Nessa yang mengurusi semua pengajuan kredit mobil yang aku ajukan, berkelibat di benakku. “Andra yang melarang ya?” “Oh, nggak juga, Mbak.” Padahal sih iya. Mas Andra melarangku dengan tegas bahkan mewantiku jangan sampai menggantungkan kepentinganku pada Mbak Nessa. Aku juga tidak tahu alasannya, lebih tepatnya tidak ingin tahu. “Gini Mbak Nessa. Aku kan sekalian menyusun skripsi tuh. Tema yang aku angkat berhubungan dengan showroom-nya Mas Andra. Jadi aku harus tahu semua proses dan pekerjaan di showroom dan di Bank. Supaya memudahkanku dalam menyusun skripsi. Jadi pas sidang nanti juga nggak kesulitan menjawab pertanyaan dari dosen. Gitu Mbak,” jelasku panjang lebar sama dengan luas tanah kaplingan. Mbak Nessa mengangguk memahami, lalu menepuk pundakku dengan lembut. “Semangat ya. Kalau ada kesulitan, jangan segan untuk minta bantuanku.” “Siaaapp. Makasih ya, Mbak.” Aku bisa bernapas lega mendapat pengertian dari Mbak Nessa dan segera menyelesaikan urusanku di kantor ini. Semoga tidak ada kendala dengan pekerjaanku hari ini. *** Setelah mandi dan solat magrib, Tita mengetuk pintu kamarku. Kali ini dia tidak menggedor seperti rentenir nagih hutang. Benar-benar mengetuk normal. “Masuk aja, Tit. Nggak dikunci kok,” jawabku dari dalam kamar. Ternyata dia curhat soal skripsi dan dosen pembimbingnya yang tarik ulur soal seminar proposalnya. Sekitar setengah jam aku berdiskusi dengan Tita, membahas proposal skripsinya yang memang agak njelimet. “Lu ngapain ambil judul ini kalau udah tau dari awal bakal kesulitan kayak sekarang?” “Gue pengen beda dari yang lain.” “Astaga, Tita. Sekarang itu bukan masalah skripsi kita beda dari yang lain. Skripsi itu yang penting kita mampu mengerjakan dan selesai sesuai dengan target yang sudah kita buat di awal.” Tita merebahkan tubuhnya di atas ranjang single-ku. Melipat tangannya di bawah bantal lalu menatap langit-langit kamarku dengan tatapan menerawang. “Gue nggak mau cepat-cepat kelar kuliah. Gue masih pengin lama-lama di sini. Gue jatuh cinta sama kota ini.” “Ya lo cari kerja aja di sini, tapi selesein dulu kuliah lo. Mau kerja apa lo dengan ijazah SMA?” Dengan mendesah lesu, Tita mengubah posisinya. Sekarang ia duduk bersila—masih di atas kasur menghadap padaku. “Kalau gue kembali ke Jakarta. Enyak mau ngawinin gue sama anak juragan jengkol. Kamvret banget kan.” Bukannya empati pada sahabatku ini, aku malah tertawa bahkan sampai terpingkal. Tita sampai menimpukku dengan bantal karena tawaku makin menjadi-jadi. “Aku kira cuma orang Minang yang punya adat perjodohan, ternyata di kota metropolitan sekelas Jekardah, adat itu masih jaman ya,” ujarku sambil menyeka ujung mataku yang sudah menitikkan air mata akibat tertawa. “Parah emang enyak babe gue. Pas gue lulus SMA, gue malah langsung mau dikawinin sama anak juragan ketoprak. Pernah juga dikenalin sama juragan besi tua. Ngeselin pokoknya bonyok gue tuh.” “Besi tua? Setong, duek tong, telok tong, dong?” Aku menyebutkan perhitungan angka satu, dua, tiga dalam Bahasa Madura dengan kaku. Aku pernah bilang kan, hampir empat tahun tinggal di kota ini, bahasa daerahku sudah terkontaminasi dengan Bahasa Jawa dan Madura yang menjadi bahasa sehari-hari mayoritas masyarakat di sini. Meski masih susah melafalkan kata-kata dalam bahasa tersebut, tapi sedikit banyak aku mengerti artinya. Begitulah malam ini aku menghabiskan waktu dengan Tita. Mengobrol, bercerita banyak hal, berdiskusi soal kuliah dan bercanda absurd ala-ala kami. Kami hanya berdua saja, si putri Solo sedang pulang ke kampung halamannya di Semarang. “Gue mau tanya serius sama lo. Tapi lo janji harus jawab jujur. Gue janji apa pun jawaban lo, ini akan jadi rahasia kita,” ucap Tita dengan mimik wajah serius. Tidak seperti biasanya. “Mo tanya apa? Serius banget gitu mukamu?” “Lo suka sama Albar? Maksud gue, suka dalam artian ke lawan jenis, bukan sahabat. Rasa suka yang tumbuh subur lalu berevolusi menjadi rasa cinta.” Aku diam. Berpikir keras akan menjawab apa. Haruskah pertahananku jebol di depan Tita? Merski bertahan, tapi nuraniku berkata lain. Aku bisa memercayai Tita. Rahasia belasan tahunku ini tidak akan bocor ke telinga Rama di tangan Tita. Aku pun mulai bercerita pada Tita. Dimulai saat aku mulai merasa aku selalu ingin menghabiskan waktu bersama Rama. Seperti apa girangnya aku saat dia mencariku ingin mengajak jalan-jalan atau sekadar duduk-duduk di kafe dan mengobrol sampai lupa waktu. Tita menatapku tidak percaya seolah aku sedang mengarang bebas dan berfantasi di hadapannya. “Pikiran dan hatiku begitu terfokus ke dia, sampai aku lupa kenyataan bahwa dia cuma nganggep aku temen doang. Bahkan sekarang ini, cuma sekadar tatapan matanya dan desah suaranya aja udah bisa bikin aku melting,” ujarku lalu bernapas lega karena berhasil membagi beban hati ini pada orang yang tepat. “Tapi lo bilang Albar lagi pedekate sama Rasti?” “Iya. Tapi dia sama sekali nggak mau ada yang berubah dari kami. Dia malah marah kalau aku menghindari dia, Tita.” Aku sudah tidak sanggup lagi. Tangisku tumpah malam ini. Aku mencurahkan semua isi hatiku pada Tita tanpa satu pun yang tertinggal. Enteng rasanya jika beban ini terbagi seperti ini. Tita mencoba menenangkan dan meredakan tangisku. Sebuah ketukan terdengar dari pintu kamarku. Tita beranjak lalu membuka pintu kamarku. “Albar?” Tita menyebut nama itu dengan lirih. Namun masih bisa terdengar olehku. Bergegas aku mengusap air mataku lalu menampilkan wajah cerah dan ceria seperti biasa. “Udah lama di depan kamarku?” tanyaku takut-takut karena Rama sedang menatap aneh padaku. “Baru aja sampek. Kamu kenapa? Kayak abis nangis.” Wajah Rama mendekat ke wajahku. Aku memundurkan kepalaku lalu menggeleng cepat. “Itu apa?” tanyaku mengalihkan pertanyaannya. “Oh iya. Ini roti bakar cokelat nanas kesukaan kamu.” Sambil tersenyum lembut, Rama menyodorkan bawaannya padaku. Tita merasa canggung berada di tengah kami berdua. Dia pilih pamit kembali ke kamarnya sendiri. “Lagi apa?” “Ngerjain skripsi sama bantu Tita ngerjain proposalnya.” Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dari Rama. Apa dia mendengar percakapanku dengan Tita tadi ya? b**o sih aku. Seharusnya jendela dan korden aku buka saja tadi, jadi kalau ada orang berdiri di depan kamarku bisa terlihat dari dalam. Silly.... ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD