Jagapahti Baskara Wiryodiningrat, pria berusia 35 tahun yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhumi Pratama Nusantara dari satu bulan yang lalu. Jagapathi sadar kemampuannya diatas dosen yang lain, tapi tidak diangkat mendadak dengan segala permasalahannya juga. Universitas yang sedang jadi sorotan sebab penggelapan dana pemerintah, dan dekan fakultas hukum menjadi salah satu pelakunya, bahkan memasukan mahasiswa yang tidak memenuhi persyaratan yang membuat akreditasi berpotensi jelek.
Salah pulu-pulu itu adalah Paulina.
“Jengah gue sama mahasiswa yang masuk jalur curang. Otaknya pulu-pulu semua, gak bisa ngejar Pelajaran. Kalau dipaksa dilulusin, nanti reputasi fakultas gue makin jelek.”
Ditambah lagi Paulina yang kini berulah. Makin kesal Jagapathi dibuatnya setelah kelakuannya pagi tadi. Kalau bukan karena Universitas sedang jadi pusat perhatian, Jagapathi enggan membawanya kesini. Dan kalian pikir Jaga akan memanfaatkan kesempatan dengan mengambil keuntungan? Jawabannya tidak.
“Ahhh… tolong…. Gatel… ngahh… basah… gatel… bantuin…. Colokin…. Ahhh…”
“Colok aja sendiri, saya gak nafsu lihat kamu,” ucapnya menendang pintu kamar mandi, menyalakan kran bathub sambil sesekali melihat Paulina. “Jangan kamu buka kancing saya. Jangan berani! Pulu! Jangan jilat! Akhhh! Sial!”
BYUR!
“Ahhhh! Uhuk! Uhuk!”
“Eh… jangan mati kamu.” Jagapathi segera menarik Paulina hingga duduk benar dalam bathub.
“Bapak….,” rengeknya.
“Gak, kamu rendam disini, sampai efek obatnya hilang.”
Kemudian Jagapathi meninggalkannya begitu saja. Satu-satunya yang bisa Jagapathi lakukan sekarang adalah merokok, sambil sesekali menoleh ke kamar mandi yang sedikit terbuka. Dia type orang yang tidak bisa melakukan hal lain jika urusan yang lainnya belum selesai.
Begitu ponselnya berdering, Jagapathi langsung mengangkatnya. “b******n, gak usah anggap gue temen lagi.”
Seketika tawa pecah disebrang sana. “Gimana sekarang tuh anak? Pasti lagi lu rendem kan?”
“Kirim obat, biar cepet ilang efeknya. Tuh anak masih desah padahal udah lama disana.”
Zurech berdecak. “Dia minum yang dosisnya tinggi, lagi gak ada di klinik gue. Kalau minta ke RS, tar ada yang cepuin ke nyokap. Mending lu ambil deh, manis kayaknya tuh anak. Enak kali hujan-hujan gini diangetin sam-” TUT. Jagapathi mematikan telpon seketika, lebih baik menunggu daripada mendengar saran Zurech.
Namun, desahan itu tidak kunjung berhenti sampai berubah jadi suara lirih. Kira-kira 30 menit, Jagapathi memutuskan untuk melihatnya dan…. “s**t!”
Masalah baru ditemukan, Paulina mengalami hipotermia. Bibirnya membiru, tubuhnya gementar memutih, tapi desahan tetap keluar dari mulutnya. “Aa… ahhh… geli… ahhh…”
Seketika Jagapathi menariknya dari bathub. Panas tubuh Jagapathi membuat Paulina memeluk pria itu erat. Bahkan saat ditidurkan di atas ranjang, Paulina enggan melepaskan. “Anghhh… jangan dibuka… dingin…”
“Diam, kamu hipotermia.”
Yang rencananya akan memanggil bibi pembantu ke apartemen untuk mengganti pakaian, nyatanya dilakukan Jagapathi sendiri, sambil terus mengumpat dalam hati melihat tubuh molek dan semok milik Paulina. Mana mirip cacing kepanasan.
Jagapathi turut membuka baju bagian atasnya, menaikan suhu ruangan dan mengaktifkan Temperature Control pada WarmUp Bed mahalnya.
Begitu Jagapathi berbaring, Paulina yang tanpa busana langsung memeluknya erat mencari kehangatan. Bagian bawahnya turut menggesek, dengan suara lirih mengganggu telinga Jagapathi. “Hhhhh… ahhh…”
“Bisa diem gak kamu? Saya berbaik hati biar kamu gak mati.”
“Ahh… enak… enak…,” racauan Paulina semakin menggila ketika selangkangannya atasnya menggesek perut kotak-kotak Jagapathi, dan pria itu merasakan dengan jelas, bagaimana lembutnya, panasnya dan juga beceknya, dia frustasi dan ingin melepaskan, tapi hipotermia bisa membunuhnya. Jadi dengan harapan tersisa, Jagapathi meraih telpon di nakas dan menghubungi Zurech, dimana dokter itu langsung berucap, “Iya gue tau, susah ilang kan? Kasih pelepasan sekali aja. Lu bantu pake tangan atau jilat. Udah ya, gue lagi make out sama cewek gue.”
“Sial!”
EDan sekarang tidak ada pilihan lain baginya menyelamatkan nyawa mahasiswa ini, juga dirinya dari hilang kendali. Oke, Jagapathi akan membantunya. Tangan kekarnya perlahan meluncur ke bawah, membelah paha dalam Paulina dan menyentuhnya disana.
“Ahhhhh! Enak,” desahnya semakin menggila.
Yang Paulina rasa adalah kenikmatan, pinggulnya ikut bergoyang menggesek jemari yang kekar itu. Efek alkohol dan juga obat tentu saja mengambil alihnya, mengeluarkan sisi binal yang tidak pernah dilihat siapapun. Sedangkan Jagapathi, wajahnya memerah padam seperti terbakar, wajah yang mirip ketika dirinya memarahi mahasiswa bodoh.
****
Jika kalian pikir Paulina akan marah-marah sebab dia bangun tanpa busana di kamar sang dekan, maka jawabannya salah. Paulina hanya sempat menjerit ketika bangun tidur dan menyadari tubuhnya tidak memakai baju sehelaipun, bersamaan dengan itu Jagapathi keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit di pinggang.
“Gak usah drama kamu. Ingat apa yang terjadi semalam, saya yang menyelamatkan kamu dari efek alkohol dan obat perangsang. Kalau kamu pikir saya ambil kesempatan, itu salah besar. Saya gak tertarik sama kamu.”
Dan tidak sampai disana saja, omelan keluar dari mulut Jagapathi.
“Kamu itu bukan anak baru yang masih belajar etika sosial. Mahasiswa Fakultas Hukum harus tahu diri, bukan soal senang-senang yang saya permasalahkan, tapi soal integritas. Alkohol sampai obat perangsang? Sungguh cerminan yang murahan untuk seseorang yang harusnya memiliki kelas. Kamu seharusnya paham apa itu kredibilitas dan integritas fakultas. Kalau kamu merasa beban menjaga reputasi terlalu berat, mungkin kamu salah jurusan.”
Dengan begitu, niat Paulina marah dengan kondisinya jadi menciut. Akhirnya dia hanya menunduk, meminta maaf dan menerima apapun yang diperintahkan Jagapathi termasuk bergegas memakai baju dan keluar dari apartemen tersebut. “Saya minta maaf ya, Pak. Atas kesalahan saya yang-”
BRUK! Pintu apartemen ditutup seketika. “Orang gila, gak punya hati. Hobby banget dia motong omongan orang. Dasar gak sopan,” gerutunya sambil melangkah menjauh.
Dengan kaos kedodoran dan celana training, Paulina keluar dari Gedung apartemen itu. “Wuih, baru sadar di Diamond Luxury Apartemen, pantesan apartemennya nyaman. Eh, apartemen gue juga gak kalah nyaman, gue pulang sekarang. Bye, Pak Jagapathi, gue gak bakalan berurusan lagi sama lu.”
Diantarkan taksi online, Paulina pulang ke apartemen yang dia tempati selama 3,5 tahun terakhir ini. “Loh… loh… kalian siapa? Beraninya bobol apartemen saya. Hei! Kenapa barang-barang saya dikeluarin!”
Baru juga ingin istirahat, Paulina malah mendapati sekelompok orang mengeluarkan barang-barang dari apartemennya.
“Maaf, Mbak. Saya diminta pemilik apartemen, katanya ada penyewa baru yang mau nempatin,” ucap salah satu pekerja.
“Penyewa baru gimana? Saya yang sewa apartemen ini, kok bisa-bisanya dikeluarin gitu aja?” Paulina tidak terima.
“Saya gak terima p********n,” ucap sebuah suara membuat Paulina berbalik, itu si pemilik apartemen. “Bapak kamu gak transfer lagi ke saya, katanya dia sudah gak mampu sewa apartemen ini buat anaknya. Jadi silahkan bawa barang-barang kamu.”
Seketika tangan Paulina mengepal. “Papa…,” gumamnya kesal.
***
“Pah!”
“Udah Papa bilang kalau bisnis baru Papa bangkrut lagi. Kamu harusnya bentar lagi lulus dan bantuin Papa, ini kerjaannya pacaraaaaannn mulu. Papa pusing sama kamu, jadi ini keputusan yang terbaik buat kamu.”
“Ya enggak dengan cara dipotong uang jajan sama tinggal sama orang asing dong, Pah! Paulina ini anak Papa, masa mau diterlantarkan.”
Namun protesnya tidak didengar, malah dibalas ancaman, “Diem, atau Papa potong semua uang jajan. Lagian kamu tinggal sama orang yang bakalan bisa bikin kamu cepet lulus, Paulina. Kalau Papa tinggal sendiri di rumah ini, kamu pasti bakalan maen terus.”
“Yaudah ikut Papa ke London.”
“Kuliah dulu yang bener. Mau Papa ambil juga mobil kamu?”
Paulina menggeleng. Meratapi bisnis Papanya bangkrut lagi, dan Paulina diminta tinggal dengan kenalannya selama Papanya ke London. Paulina ingin menolak, tapi kasihan juga melihat raut wajah sosok Santoso Adiwangsa yang dulunya gagah, kini tampak sangat rapuh, terlebih tidak ada lagi sang Mama yang menguatkan sebab sudah dipanggil yang maha kuasa.
Sore itu dia bersiap, akan pergi menemui orang yang katanya akan membantu Paulina memahami segala hal yang berbau hukum, orang itu juga yang akan tinggal bersama Paulina selama Papanya pergi. Mereka berdua datang lebih awal ke sebuah resto di salah satu hotel. Dalam bayangan Paulina, sosok yang akan tinggal bersamanya adalah wanita tua, atau perempuan muda yang cerewet.
“Nah, itu dia datang,” ucap Santoso menepis semua ekspektasinya.
Sebab sosok yang mendekat ke meja, adalah sosok yang familiar bagi Paulina. Baru juga kemarin dia menyiram kopi ke selangkangannya, baru juga tadi malam dia tidur telanjang di pelukannya. Sekarang, pria itu ada di hadapannya, bersalaman dengan Papanya.
“Nah, Nak Jagapathi, saya mau kamu balas budi dengan tampung anak saya selagi saya membangun bisnis. Kamu sudah jadi Dekan Fakultas hukum ‘kan? Nah, makin mudah buat didik dia.”
“Bagaimana, Pak?” Jagapathi tampak kaget, tapi tetap tenag.
“Papah! Yang bener aja.”
“Beneran, dulu Jagapathi yang bikin bisnis Papa bangkrut. Nah, sekarang Papa mau minta balas budinya.”
Benar, dulunya, Santoso adalah pemilik perusahaan tekstil terkemuka. Namun, di balik kesuksesan itu, praktik-praktik yang melanggar hukum, seperti pembuangan limbah sembarangan, m*****i nama perusahaannya. Kejahatan ini akhirnya terbongkar berkat penelitian S3 yang dilakukan oleh Jagapathi. Dalam penelitiannya, Jagapathi membongkar praktik-praktik ilegal tersebut, dan investigasi lebih lanjut oleh pihak berwenang pun dilakukan. Meski kejahatan lingkungan ini terungkap, Santoso tetap bebas dari hukuman penjara karena perlindungan hukum dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Dengan mekanisme Pertanggungjawaban Korporasi, perusahaan yang dijatuhi sanksi, bukan Santoso secara pribadi, karena tidak ada bukti keterlibatan langsungnya dalam kejahatan tersebut.
“Ingat kan, Nak Jagapathi? Waktu saya menangis saat diperiksa polisi dan kamu minta maaf terus saya bilang bakalan maafin dengan balas budi di kemudian hari. Nah, saya mau kamu tampung anak saya.”