Kecupan Terima kasih

1087 Words
Semuanya tertegun dan terkejut, mungkin lebih tepatnya terpesona. Makhluk besar yang selama ini terbungkus asap putih ternyata adalah seorang wujud Riftan sendiri yang memiliki sayap putih indah. Wajah tampannya sama sekali tidak berubah, wajahnya bahkan bersinar. Hanya saja, tanda biru yang ada di dadanya lenyap dan di gantikan dengan sayap yang membentang lebar. Nayya menyentuh wajahnya dengan tangannya yang kecil, ukurannya sangat kecil jika di bandingkan dengan bentuk Riftan sekarang. Tapi perlahan bentuk itu mengecil hingga ukuran normal. Hanya saja sayapnya tidak hilang. Riftan menyentuh wajah Nayya dengan lembut, mendekatkan kepalanya ke leher Nayya dan mulai mengendusnya. Nayya memejamkan matanya, taring Abizar mulai tumbuh memanjang, seiring dengan kedua kornea mata hitamnya berubah merah. “Ah…” Nayya mengeluarkan desahan tertahan saat taring panjang Riftan menusuk kulitnya. Riftan menghisap darah Nayya, tubuhnya perlahan berubah menjadi hijau. Sayapnya mengepak dengan kencang menimbulkan putaran angina di sekitanya. Sayap itu terus mengepak membuat sebagian benda-benda di sekitarnya beterbangan berputar-putar hingga jatuh berhamburan ke lantai saat angin menghilang dan sayap di tubuh Riftan lenyap. Perlahan Riftan mengehentikan hisapannya dan menjauhkan kepalanya dari leher Nayya. Riftan menatap bekas gigitannya dan menjilat beberapa kali sampai tidak ada bekas sedikitpun yang terlihat. Nayya hampir terhuyung, kepalanya pusing, tubuhnya lemah. Riftan langsung menggendong tubuh Nayya dan meninggalkan tempat itu. Asoka dan Asyaq menghembuskan nafas lega, mereka saling pandang lalu menatap sekitarnya. Riftan membaringkan tubuh Nayya di ranjang dan menyelimutinya. Ia kemudian melangkah ingin meninggalkan Nayya tapi suara lemah Nayya mengentikan langkahnya. “Pak Dosen, tunggu sebentar…” cegahnya. Riftan membalikkan tubuh dan kembali menghampiri Nayya. Tangan Nayya berusaha menggapai tangan Riftan dan menggenggamnya dengan erat. “Pak Dosen akan meninggalkanku dengan keadaan seperti ini? bukankah ini adalah ulah Pak Dosen sediri, jadi harusnya Pak Dosen yang bertanggung jawab.” Ucap Nayya. “Apa maksudmu? Kau harus beristirahat dan makan semua makan bergizi ini. Aku pergi untuk memberimu waktu istirahat.” Jelas Riftan. “Tidak! Aku tidak butuh waktu untuk beristirahat, lagi pula aku lapar tapi tidak punya tenaga untuk mengangkat sendok. Apa Pak Dosen tega melihatku kesusahan memasukkan nasi ke dalam mulut?” “Baiklah, kalau begitu. Aku akan panggilkan pelayan untuk melayanimu di sini,” Riftan bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. “Tidak tunggu…!” “Apa lagi?” tanya Riftan bingung. “Aku tidak mau pelayan, aku mau yang menyuapiku adalah Pak Dosen..!” tuntut Nayya, ia bahkan sudah duduk dan bersandar di kepala ranjang. “Pak Dosen jangan seenaknya menyuruh pelayan, mereka sudah bekerja keras sampai saat ini, jadi sudah waktunya mereka beristirahat dan sekarang Pak Dosenlah yang harus merawatku sampai aku kembali bugar lagi,” ucap Nayya. Riftan menghembuskan nafas panjang. “Baiklah…” ucapnya lalu menghampiri meja dan mengambil makanan. Nayya menyembunyikan senyumnya, ia senang bisa menahan Riftan. Ia ingin Riftan berlama-lama di sisinya. Riftan menarik kursi ke sisi ranjang dan duduk dihadapan Nayya. “Sekarang buka mulutmu,” ucap Riftan sambil mendekatkan sendok ke mulut Nayya. Gadis itu tersenyum senang lalu membuka mulutnya. Melihat itu Riftan terhenyak beberapa saat lalu memasukkan sendok ke mulut Nayya. Nayya makan dengan lahap, ia tidak terlihat sangat menikmati makanannya. Suapan demi suapan ia terima dengan senang hati, dan Riftan juga terlihat tersenyum melihat Nayya yang makan dengan lahap. “Pak Dosen…”panggil Nayya setelah lama terdiam. “Iya..?” “Pak Dosen hari ini bersikap baik padaku. Apakah karena aku sudah memberikan darahku?” Tanyanya sambil mengunyah makanan dengan penuh semangat. “Apakah kau tidak suka kau bersikap ramah dan baik padamu?” Riftan tidak menjawab, ia malah bertanya balik. Ia memandangi mulut Nayya yang bergerak-gerak lucu. “Tidak, justru sebaliknya. Aku suka kalau Pak Dosen memperhatikanku seperti ini. aku senang kalau Pak Dosen sering mengunjungiku di kamar ini.” Nayya kembali mengungkapkan isi hatinya tanpa ragu. “Tidak baik seorang perempuan punya pemikiran seperti itu terhadap laki-laki,” ucap Riftan. “Kenapa tidak baik, aku kan hanya menyukai Pak Dosen saja. Aku tidak memiliki pemikiran seperti itu kepada semua laki-laki,” sanggah Nayya. “Tetap saja, kau harus berhati-hati dan mengontrol apa yang kau ucapkan, terutama di hadapanku,” “Kenapa Pak? apakah kau takut kau akan menyerangku dan menghabisi darahku hingga aku mati? Tapi aku yakin kau tidak akan melakukannya. Kau adalah pria terlembut yang pernah aku kenali. Aku hanya menyukaimu, oh iya dan juga Asyaq. Tapi aku sama sekali tidak menyukai pria berambut emas itu,” celoteh Nayya. “Kau tidak menyukai Asoka? Kenapa?” tanya Riftan bingung. “Dia kasar kepadaku, aku tidak suka,” jawab Nayya. “Kau memang harus berhati-hati dengannya, dia orangnya sensitif, dan pelu kau tahu, dia adalah vampire sepertiku. Semua yang ada di sini adaah makhluk penghisapan darah, termasuk para serigala.” Riftan menjelaskan. Nayya hanya terdiam, Riftan memandangnya lama. Kemudian ia beranjak dari tempatnya. “Kau sudah makan, sekarang beristirahatlah. Kau harus memulihkan tenagamu, mengerti?” ucap Riftan sambil membelai wajah Nayya dengan lembut. “Terima kasih telah mengembalikan kekuatanku seperti semula. Sampai jumpa bulan purnama berikutnya,” ucap Riftan. “Tidak jangan pergi dulu..” tahan Nayya sambil bangkit dari duduknya. “Ada apa lagi? Aku kan sudah aku suapi?” Nayya menghampiri Riftan. Wajahnya terangkat dan menatap Riftan lama. Keduanya saling pandang. Riftan tampak berusaha mengontrol dirinya. Rahangnya mengeras. “Aku juga angin mengucapkan terima kasih telah merawatku dengan baik, terima kasih, Pak Dosen..” ucap Nayya lalu dengan cepat mencium pipi Riftan dengan lembut. “Oke, sudah. Sekarang Pak Dosen boleh pergi,” ucap Nayya lalu merebahkan dan membungkus tubuh ya dengan selimut. Riftan terhenyak, ia menyentuh wajah bekas sentuhan bibir Nayya. Ia menatap gadis yang tidur memunggunginya. Riftan tersenyum lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Setelah Riftan benar-benar pergi, Nayya bangun dari rebahnya dengan wajah yang memerah. “Nayya.. kau nekat sekali mencium vampire itu? bagiamana kalau dia tidak suka dan kembali bersikap dingin padamu?” gumannya menyesali perbuatannya. Ia pun kembali menghempaskan tubuhnya ke kasur dan tertidur. Sementara itu, Riftan duduk di kursi perak miliknya. Ia terlihat memikirkan sesuatu. Ia terus membayangkan kecupan kecil yang di berikan Nayya untuknya. Ia suka Nayya melakukan itu dan ia mau lebih. Akan tetapi, ia tidak bisa melakukannya. Ia tidak boleh menyentuh gadis itu sedikitpun. Darahnya akan menjadi tidak berguna dan semua kekuatan yang ada di tubuhnya akan hilang. Ia sangat membutuhkan kekuatan itu sekarang, terlebih saat dirinya berencana memulai perang terbuka dengan Gonzales Vladimir. Musuh sekaligus saudaranya yang telah membunuh Adelia, kekasihnya. Ia akan menghabisinya hingga akhir. Tiba-tiba pintu diketuk sebelum Asoka masuk ke dalam ruangannya. “Ada hal penting yang harus kau tahu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD