Wanita berkerudung hitam tersenyum mengulurkan tangannya, "Cendana, saya istri mas Jati." ucapnya dengan tegas.
Cemara terkekeh, tawanya terdengar memaksa ia mengabaikan tangan wanita itu dan melihat suaminya meminta penjelasan "Mas?"
Jati yang menunduk, mulutnya terkunci rapat.
“Mas Jati?” Tanya Cemara kembali. Jati mengangkat kepalanya, melihat istrinya penuh penyesalan.
"Maafin mas, Ara." lirih Jati, melihat sekejap Cemara lalu memalingkan wajah.
Cemara menelan saliva, merasa sebilah pisau menghujam tepat di ulu hatinya, merobek hingga berdarah. “Ini bukan mimpi, kan? jika benar siapapun tolong bangunkan Cemara”. Membatin dan perlahan mengangkat tangan kecilnya lalu menampar wajahnya sendiri, memastikan kalau apa yang terjadi saat ini hanya sebuah mimpi buruk disiang bolong.
Sakit dan panas di kulit wajahnya, ia semakin menampar sembari menangis getir. Menyakiti dirinya, begitu tahu ini nyata.
“Ara, jangan sayang.” Jati mencoba menghentikan, tetapi Cemara segera mundur menjauh. Ia menatap suaminya penuh kebencian.
"Sejak kapan kau menghianatiku?" Suara Cemara bergetar. Jati terdiam, menunduk kehilangan keberanian menatap Cemara.
“Mas!” Hardiknya dengan suara lantang membentak pria yang tiba-tiba menjadi bisu. Jati mengangkat kepalanya, istrinya berteriak untuk pertama kalinya padanya. Ia tak pernah mendengar suara kasar itu sebelumnya, Cemara memiliki suara yang manja dan lembut dan Jati menyukainya.
"Sebelum kita menikah." gumam Jati, lagi-lagi Cemara menerima kejutan yang menyakitkan. Ia membelalak menatap Jati dan wanita di sampingnya.
"Sebelum? Artinya aku yang kedua?" Tanya Cemara memastikan dengan raut tak percaya.
“Ya, pernikahan kami sudah berjalan empat tahun.” Cendana membantu suaminya menjelaskan tanpa beban. Cemara tergelak, gelak tawa yang menyayat hati. Bahunya bergetar, tawa itu berubah jadi tangisan pilu. Ia menyadari kedua manusia sampah di hadapannya telah menipunya.
Flashback off
Mobil Cemara memasuki halaman rumah, ia keluar mobil lalu menekan langkah menuju rumah. Membanting pintu keras setelah masuk. Berlari menuju lantai atas, masuk kamar kemudian membuka lemari. Menarik semua pakaian Jati, melemparnya di lantai. Air matanya masih membanjiri pipi.
"Aku membencinya, aku membencinya, aku membencinya ….” Teriaknya berulang -ulang. Menangis, menendang pakaian yang berserakan di lantai. Menginjak seolah menganggap itu Jati.
Cemara melihat potret pernikahan mereka yang tampak bahagia menempel pada dinding. Pria itu tersenyum sangat manis begitupun dirinya. Mereka sangat serasi.
Cemara tergelak, gelak tawa menyedihkan memenuhi ruangan kamarnya. Semakin gila memikirkannya apa yang terjadi padanya.
Seorang istri
Seorang anak
Semua mengejutkannya, beruntung Cemara tidak memiliki riwayat sakit jantung jika iya, dia sudah menyatu dengan tanah dalam sekejap. Suaminya menipunya dengan sempurna tanpa cela.
Cemara menghitung jari, pernikahannya sudah berjalan tiga tahun dan selama itu juga ia hidup dalam pelukan suaminya yang penuh dusta. Cemara mengambil botol parfum dari meja rias lalu melempar bingkai potret hingga pecah.
"Kenapa, Mas? Apa salah Ara sampai kau tega berbohong. Kau mau apa dariku? Kau sudah menikah dan punya anak? Kalian menipuku.” Ia terisak memeluk diri sendiri duduk di lantai kamarnya.
Dua hari berlalu, Cemara hanya mengurung diri di kamar. Ia menutup pintu rumahnya rapat-rapat dan menulikan telinga pada panggilan telepon Jati.
Jati berdiri di depan pintu rumahnya, penampilannya berantakan. Tampak frustasi dan masih mengenakan kemeja yang sama dari dua hari yang lalu.
"Ara angkat telponnya, sayang." Jati mendesah, menatap layar ponselnya, sudah tak terhitung ia menelpon Cemara, tetapi hasilnya tetap diabaikan.
Ia menyugar rambutnya kasar ke belakang. Cemara mengalihkan tatapannya pada ponsel yang ada di ranjang. Benda itu berhenti berdering dan semua dari Jati.
Berdiam diri bukan jalan keluarnya, maka ia memutuskan menemui Jati. Jati merasa lega begitu mendengar suara kunci memutar di pintu. Menunggu sampai pintu itu terbuka ternyata tidak, Cemara tidak akan sudi membuka pintu untuknya seperti sebelum-sebelumnya.
Jati menelan ludah yang terasa empedu, membuka pintu sendiri dan perlahan membawa langkahnya masuk ke dalam rumah. Disana, di ruang tamu istrinya bermata indah duduk bagaikan seorang ratu. Bersandar pada sandaran sofa tunggal miliknya sementara kakinya menyilang. Kedua tangan diletakkan di sisi sofa. Sangat anggun tetapi tampak pongah.
“Ara sayang ….” sapanya dengan suara berat, Cemara berdecih menatap pria tidak tahu malu di hadapannya.
“Ceritakan dari awal bagaimana caramu menipuku.” Katanya dengan dagu terangkat menatap Jati yang berdiri tak jauh dari hadapannya.
“Aku tidak menipumu, Ara.”
Cemara tergelak hingga bahunya bergetar tetapi, kedua netranya menipu. Mata sialan itu menitikkan air mata kesedihan. Cemara menyeka dengan jari telunjuknya. Ia menggeleng tak percaya dan bertanya, “Kau masih berbohong setelah apa yang terjadi?”
“Aku memang berbohong atas pernikahanku dengan Cendana tetapi, cintaku padamu Ara tidak menipu.”Jati mencoba menjelaskan.
“Tidak menipu?” Cemara kembali tertawa, tawa kecewa.
Bagaimana bisa pria ini mengatakannya dengan lugas. Kalau cintanya tidak menipu. Mungkin Jati menganggap Cemara perempuan bodoh yang muda ditipu? Ya tentu saja, dalam tiga tahun pernikahan mereka Jati begitu mulus mempermainkannya.
“Ckckck,” Cemara bangun dari sofa, melangkah menghampiri Jati. Ia menatap pria itu secara intens, meletakkan tangan tepat di debaran jantung suaminya.
Jantung itu berdebar hebat, tak beraturan seolah berkejaran di dalam sana. Lalu ia tersenyum sinis, tangannya beralih pada kerah kemeja Jati. Menarik paksa supaya pria itu menunduk.
“Aku membencimu, Jati Grandis. Bukan hanya kau yang menipuku, tetapi jalang yang mengaku istrimu juga ikutan. Apa yang terjadi dengan putramu? Mungkinkah dia meninggal karena kau membesarkannya dari hasil menipu, uang haram.” Tukasnya bernada kejam.
“Ara!” Gertak Jati, Ia menghempaskan tangan Cemara dari leher kemejanya. Menegakkan tubuhnya dan rahangnya megetat sempurna. Biarlah Cemara menghinanya, tetapi jangan menyinggung putranya yang baru saja meninggal.
Cemara bergeming, ia tak sedikit pun takut dengan tatapan tajam pria yang ia angkat derajatnya menjadi pria terhormat.
“Jangan membawa putraku dalam masalah kita, dia tidak tahu apapun.” Kata Jati, tatapannya kembali hangat.
Cemara mendengus, melangkah kembali ke sofa. Ia tersenyum miring lalu berujar.
“Baiklah Jati, semua sudah jelas. Pernikahan kita di bangun dari sebuah kebohongan.” Cemara mendesah panjang, seraya memainkan kuku panjangnya. Lalu menatap Jati lama dari tempat berdiamnya ia kemudian mengutarakan isi pikirannya. “Aku ingin kita bercerai.” Katanya kemudian.
Jati menbelalak, ia menghampiri Cemara yang duduk di sofa. Berlutut di kaki istrinya dan memohon.
“Tidak, Ara. Tidak sayang.” Ia menggeleng- geleng dengan wajah melasnya. “ Kau sudah berjanji, apapun yang terjadi akan selalu ada di sampingku.” Katanya menggenggam tangan Cemara.
Cemara menghempaskan tangan suaminya. Pria itu menagih janji setelah ia terdesak. Jadi Inikah gunanya janji yang mereka buat? Dan pria ini sengaja mengikatnya dengan janji itu. Cemara tersenyum kecut.
Hatinya sudah luka, seolah dirobek paksa di dalam sana, lalu untuk apa bertahan karena janji.
“Pergi! Aku akan menggugat cerai kamu. Dan mari kita bertemu di pengadilan, Jati.” Katanya. Ia memalingkan wajahnya menjauhi tatapan mengiba suaminya.
“Aku mohon sayang, coba kamu ingat selama pernikahan kita apa aku pernah menyakitimu? Aku sudah bilang hatiku hanya milikmu seorang.” Suaranya memelas, memeluk kaki istrinya dan meletakkan kepala di pangkuan Cemara.
“Itu bagian skenario yang kau mainkan sebagai penipu. Aku adalah tambang emasmu, tentu saja kau akan menjagaku baik-baik.” Cemara, menyingkirkan kepala suaminya dari atas kedua pahanya.
“Keluar dari rumahku dan jangan lupa tinggalkan semua fasilitas yang kau gunakan. Kau tidak pantas menikmati semua itu.” ujarnya lagi, ia menyilangkan kaki serta memalingkan wajahnya.
“Aku mohon jangan begini Ara, aku sangat mencintaimu.”
“Kau hanya mencintai uangku, Jati.”
“Tidak, Ara. Sama sekali tidak. Cintaku benar-benar tulus untukmu.”
“Benarkah? Kalau begitu buktikan!”
“Apa yang harus aku lakukan? Supaya kau percaya.”
“Mati, aku ingin kau mati. Seperti janjimu kalau cintamu hanya untukku sampai akhir hidupmu.”ucapnya dengan kejam.
Jati menarik napas panjang, mengusap hidungnya yang terasa mampet. Ia tidak menyangka istrinya meminta nyawanya demi membuktikan cintanya. Lantas Jati mengangguk dan berdiri.
“Kalau itu yang kau mau, aku akan melakukannya.” ujarnya, Ia mencintai Cemara tulus dari hatinya dan itu sangat. Tidak masalah jika Cemara meminta hidupnya. Ia akan memberikannya, untuk istrinya ini.