Tidak sedikitpun terlintas di pikiran Cemara, bahwa dirinya adalah istri kedua dari seorang Jati Grandis.
Suami yang sangat ia cintai selama ini ternyata memiliki seorang istri bernama Cendana. Kekecewaan itu tidak berakhir pada masalah itu, Jati ternyata memiliki seorang putra dari istri pertamanya.
Bagai petir menyambar jantungnya, menghanguskan tubuh, menghancurkan hati melihat pasangan yang berdiri di hadapannya. Suaminya digandeng mesra oleh Cendana, istri pertamanya.
"Kau tega mas menyakitiku." lirih Cemara, hatinya terasa di remas di tempatnya.
"Maafkan aku, Ara." Jati tak sanggup melihat netra istrinya maka ia menunduk.
Berbeda dengan Cendana, wanita yang menggandeng lengan Jati tampak menyeringai. Cendana, baru saja memperkenalkan dirinya sebagai istri sah dari Jati Grandis.
"Pernikahan kami kurang lebih empat tahun, dan kami dikarunia satu putra, sayangnya kami harus kehilangan putra kami, karena sakit jantung bawaan." Cendana kembali memperjelas hubungan mereka.
Cemara dengan kejam menekan gigi di bibir bawahnya. Lidahnya terasa kelu, tak dapat mengeluarkan sepatah kata selain butiran air mata sebagai tanda hancurnya hatinya.
Cemara melihat apa yang terjadi di tempat itu, suaminya yang mengaku mengurus pekerjaan di luar kota ternyata sedang berkabung. Ia kehilangan putranya.
Cemara mendongak, memecah air matanya disana. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di depan pasangan itu. Cemara menarik nafas panjang guna melegakan sesak di dαda.
"Ara, tolong pulang sayang. Nanti, mas akan jelaskan di rumah" Ucap Jati, ia melepas tangan Cendana di lengannya lalu mencoba mengambil tangan Cemara.
Wanita yang lagi rapuh menepis kasar, ia terkekeh sumbang mendengar kata sayang yang diucapkan Jati.
"Jati Grandis." Cemara menyebut nama suaminya dengan lengkap. Artinya ia sangat marah. Wanita ini menajamkan tatapannya pada pria itu.
"Pria tidak tau diri! Mulai saat ini kau tidak punya ruang di rumahku. Aku membencimu. Jangan kembali!" Tambahnya penuh penekanan. Ia kemudian berlalu dari tempat itu.
"Ara." Jati hendak mengejar, tetapi Cendana menahannya.
"Mas, ini bukan waktu yang tepat merayunya. Tamu masih banyak mendoakan putra kita. Ayo kita masuk." Cendana, mengulas senyum culas melihat punggung Cemara menjauh dari halaman rumah mereka.
Cemara berbalik, ia masih berharap suaminya menghentikan langkahnya, tetapi itu tidak terjadi. Jati, telah melangkah masuk ke dalam rumahnya, bersama istri pertamanya.
Cemara membuka pintu mobilnya, masuk dan mengeratkan genggamannya pada stir mobil. Ia mengemudikan mobilnya dengan cepat, menuju tempat sepi. Menghidupkan radio dengan volume tinggi lalu menangis kencang melepas semua sesak dalam hati.
"Kenapa Mas, mengapa kau menipuku?" Menangis getir, seraya memeluk kemudi.
Cemara masih ingat jelas enam jam yang lalu lebih tepatnya pagi hari tadi, hubungan mereka baik-baik saja. Harmonis.
"Mas, sudah mandi? Aku sudah buatkan sarapan." Cemara menghampiri suaminya yang tengah menerima telepon. Pria itu tampak sedih.
Jati meletakkan jari telunjuk di bibir memberi kode supaya istrinya mengecilkan suaranya.
"Maaf," ujar Cemara tanpa suara lalu melingkarkan tangan pada pinggang Jati yang hanya dililit handuk. Tubuh itu masih lembab dan aromanya sangat enak. Jati baru saja selesai mandi, bahkan air masih menetes dari rambut turun membelai jenjang leher pria berkulit hitam manis.
"Baiklah, saya akan segera ke sana." Jawab Jati pada lawan bicaranya di ponsel kemudian mengakhiri panggilan itu. Ia merengkuh kepala istrinya lalu didekapnya.
"Dari siapa, Mas?" Cemara mendongak, menatap suaminya yang berkulit hitam manis.
"Sayang, atasan aku mengutus aku ke luar kota. Mengurus pekerjaan yang agak rumit."
"Hari ini?"
"Mmm, bagaimana?" Jati merapikan Helai rambut Cemara dengan lembut.
"Tidak masalah, hanya saja itu terlalu mendadak. Aku siapkan pakaianmu." Kata wanita itu riang, dan mengecupi dαda telanjang suaminya.
Jati mengecup ringan bibir Cemara. Wanita itu tersenyum manis, menunjukkan gigi kelincinya.
"Kau sangat mirip seseorang," goda Cemara pada suaminya.
"Aku tahu, Taecyeon, kan?" Tebak Jati. Cemara segera memukul dαda suaminya. Tebakannya benar.
"Kau sering mengatakan itu,manis ku." kecupan kedua mendarat di bibir ranum istrinya.
Pria itu mirip dengan aktor korea yang memiliki kulit hitam manis dan lesung pipi, bernama Taecyeon
"Baiklah, aku siapkan pakaianmu." Cemara melepas pelukannya. Ia menuju lemari dan mengeluarkan koper kecil berikut pakaian Jati.
"Sayang, aku ingin mengenakan kemeja berwarna hitam. Tolong siapkan," Jati, merapikan rambutnya di depan cermin.
"Oke." Cemara menyiapkan sesuai keinginan Jati. Ia meletakkan kemeja di atas ranjang lalu menutup koper.
"Kalau takut sendirian di rumah, kau bisa ke rumah utama." Ucap Jati seraya mengenakan kemeja.
"Aku nggak takut, Mas." Cemara membantu memasang kancing kemeja suaminya.
"Terimakasih, sayang." Ucap Jati begitu semua kancing terpasang. Cemara terlihat sedih, ia memeluk suaminya dan mendongak melihat netra Jati yang hitam pekat.
“Ara, ada apa?”
"Mas, maafin Ara." ucapnya lirih. Jati membelai mesra pipi istrinya, ia tahu apa maksud maaf dari Cemara.
“Sudah datang bulan?” Tanya Jati. Cemara mengangguk dengan raut sedih.
Jati tersenyum dibuatnya, "tidak apa-apa, itu artinya kita harus bekerja lebih keras lagi." Ucap Jati menyemangati Istrinya. Cemara tersenyum, mengeratkan pelukannya di tubuh Jati.
"Ara mencintai, Mas." ucap Cemara manja.
"Jati juga sangat mencintai, Ara." Membalas memeluk.
"Mas, jangan nakal di sana."
"Dasar kau ini." Jati menjawil ujung hidung Cemara pelan lalu mengambil tangan Cemara dan meletakkan di dαda tempat hati kecilnya berdetak.
"Di sini, hanya kau seorang. Detak jantung ini hanya menyebut namamu. Jadi, tidak ada ruang untuk wanita manapun. Percaya sama aku, Ara. Hati dan pikiranku hanya untukmu. Aku akan mencintaimu sampai akhir hidupku." katanya bersungguh-sungguh.
"Itu sangat manis," tanpa sadar bening dari netra Cemara terjatuh, ia tersenyum haru.
"Aku mencintaimu, kau sudah menjadi laki-laki yang aku impikan." Tambahnya. Berjinjit untuk mendapatkan bibir suaminya. Jati membalasnya dengan lembut, mengencangkan pelukannya di pinggang istrinya. Lama bibir mereka bercinta lalu Jati menyudahinya.
"Ara, istriku. Bisakah aku minta satu hal darimu?
"Mintalah, selama aku bisa. Aku akan berikan apapun itu."
"Apapun yang terjadi tetaplah bersamaku, berada di sampingku. Aku mohon." Ucap Jati, tatapannya kini sudah merabun karena air mata.
"Mas. Ara janji akan tetap mendampingimu, jangan takutkan Ara. Justru Ara takut mas Jati yang bakalan ninggalin Ara karena belum bisa membahagiakan, Mas ." ujar Cemara seraya memainkan kancing kemeja Jati.
“Aku janji nggak akan melakukan itu, sayang. Ingat, hatiku hanya milikmu seorang jangan ragukan itu.” Katanya berjanji, begitu manis seperti madu tidak disangka semua itu hanya kepalsuan, madu yang diberikan Jati padanya ternyata beracun.
Cemara sesenggukan di dalam mobilnya. Pria yang memperlakukannya sangat lembut, mengucapkan kata cinta setiap hari ternyata tak lebih dari seorang penipu.
Cemara menyapu air mata di pipi, ia kemudian mengemudikan mobilnya pulang ke rumah.
Flashback
Setelah Jati meninggalkan Cemara dengan alasan keluar kota. Tiga jam kemudian sebuah pesan masuk dalam ponselnya.
Cemara membaca pesan tanpa nama.
[Hi Ara, apa kabar?] Ia mengernyit.
"Tumben." Gumamnya, itu Lira teman lamanya saat di bangku SMA.
[Hi juga, kabar baik. Bagaimana denganmu?] Send, seraya menunggu balasan masuk. Cemara membantu karyawannya menyortir bunga-bunga yang yang akan dikemas menjadi buket bunga.
Ponselnya kembali berbunyi pendek.
[Kabar baik, kebetulan aku melihat suamimu. Tapi, aku tidak melihat hadirmu disini.] Cemara menaikkan kedua alis membacanya lalu ia mengetik balasannya.
[Dimana? Posisi suamiku lagi dalam perjalanan ke luar kota, Bandung.]
Cemara mengirimnya, seraya menunggu balasan dari Lira. Cemara mengirim pesan pada suaminya.
[Mas, sudah di mana? Jangan lupa makan siang.] Menyisipkan kiss emoji, lalu mengirimnya. Masuk, centang dua.
Pesan Lira masuk, Cemara langsung membukanya.
[Sorry, aku kirim picture nya. Kau masih bersama suamimu ini, kan atau sudah bubar?]
Kedua netra Cemara membola, saat melihat gambar yang dikirim Lira. Itu suaminya dengan kemeja hitam yang ia kenakan pagi hari.
Tapi, ini dimana? Bertanya dalam hati, ia segera menjauh dari dua karyawannya. Menghubungi Lira.
"Halo, " sapa Cemara begitu tersambung. Cemara menangkap banyak suara di ponselnya. Suara tahlil, lalu suara itu semakin menghilang mungkin Lira menjauh dari keramaian itu.
"Hei, ap —,"
"Lira, posisi kamu dimana?" Tanya Cemara memotong ucapan Lira.
"Aku di kebon jeruk, Jakarta barat." Balas Lira dari tempatnya.
“Jakarta barat? Kebon Jeruk? Bukannya mas Jati ke Bandung?” Membatin
"Sorry, tapi itu acara apa ya?" tanya Cemara, ia semakin bingung.
"Keponakan pacarku meninggal, jadi aku datang melayat. Aku sempat kaget saat melihat suamimu tapi, kau tidak ada disini. By the way, kau masih sama suamimu, kan?"
"Tentu saja, kami hidup bahagia."
"Itu artinya kau dimadu?"
"Apa?" Bingung.
"Sorry, Ara. Orang tua anak yang meninggal ini adalah suamimu."
"K-kau yakin?" Gugup.
"Jati Grandis, itu nama lengkap suamimu, kan?"
"Lira, tolong kirim alamat tempat itu."
"Tapi, Ara—,"
"Please, aku harus pastikan kalau pria itu suamiku." Desak Cemara.
"Oke … tapi,"
"Aku janji, tidak akan melibatkanmu." Sahut Cemara.
Pembicaraan mereka berakhir, Cemara mengambil kunci mobilnya dan keluar dari toko bunga nya menuju mobilnya diparkir.
Dalam mobil seraya menunggu pesan masuk, Cemara menghidupkan mesin mobilnya. Pikirannya tidak tenang, kembali melihat gambar yang dikirim Lira.
"Mas, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau berada disana." Bergumam dengan kerutan tebal di dahi.
Pesan Lira masuk, sebuah perumahan bernama Paviliun premier di kota barat. Cemara segera mengemudikan mobilnya menuju tempat itu. Jakarta selatan akan memakan waktu dua jam lebih menuju barat, itupun jika tidak macet.
….
Dalam perjalanan ia memikirkan isi pesan Lira.
Orang tua anak itu adalah suamimu? Cemara mengingatnya.
"Bukan, mungkin hanya mirip tapi kenapa nama itu juga sama. Ada apa ini, mas?" Berbicara sendiri. Ia berhenti saat di depan gerbang perumahan itu, membuka jendela mobil. Security tempat itu menyapa.
"Selamat siang, bisa di tunjukkan ktp nya?"
"Aku tamu pak Jati Grandis." Ucap Cemara, sengaja menyebut nama suaminya lengkap tanpa memberikan ktp nya.
"Oh yang lagi berduka ya? Kalau begitu silahkan masuk." Security kembali ke pos, menekan tombol agar palang itu memberinya jalan masuk.
Cemara semakin yakin, pria itu suaminya. Ia menatap lesu ke depan, kedua netranya kini merabun dipenuhi air mata.
Cemara keluar dari mobil begitu menemukan nomor rumah yang dikirim Lira padanya. Ia melihat bendera kuning di sebuah rumah, berikut dengan tenda terpasang di depan rumah. Beberapa mobil terparkir di sekitar rumah itu. Cemara membawa langkah pada tujuan inti.
Suara ayat-ayat suci berkumandang, ia semakin menekan langkah masuk ke tengah ruang.
Cemara melihat Jati Grandis ada di antara para lelaki di ruangan itu. Mengenakan kopiah hitam juga kemeja yang ia siapkan pagi hari.
Cemara berdiri di antara ibu-ibu menatap terus Jati yang tampak serius mengumandangkan ayat-ayat suci, hingga seorang pria di samping Jati menyadari tatapan Cemara, lantas pria itu menyentuh lengan Jati.
"Kau mengenalnya?" Bisik pria itu bertanya seraya mengarahkan tatapannya pada Cemara. Jati mengikuti tatapan itu dan melihat kehadiran Cemara disana.
Tatapan mereka bertemu, air mata Cemara untuk kesekian kalinya, tumpah.
"Ara …." Gumam Jati, bangun dari duduknya saat melihat Cemara keluar dari tempat itu.
Jati meninggalkan ruangan, mencari Cemara di luar. Seorang wanita berkerudung hitam menyadari dan melihat situasi itu, maka ia mengikuti dari belakang.
"Ara." Jati menghentikan langkah Cemara, tepat di halaman rumah.
Cemara mendesah, berbalik melihat suaminya, "apa ini, Mas?" Tanya wanita berusia dua puluh tahun itu.
"Dari mana kau tahu aku disini, Ara?"
"Itu tidak penting, Mas. Katakan apa yang terjadi."
"Sayang," panggil seorang wanita menghampiri mereka. Wanita itu melihat Cemara dari ujung kaki hingga kepala seperti menilai kemudian menggandeng lengan Jati.
Cemara melihat kedua orang itu bergantian, ikatan tangan di lengan Jati memperjelas bahwa mereka adalah pasangan.
"Siapa kamu?" Tanya Cemara, menatap tajam wanita itu.
SELAMAT DATANG DI CERITA TERBARU RE SIREGAR. GENRE DRAMA KELUARGA. MOHON DUKUNGANNYA DENGAN CARA TAP LOVE YA. TERIMA KASIH