10. Di mana Jalan Keluarnya?

1645 Words
 Sungguh tak mudah bagiku Menghentikan segala khayalan gila Jika kau ada dan 'ku cuma bisa Meradang menjadi yang di sisimu Membenci nasibku yang tak berubah Tahu Diri By Maudy Ayunda  >>>>> Sejak malam itu, Rama mendadak dangdut, eh maksudku mendadak dingin. Dia menjadi sibuk sesibuknya, bahkan untuk sekadar kirim chat emoticon alay tidak bisa. Ponselku sepi tanpa notifikasi chat dari Rama. Di ruang kerja Mas Andra, bolak balik aku memeriksa ponsel, memastikan kalau ada notifikasi pesan dari Rama. Namun penonton kecewa, ponselku sepi seperti kuburan rasanya. Rama kenapa? Kalau aku salah kan tinggal ditegur, nggak pakek diam gini. Apa gara-gara Rasti? Atau Rama marah karena sudah mendengar isi hatiku malam itu? Aaahhh.... mo nangis. Dulu Rama memang pernah pacaran satu kali dengan teman sekelasnya. Namun nggak bertahan lama, mungkin hanya beberapa bulan saja. Meski dia punya pacar, tapi tetap intens menghubungiku seperti biasa. Sedikit membuat rasa cemburuku tidak terlalu menggebu waktu itu. Malah mantan pacarnya itu menghampiriku setelah mereka putus, mengatakan kalau mereka putus karena sering mempeributkan soal kedekatanku dengan Rama. Cewek itu cemburu karena merasa Rama lebih perhatian padaku yang notabene cuma sahabatnya dibanding pacarnya sendiri. Rama lebih sering menghubungiku dan mengutamakan kepentinganku daripada pacarnya. Dan puncaknya saat Rama disuruh memilih ceweknya atau sahabatnya, tanpa pikir panjang Rama memilih sahabatnya yaitu aku, lalu memutuskan pacarnya. Aku jadi merasa bangga sekaligus merasa berdosa karena menjadi penyebab selesainya hubungan seseorang. Namun entah kenapa dengan Rasti, aku merasa Rama beda. Apa karena sekarang dia sudah beranjak dewasa dan mulai berpikir menyiapkan tempat khusus di hatinya untuk seorang spesial berstatus kekasih bukan sahabat. Trus aku mau pindah lokasi ke mana kalau posisiku digeser oleh Rasti yang bisa jadi adalah calon kekasih Rama? Pasar Tanjung? Mo nangiiis, mandeeeh. Well, namanya di-friendzone, kita pasti paham risikonya, suatu hari si dia bakal kesengsem pada orang lain. Dan sebagai sahabat yang baik, dia pasti cerita pada sahabatnya. Mau gimana lagi? Gunanya sahabat kan memang untuk mengantisipasi hal-hal rumit seperti itu? Iya kan. Padahal target penjualan mobil di akhir bulan ini sudah tercapai, tapi bibirku masih maju lima senti ala-ala duckface menunggu kabar dari Rama. Mending masih cantik macam Raline Shah, nah aku? Mirip p****t ayam iya. “Manyun aja.” “Lagi bete jangan ganggu! Senggol bacok!” ujarku pada Mas Andra, lalu mendapat tanggapan laki-laki itu bergidik ngeri. Lu kira lihat kuntilanak pakek ngeri-ngeri gitu. Dari ekor mata, kulihat Mas Andra melangkah menuju sound speaker, kemudian menyambungkan kabel speaker ke ponselnya. Mengalunlah sebuah lagu milik Dewa 19 yang judulnya Risalah Hati. Ini lagu bersejarah banget, gilak aja. Mas Andra membangkitkan memoriku banget ini. Ya Allah... Mas Andra tega bener dah. Masih inget banget waktu itu aku kelas sepuluh, Rama kelas dua belas. Nah aku kan ikut ekrakurikuler musik Perkusi. Kelompok ekskul-ku sedang latihan untuk persiapan pentas seni perpisahan kakak kelas. Nah aku ditunjuk menjadi vokalis dalam kelompok perkusiku. Aku latihan tidak jauh dari ruang laboratorium tempat Rama sedang ujian praktek. Aku tidak tahu dia mendengar atau tidak aku sedang menyanyikan lagu Risalah Hati milik Dewa 19. Kata temanku Rama mendatangi ruang latihan dan menonton aksi latihanku sampai selesai. Aku-nya yang nggak 'ngeuh' kalau gitu. Setelah selesai latihan, aku kembali ke kelasku untuk persiapan mata pelajaran berikutnya. “Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta... kepadaku.” Aku masih menyenandungkan penggalan lirik lagu Risalah Hati saat melewati koridor menuju kelasku. Tiba-tiba Rama nongol di hadapanku dari ruang laboratorium terus bilang, “beneran bisa? Buktikan kalau memang bisa,” bisiknya lirih, hanya kami berdua yang bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Rama. Shock dan mendadak lemah jantung dong aku dibisikin seperti itu. Untung aku tidak benar-benar punya penyakit jantung. Kalau punya, apa tidak mati di tempat aku? Kezel. Suara ketukan bolpoin di atas meja membuyarkan keasyikanku yang sedang bernostalgia dengan momen-momen terindah mendapat sepik receh dari Rama. Kulihat Mas Andra sudah berdiri di sampingku dengan tampang annoying-nya. “Kalau mau ngelamun di kamar mandi aja sana. Di sini tempatnya kerja, cari duit bukan wangsit.” Ugh dem, orang ini ya. Julid banget, sumveh.   “Aku nggak ngelamun mas. Aku tuh lagi mikir strategi pemasaran apa yang tepat untuk showroom ini,” kilahku sok cerdas. Mas Andra tertawa seperti ada yang lucu dari jawabanku. “Tolong Veloz yang plat N itu dicek ya. Besok mau diambil pembelinya,” kata Mas Andra sebelum pergi meninggalkanku. “Mas Andra tuh padahal diam aja nggak ngapa-ngapain kalau di Showroom, tapi tetep bisa dapat pembeli mobil. Rahasianya apa, Mas?” “Enak aja kamu bilang saya nggak ngapa-ngapain. Pekerjaan seperti ini bisa dikerjakan di mana aja. Mau sambil makan dan tiduran juga bisa, asal ada niat,” jawab Mas Andra dengan sombongnya. “Niat untuk males-malesan,” jawabku asal. Bukannya marah Mas Andra malah tertawa lalu menjawab kembali, “itu cerdas!” Katanya, lalu tubuh tingginya menghilang keluar dari ruangan ini. Mengembuskan napas pelan, aku mulai mengetik bab empat skripsiku. Baru juga dapat tiga paragraf, sebuah notifikasi chat Line mengganggu konsentrasiku. Awas aja Line Today, lempar tong sampah juga ini aypon ya. Kezel. Namun saat melirik ponsel dan melihat pengirim chat Line tersebut, mataku langsung berbinar penuh emoji love love yang bertebaran saat nama Rama yang tampil.   Uda Rama: sibuk? Me: enggak. Kan udh target. Ada apa? Uda Rama: hari ini bisa jemput Tomi? Aku ngga bisa keluar, UGD lg full Me: oh oke. Jam berapa? Uda Rama: keretanya jam 5 sampai. langsung bawa ke kosku aja. Makasi ya Me: iyo. Samo2 Aku kira apaan. Nggak apa-apa deh meski cuma dimintain tolong. Artinya dia masih membutuhkanku. Seketika aku merasa nyaman dan mendapat suntikan semangat baru untuk mengerjakan skripsiku. Ah... Nyaman lagi, nyaman lagi... Itu kata sakti yang wajib dihindari buat kalian yang punya hubungan persahabatan dengan lawan jenis. Yakinlah 80 persen hubungan seperti itu pasti berakhir dengan cinta bertepuk sebelah tangan. Seperti aku ini. Omong-omong soal Tomi, dia itu salah satu sahabat Rama yang kuliah di ITB. Dia ketua ekskul perkusi yang pernah aku ikuti saat SMA. Ya Tuhan, pertanda apa ini? Baru beberapa menit yang lalu sedang mengenang momen terindah sepanjang aku ikut ekskul perkusi, eh sore ini aku bertemu orang yang berasal dari masa lalu dan saksi hidup seperti apa dekatnya aku dan Rama. Andai saja lorong waktunya Zidan itu memang benar-benar ada, dan mesin waktu milik Doraemon itu bukan cerita kartun semata, pasti aku rela merogoh kocek dalam-dalam demi memiliki alat-alat itu, yang bisa membawaku kembali sesuka hati ke saat-saat terindah bersama Rama. Saat dunia Rama hanya untukku dan duniaku hanya ada Rama. Dan aku sepertinya mulai gila. *** Sesuai dengan pesan Rama tadi, kereta yang ditumpangi Tomi dari Bandung sampai pukul lima sore. Aku sudah tiba di stasiun sepuluh menit menjelang kereta sampai. Beruntung sudah target, jadi mas Andra tidak menatap nista saat melihat aku pulang cepat. Perjanjiannya memang seperti itu, kalau target sudah terpenuhi, bebas mau ngapain, yang penting masuk kerja. Kalau aku pilih masuk kerja, trus nyantai-nyantaian di showroom, numpang Wifi nonton drakor (drama Korea) dan numpang ngadem.   Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman 55: Ayat 13). Hahaha.... Melihat sosok tak asing melangkah dari pintu keluar stasiun sore ini, aku melambaikan tangan serta menyerukan namanya beberapa kali. Akhirnya Tomi mendengar lalu melangkah cepat menuju arahku. “Kok kamu yang jemput? Albar mana?” “Lagi sibuk.” Tomi menggeleng sambil berdecak kesal lalu menerima helm yang aku sodorkan. “Biar aku aja yang setir motornya.” “Emang masih ingat jalanan Jember?” “Masihlah.” “Yalah, yalah.” Aku naik ke boncengan motor dan meminta Tomi melajukan motor menuju kosan Rama. Tomi memang sudah beberapa kali main ke Jember, jadi sedikit banyak dia tahu jalanan kota yang tidak terlalu luas ini. Bagi Tomi yang terbiasa dengan kota seluas Bandung ataupun Jakarta, mungkin Jember tidak ada apa-apanya dibanding dua kota besar itu. Sesampainya di kosan Rama ,aku bisa langsung masuk ke kamar cowok itu, karena aku memang memegang kunci duplikatnya. “Kamu nggak lagi bertengkar sama Albar kan?” tanya Tomi saat aku mengambil kaos dan kemeja yang tergantung di belakang pintu yang aku yakini adalah pakaian kotor. Lalu meletakkannya ke keranjang di belakang pintu. “Bertengkar gimana? Enggak tuh,” jawabku tanpa berani menatap mata Tomi. “Hubungan kalian udah sampai mana sekarang?” “Sampai mana gimana? Geje deh.” “Kalian pacaran?” Hah? Kedua manik mataku hampir saja melompat keluar saat mendengar pertanyaan Tomi. “Ngaco nanyanya,” jawabku setelah kesadaranku telah kembali sembari pura-pura ketawa menganggap pertanyaan horor itu sebagai gurauan. “Aku kira hubungan persahabatan kalian akan naik satu tingkat setelah usia kalian beranjak dewasa. Ternyata kalian masih saja nyaman di zona tidak menyenangkan. Apa enaknya coba saling menyimpan perasaan seperti itu?” “Ang mangecek apo?” (Kamu ngomong apa) “Kamu nggak ngerti apa pura-pura nggak ngerti??? Anto mangko jadinyo laklah!” (Mengapa begini jadinya, Laillahaillallah) Saat Tomi sudah berseru seperti itu, aku tahu dia pasti sedang kesal pada sesuatu. Aku tahu tujuan kekesalannya adalah aku. “Waang kuliah jauh-jauh ka Jember. Apo nan katuju dek ang? Albar kan?” (Kamu kuliah jauh ke Jember. Apa yang kamu inginkan) Aku tidak menggubris pertanyaan Tomi yang bernada tinggi itu. Aku mengerti apa yang dimaksud oleh Tomi. Namun aku bisa apa? Saat ini Rama sudah memilih Rasti, bukan aku. Ternyata Tomi juga enggan melanjutkan perdebatan kami. Dia membongkar ranselnya lalu mengeluarkan bungkusan entah apa isinya. “Itu titipannya Albar dan semua buat kamu. Brownies bakar kesukaan kamu, n****+ Harry Potter yang aku nyarinya sampai ambil cuti kerja sehari demi dapat n****+ hard cover itu, dan n****+ Ayat-ayat Cinta. Kata Albar, stoknya di Gramedia Jember kosong mulu tiap dia nemenin kamu beli novel.” Shock. Aku menerima pemberian Tomi dengan tampang b**o. Untuk apa Rama pesan segala macam kesukaan aku seperti ini pada Tomi. Dan ini bukan kali pertama Rama seperti ini. Hampir setiap kali Tomi main ke Jember selalu direpotin membeli ini itu sebagai oleh-oleh untukku oleh Rama. “Besok-besok mending aku nggak ngabarin deh kalau mau main ke Jember,” tukas Tomi lalu tubuhnya menghilang ke dalam kamar mandi. Dadaku sesak Tuhan.   PERMISI... JALAN KELUAR DARI SEMUA PENDERITAAN INI ADA DI MANA YA? KLONINGAN RALINE SHAH INI SUDAH LELAH MENAHAN PERASAANNYA. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD