Hujan

1990 Words
London, 06.00 a.m... Desta melangkahkan kaki santai masuk ke dalam sebuah rumah besar bergaya europan klasik. Menolehkan pandangan sesekali ke kanan dan kiri dalam ruang depan itu. Ruang yang terlihat luas dan berdampingan bersama sebuah ruang yang menampakkan beberapa pernik-pernik cantik yang bisa dibilang antik. "Kau mencariku Tuan muda Barack?" Sebuah suara menyambut dengan gaya yang sama, kedua tangan menyusup di kedua saku celana. Ya... Ronald Barack, Papa Desta merangkul tubuh kekar anaknya. Tak membantah ia merindukan putranya yang kini selalu sibuk dengan urusan pekerjaan dan perusahaannya. "Bagaimana kondisi Papa, semua baik-baik saja...?" tanya Desta hangat. "Tenang saja, sekalipun aku sudah tidak semuda usiamu, aku tetap akan menjaga kesehatanku... ya walaupun tanpa mama lagi disini..." ucap Ronald lalu berbalik dan menuju ruang makan. Desta mengerti bagaimana ayahnya itu begitu mencintai ibunya. Apa ia juga akan seperti itu pada Jani? Oh ya Jani, sedang apa dia sekarang, gumam Desta sambil melangkahkan kaki untuk segera membersihkan diri dan makan bersama Ronald. *** Jani baru saja selesai makan malam. Dilihatnya ke ruangan sekitar, sepi. Reni baru kembali esok hari. Dibersihkannya meja makan dan mencuci semua perlengkapan makan. Selesai dengan acara makannya, ia beranjak ke kamar dan mencoba menengok benda pipih yang sedari tadi tergeletak diatas nakas. Jani hanya mendengus lemah saat tak ada pemberitahuan apapun dari Desta. Direbahkannya badannya yang lelah. Hari ini ia masih berkutat dengan persiapan ujian mulai besok. Jadwal ujiannya selama lima hari ke depan bahkan terpampang jelas di sebuah white board di salah satu sisi dinding kamar itu. "Mungkin Desta akan mengabari kalau dia sudah selesai dengan pekerjaannya..." gumam Jani. Ia melangkahkan kaki menuju ke ruang tamu hendak mengunci pintu karena merasa tak perlu keluar rumah lagi. Namun sebelum ia memutar kunci, terdengar ketukan pintu diikuti gemuruh petir dan suara derasnya air yang jatuh menyentuh bumi. Jani masih ragu, untuk beberapa lama ia mematung. Mencoba meyakinkan siapa yang bertamu malam begini. Namun sekali lagi di dengarnya suara ketukan pintu dan memanghil namanya. Khawatir kalau mungkin seseorang uang mengenalnya Jani memutar gagang pintu itu. David? Jani masih diam ditempat. David datang dengan baju yang setengah kuyup di bagian datang. Gadis itu mempersilahkan pria di hadapannya masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Dengan baik Jani memberi sebuah handuk untuk mengeringkan rambut David yang lepek karena kehujanan serta teh hangat untuk menghangatkan badan. David tersenyum simpul dan menyesap teh pelan. Ia menangkupkan handuk ke pundaknya, dingin memang. "Kakak mau apa kesini? Dan darimana kakak tau sekarang aku tinggal disini?" tanya Jani masih dengan nada menyelidik. "Maaf Jani. Aku sudah sering mengikutimu yang sering pergi dan pulang dengan Gina. Aku mencari tau tempat tinggalmu dan tempatmu bekerja..." Jani diam. Tak menyangka kalau David memang seorang penguntit. "Untuk apa kakak malam-malam kesini?" pertanyaan Jani membuat David diam. Pria itu hanya menatap Jani lekat. Sebuah uluran tangan David hampir saja menyentuh pipi gadis cantik itu. Sekejap ditepis Jani dan David menunduk menyadarkan dirinya. "Jani, kau tau kan bagaimana perasaanku padamu. Saat aku tau kau dekat dengan Desta Barack, aku masih saja tak percaya. Namun melihatmu sekarang, bahkan kau disini, dirumah keluarga Desta Barack, aku paham pasti kau sudah dekat sekali dengannya" ucap David sedikit menahan serak di tenggorokannya. Ada rasa sesak yang mengganjal saat ia mengungkapkan kegundahan hati yang dipendam selama ini. "Aku tak peduli tentang itu kak, yang pasti kita hanya sebatas teman kan, itu juga karena beberapa kegiatan kampus saja. Dan soal perasaanmu menurutku ada orang yang lebih mengharapkan itu untuk kau berikan padanya..." jawab Jani tegas. "Pasti kau mengira itu Femy. Memang kami dekat, tapi itu karena Femy selalu mengejarku. Dan, perusahaan ayahnya punya hubungan baik dengan perusahaan ayahku. Jani, percayalah, bahkan aku tak pernah membalas perasaan Femy padaku..." David mencoba menegaskan hatinya lagi. Jani hanya tersenyum. Mau apapun dia rasa itu tak penting baginya. Ingin rasanya ia mengusir David saat itu juga. Tak lama sebuah dering memecah kebisuan yang sempat terjadi di tengah obrolan itu. Panggilan video dari Desta. Jani sempat ragu. Pasti Desta marah jika melihat ada David dirumah saat ini. Tapi hukankah bagus, jadi Jani ada alasan untuk menyuruh David pergi. Jani menggerahkan tombol hijau dan mulai menerima panggilan. "Hai sayang... kenapa lama sekali untuk mengangkat teleponku saja..." salam suara di seberang sana. Mendengar ungkapan sayang, David mengernyit dan hafal pasti itu dari Desta. Jani menoleh ke arah David sebentar dan kembali memandang layar ponselnya. "Maaf Desta, aku sedang ada tamu... bagaimana keadanmu disana? Oh ya, Om Ronald apa dia dalam keadaan baik?" jawab Jani sambil menyunggingkan senyum manis. "Papa sehat Jani, panggil saja Papa, toh dia juga akan jadi Papamu juga nanti..." Desta terkekeh. "Kalau kau masih menerima tamu lanjutkan saja, dan segera istirahat jangan malam-malam. Eh, bagaimana soal ujianmu, ada yang kau perlukan lagi?" "Tidak ada Des, semua sudah aku siapkan. Terima kasih kau sudah perhatian untuk masalah sekecil itu..." jawab Jani dengan gelaknya. "Jelas sayang... kalau begitu aku tutup panggilannya. Selamat malam untukmu, tunggu aku pulang..." salam Desta ditutup lambaian tangan dan senyum manis dari seberang sana. David yang memperhatikan percakapan itu merasa sesaknya makin mencekit leher. Pernapasannya benar-benar tak beraturan. Panas, entah itu darimana tapi terasa sangat tidak nyaman. "Apa aku tidak bisa lagi mendapatkan kesempatan Jani?" David masih mencoba meyakinkan dirinya atas apa yang dia lihat. Jani dengan santainya hanya mengulas senyum, dan meletakkan ponselnya begitu saja di meja ruang tamu. "Kak David, aku menganggapmu teman saja, sebentar lagi kakak lulus kan, fokus saja pada pendidikan dan kariermu. Kita cukup berteman ya..." Jani masih berusaha sabat dengan tingkah David yang selalu tak sadar diri itu. Entah keberanian dari mana David menghambur ke arah Jani, meremas kedua pergelangan tangan gadis itu. Menatap Jani begitu lekat, dan Jani bisa melihat ada kilat kemarahan disana. Apa pria ini orang yang posesif? Ataukah Pshycho? "Apa yang kau lakukan Kak! Menyingkirlah dari sini!" Jani mencoba melepaskan cengkeraman itu. Tapi gagal. David segera meraih bibir merah Jani dan melumatnya keras. Namun Jani tak kalah ganas, ia meronta dan mencoba mendorong tubuh David yang sudah membenamkan tubuhnya di sofa. Oh Jani hanya bisa terus berusaha lepas tanpa tau apa hasilnya nanti. *** Di belahan bumi lain, Desta masih berpikir keras. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam ke rumah Jani. Dan seingatnya, ia tak memberitahu siapapun kecuali Gina dan Fredy tentang cluster itu. Kekhawatiran muncul dan perasaannya mengatakan ada yang tidak baik. Dan Jani, mencoba menyembunyikannya agar ia tak banyak berpikir. Desta meraih ponselnya kembali dan menghubungi Fredy. Dia berharap Kakak beradik sahabatnya itu bisa mencari tau bagaimana keadaan Jani. *** "Tolong lepaskan aku David!" Jani tak lagi berbasa basi. "Kau Jani! Ya kau! Kenapa kau memberi Desta tempat di hatimu tapi tidak denganku! Aku yang lebih dulu mengenalmu!" ucap David bernada tinggi. "Aku tidak punya perasaan apapun padamu!" tukas Jani masih dalam usahanya melepaskan diri. David kembali menyambar bibir itu. Kini makin keras, sampai akhirnya Jani kehabisan nafas. Melihat lawannya yang lemah David seketika tersadar. Ia sandarkan tubuh Jani ke sofa. Dibaringkan tubuh itu dan merapikan rambut pirang gadis itu yang sudah berantakan karena ulahnya. Jani dengan sisa kesadarannya bisa melihat David dengan sisi lain yang tidak ia mengerti. Apa benar pria ini pshycho? Sekali lagi batinnya memprotes. "Jani, 'r you okay?" David bertindak khawatir. "Pergilah David, tolong pergilah" ucap Jani dengan suara lemahnya. Handuk yang bertabur, kemeja yang berantakan, rambut acak acakan. Kacau sekali kondisi David. Melihat Jani yang lemah mana mungkin ia bisa pergi. Diangkatnya tubuh Jani dan dilihatnya kamar tidur yang terbuka bersebelahan dengan ruang tengah. David membawa Jani ke kamarnya. Jani masih lemah merasakan David membawanya ke kamar. Ia makin takut dengan apa yang dilakukan pria itu. "Aku temani kau malam ini Jani, maaf aku melukaimu. Aku akan merawatmu..." David yang keras kepala masih saja mengharapkan belas kasihan gadis itu. Jani beranjak dan mencoba duduk. " Pergilah! Ini bukan rumahmu jadi jangan semaumu disini!" Jani menolaknya tegas. Tanpa mereka sadari ada dua orang yang dari tadi mengetuk pintu rumah, namun tak mendapat sambutan apapun disana. Hujan yang semakin deras seakan membisukan suara mereka untuk terdengar dari luar. "Apa Jani sudah tidur kak?" tanya Gina khawatir. "Tadi Desta bilang Jani menerima tamu, buktinya ada mobil di seberang jalan itu" keduanya menoleh pada sebuah mobil yang terparkir di seberang sisi rumah itu. "Mobil dari pemilik rumah lain mungkin kak..." tukas Gina kemudian. Mereka masih mencoba mengetuk pintu, tetap tak ada sahutan apapun. Di kamar, David kembali beraksi. Telinganya memerah saat Jani benar-benar menolaknya dengan tegas. Ia mendorong tubuh Jani, menindih gadis itu dibawahnya. "Kalau dengan ini aku bisa mendapatkanmu, kenapa tidak" David menampakkan kilatan senyum kemenangan. David melepas kemejanya, dan juga celana yang sedari tadi menahan sesuatu di dalamnya. Jani terkejut bukan main, pria yang menindihnya kini sangat nekat. Dalam hati, gadis itu terus saja merapalkan tentang Desta. Jani mencoba bangun, namun tak bisa. Tubuh David bukan tandingannya. Pria itu menyambar bibirnya lagi. Melumat kenikmatan yang dinantikannya malam itu. Otak, hati, bahkan tubuhnya sudah tak sinkron lagi. Mereka seakan berkendali masing-masing. Kini hanya emosi dan nafsu yang bersumber di tubuh David. Jani yang mengenakan piyama tidur dengan celana pendek dan kemeja lengan pendek, menampakkan setengah paha mulusnya. David bisa melihat, ada gundukan besar di d**a gadis itu yang semakin mengencangkan isi boxernya. Dengan beringas David merapatkan tubuh Jani sampai tak berkutik lagi. Ia mengecup, menyusuri leher gadis di pelukannya kini. Menikmati segala keindahan itu. d**a mereka yang bertumpu membuat Jani meremang. Takut dan sensasi aneh yang sangat ia tak ingin rasakan. Tangan David beralih ke paha mulus nan putih Jani. Lembut, ia susuri setiap inci bagiannya. Mengecup mesra disana yang makin membuat Jani menggeliat. "Nikmatilah sayang, kau akan mendapatkan seluruh hidupku nanti..." ucapan David bukanlah yang ingin Jani dengar sekarang. Tiba-tiba lengan Jani menyentuh vas bungan di nakas sebelah ranjang tempat tidurnya. David sempat kaget, namun tak dihiraukannya. "Siapa yang akan mendengarkan sebuah vas di tengah hujan deras seperti ini gadis manisku" kembali David menampakkan kegilaannya. "Jangaaann!!! Lepaskan aku tolong lepaskan!!" Jani berteriak saat David berhasil meremas dua bukit kembarnya sambil menempelkan kejantanannya pada 'milik' gadis itu. Jani bisa merasakan ada yang keras. Ia ingat saat bersama Desta, tapi Desta bukanlah pemaksa macam David. Diluar pintu Fredy dan Gina hampir saja beranjak. Tiba-tiba mereka mendengar suara vas pecah. Secepat kilat mereka mencoba masuk. Melihat ruang tamu yang tak berpenghuni, namun ada handuk dan gelas teh disana. "Kak, kenapa perasaanku tak enak sekali?!" ucap Gina dengan nada takut. Fredy beranjak ke ruang tengah lalu dapur. Gina mengikuti langkah kakaknya. "Lepaaass!!!" Jani berteriak keras saat David menggosok-gosokkan miliknya ke bagian intim gadis itu dengan keras. "Aaahhh... ini nikmat sekali sayang... aku ingin mendapatkanmu malam ini" David menikmati sentuhan yang ia dapat dengan mata penuh gairah membuat gelenyar aneh yang kembali tak diinginkan Jani. Jani menangis namun malah membuat David makin senang dan beringas melakukannya. Dua gundukan kenyal itu mengeras dalam remasannya. "Ohh tidak! Di kamar tidur Gin!" Fredy dengan instingnya langsung membuka pintu kamar tidur Jani. "Kau!!" penampakan yang membuat mata Fredy dan Gina membelalak hebat. David kaget dan Jani yang terus menangis. "Tolong aku kak...!" Jani memohon dengan isak kerasnya. BUG!!! BUG!!! BUG!!! Hujaman yang Fredy lontarkan pada David membuat pria itu tersungkur ke lantai. Gina segera meraih Jani dan menutupnya dengan selimut. "Kau! Pria apa yang meniduri seorang gadis seperti ini! Biadab!!!" BUG!! Kembali Fredy menhujamkan pukulannya. "Pergi kau!! Atau ingin kubuat kau cacat sekarang juga!" Fredy benar-benar di puncak amarahnya. Sementara Gina memeluk erat tubuh sahabatnya yang terus saja menangis. Gadis itu menangis hebat dalam keadaan yang kacau. "Tenanglah Jani, kami akan menjagamu..." ucap Gina menenangkan sahabatnya. David yang tersudut segera memunguti pakaiannya dan berlalu. Ia masih di puncak hasrat, tapi dengan pukulan yang dilayangkan Fredy membuat sedikit otaknya kembali berpikir, apa yang sudah dilakukannya pada Jani. Dia mulai tak waras. Pria pemaksa itu berlalu dari pintu utama. Gina dan Fredy akhirnya membawa gadis itu bersama mereka untuk dibawa tinggal ke rumah mereka. Fredy belum tau apa yang akan ia sampaikan pada Desta. Tapi tak mungkin jika ia akan mengatakannya sekarang karena Desta masih ada perjalanan bisnis di London.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD