Merasakan

1132 Words
Mata Riftan menatap tubuh indah Nayya dengan kornea mata yang memerah, tampak gairah menggebu dimatanya yang merah membara itu. ia lalu menangkup wajah Nayya dan menciumnya dengan lembut. Tangannya mulai menyentuh d**a Nayya dan melakukan apapun yang selama ini ia impi-impikan membuat Nayya mendesah berkali-kali. Saat Nayya terlihat sudah siap untuknya Riftan langsung menusukkan taring tajamnya ke leher Nayya dan menghisap darahnya, bersama dengan itu tubuh mereka pun menyatu. Cahaya biru dari tanda bintang yang ada di bagian d**a Riftan bersinar terang hingga menyelimuti mereka berdua. Mereka pun larut dalam gelora hasrat dan cinta yang terpadu dalam kenikmatan penyatuan tubuh dah jiwa mereka. Gerakan Riftan semakin liar dan agresif. Begitu juga dengan Nayya mampu mengimbangi kemampuan Riftan di atas tubuhnya. Sampai akhirnya tubuh mereka ambruk dengan kepuasan tiada tara. Keringat membasahi tubuh keduanya, nafas tersengal mereka masih terdengar. Riftan tersenyum lalu mencium kening Nayya dengan penuh rasa sayang. Sedangkan Nayya tampak tersipu malu-malu. Ia tidak menyangka ia sudah memberikan segalanya untuk pria yang ia sangat cintai ini. Setelah menenangkan deru nafasnya, tubuh Riftan kembali menegang. Matanya berubah menjadi merah dan dengan secepat kilat ia sudah berada di atas tubuh Nayya. “Kau mau apa lagi?” tanya Nayya bingung. Tubuhnya masih terasa remuk dan tidak bisa ia gerakkan lagi, tapi Riftan dengan mata buasnya itu sudah terlihat siap menyerang dengan senjata mematikannya lagi. “Apa lagi kalau bukan untuk bercinta denganmu lagi sayang,” ucapnya lalu kembali mencium dan membuat Nayya mendesah dan menjerit kembali. Suara burung terdengar bersahut-sahutan, sinar pagi menyinari hutan mengeluarkan aroma segar. Dua makhluk yang berbeda jenis di atas ranjang masih terlelap setelah malam panas yang panjang mereka. Tidak beberapa lama, mata Nayya terbuka, ia menatap sekeliling dan melihat Riftan masih terkapar dengan tubuh polosnya yang hampir terlihat. Ia kembali teringat betapa liar dan agresifnya Riftan malam tadi, vampir itu sama sekali tidak pernah kehabisan tenaga, mereka menikmati keintiman berdua bahkan sampai di penghujung malam. Riftan baru melepasnya setelah ia memohon-mohon karena sudah tidak sanggup lagi menghadapi nafsu Riftan yang seakan tidak pernah padam. Bagaimana bisa ia menahan hasratnya selama itu? Jika pada dasarnya vampire tidak bisa mengendalikan gairah seksualnya terhadap pasangan jiwanya. Ia pun hendak turun dari ranjang tapi tiba-tiba perutnya sakit. “Aw.. sakit… apa pengaruh tadi malam, ya?” gumannya sambil berusaha berdiri dari sisi ranjang. Pangkal pahanya terasa sakit sekali, tulutnya sampai gemetar. Tapi ia harus tetap berjalan ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Dengan tertatih ia berjalan masuk ke kamar mandi, saat membuka pakaiannya, ia cukup terkejut melihat seluruh tubuhnya di penuhi oleh memar kemerahan. Tiba-tiba perutnya kembali sakit, ia duduk di kloset sambil meringis menahan sakit. “Sakitnya tidak kunjung hilang, aduh, bagaimana ini?” gumannya. Ia berusaha bangkit tapi tiba-tiba melihat cairan merah mengalir di betisnya. “Apa ini darah datang bulanku?” ia terdiam sejenak lalu kembali duduk sambil menepuk jidatnya. “Bagaimana bisa aku tidak ingat jadwalnya. Oh, tidak. Tapi kan ini kamar Riftan, tidak ada pembalut di sini. Aku harus cepat-cepat mandi lalu keluar dari kamar ini sebelum Riftan terbangun.” Sementara itu, Riftan juga mulai terbangun. Ia benar-benar menikmati malamnya bersama Nayya. Sungguh malam yang luar biasa. Akhirnya ia merasakan hal yang selalu ia impi-impikan selama ini. Sesuatu yang terakhir kali ia lakukan bersama Adela lima ratus tahun lalu. Waktu yang sangat lama untuk menahan hasrat yang terpendam akhirnya bisa tersalurkan dengan baik. Ia meraba Nayya tapi kasurnya ternyata kosong. Tapi setelah mendengar suara gemericik air dari kamar mandi, ia tersenyum tubuhnya kembali menegang. Ia benar-benar sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Ia bangkit dari tidurnya tapi dahinya mengernyit saat tiba-tiba mencium bau darah dari arah kamar mandi. “Nayya…!” panggilnya sambil berlari ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang ia membuka pintu kamar mandi dan melihat Nayya sedang berada di bawah guyuran air shower. Ia tertegun melihat tubuh indah pasangannya itu. Tubuh bawahnya semakin menegang, bau darah semakin menyengat tapi ia tidak melihat tubuh Nayya terluka. Nayya yang tidak sadar dengan kemunculan Riftan sangat terkejut saat tiba-tiba tubuhnya di peluk oleh seseorang. “Ah…!!” pekiknya. “Riftan, jangan. Aku tidak bisa melakukannya lagi,” ucap Nayya sambil meronta. “Kenapa tidak? Kau harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada tubuhku sekarang,” ucap Riftan sambil menyentuh area intim Nayya, tapi dengan cepat Nayya mencegah tangan Riftan. “Aku serius, kau tidak bisa melakukannya lagi,” ucap Nayya sambil menahan tangan Riftan yang kembali menjalar di tubuhnya. “Tapi kenapa, Nayya?!” Riftan mulai tidak sabar. Ia menghentikan gerakannya dan menatap Nayya dengan serius. “Aku itu…” wajah Nayya memerah, ia malu memberitahu Riftan jika ia mengalami datang bulan. “Ada apa Nayya?” Riftan mulai khawatir. Nayya masih terdiam. “Apa kau baik-baik saja?” aku mencium bau darah, apa kau kesakitan?” tanya Riftan sambil memeriksa tubuh Nayya. “Pe..perutku sakit, aku…datang bulan,” lirih Nayya menahan malu. “Datang bulan? Apa itu? apa kita perlu ke rumah sakit?” Riftan kebingungan dan semakin cemas. Nayya menggapai handuk yang ada di lemari, dengan cepat Riftan membantunya. “Aku tidak perlu ke mana-mana. Tolong antar aku ke kamarku saja,” ucap Nayya sambil memasang handuknya. “Ba..baiklah,” sahut Riftan, ia pun dengan cepat mengangkat tubuh Nayya keluar dari kamar mandi dan membawanya menuju kamar Nayya. Riftan membawa Nayya ke ranjang tapi Nayya mencegahnya. “Jangan bawa aku ke ranjang, nanti kasurnya kotor. Turunkan aku di sini saja,” ucap Nayya, Begitu di turunkan Nayya berjalan tertatih nenuju ruangan ganti, menahan sakit di perutnya, Riftan yang cemas dengan cekatan membatu Nayya berjalan. “Eh. Kau tidak perlu ke sini, aku mau pakai baju,” tegur Nayya. “Tidak apa-apa, aku hanya ingin membantumu. Lagi pula, kenapa kau harus merasa malu segala, aku kan sudah melihat semuanya,” ucap Riftan. “Tetap saja aku merasa malu, aku datang bulan dan mau pakai pembalut. Kau keluar dulu,” ucap Nayya sambil mendorong tubuh Riftan. Tapi Riftan sangat terkejut saat melihat darah di bagian belakang tubuh Nayya. “Nayya kau pendarahan? Inikah alasanmu kau tidak ingin di sentuh?” tanya Riftan. “I..iya,” ucap Nayya. Riftan menatap Nayya dengan dalam, “ Kau pasti sangat kesakitan, kan? jangan khawatir pendarahannya hanya akan berlangsung sehari semalam saja, kau pasti bisa menahannya,” ucap Riftan menenangkan. Kening Nayya mengernyit. “Pendarahan? apa maksudmu? Aku tidak mengalami pendarahan tapi ini darah haid!” ucap Nayya. “Darah haid? Apa itu?” Riftan tidak mengerti. “ Darah yang akan keluar setiap bulan. Kami manusia umumnya mengalami ini selama satu sampai dua minggu lamanya,’” ucap Nayya menjelaskan. “Apa? satu atau dua minggu?” Riftan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia lupa kalau Nayya adalah manusia. “Iya, kenapa kau terlihat syok begitu? ini normal, kok.” Nayya mencoba menjelaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD