***
Cemara berhenti mengayunkan kakinya saat melihat Monica berduaan dengan Rumi. Sesuatu tak kasat mata mencubit hatinya. Ia meniup napas pelan melewati pasangan itu. Mencoba mengabaikan.
"Ara." Panggil Monica menghentikan langkah Cemara.
Rumi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sebenarnya hatinya masih besar untuk Cemara. Tapi, wanita ini sangat mahal. Satu tahun pacaran hanya manis berpegangan tangan membuatnya bosan.
Cemara berbalik lalu tersenyum menunjukkan dua gigi kelinci yang manis. Seolah hatinya baik-baik saja.
"Apa?"
Monica menggandeng lengan Rumi, merapat padanya. Berharap Cemara terbakar cemburu. Tapi, sayangnya ekspresi Cemara tidak sedikitpun menunjukkan itu . Keacuhan Cemara melukai harga diri Rumi.
"Birthday party. Kau pasti ingat ulang tahun Rumi, kan? Malam minggu di kafe Mypadz cafe. Rumi mengundang kamu. Iya kan, sayang?"
"Aku berharap kau datang, Ara." Rumi menimpali ucapan Monica.
"Ya tentu Rumi. Aku pasti hadir disana." Cemara menyunggingkan senyum manis, lalu berbalik meninggalkan pasangan itu.
"Jangan lupa bawa pasanganmu, Ara. Aku tidak ingin kau kesepian disana." Seru Monica sengaja.
Cemara mengepal tangan erat. Membawa langkahnya menuju parkiran sekolah, dimana Jati sudah menunggu.
Cemara mendengus lantaran Jati diam di dalam mobil. Cemara mengetuk jendela mobil kesal. Jati segera menurunkan jendela mobil dan tatapan mereka bersiborok.
"Supir sialan! Buka pintunya!" Geram Cemara.
Jati menelan ludah melihat tatapan tajam Cemara. Serba salah. Jati takut keluar menunjukkan penampilan kucelnya. Walaupun Jati sudah mandi dan berganti pakaian tetap saja penampilannya buruk.
Celana bahan berwarna ungu dipadukan dengan kemeja kebesaran dan bermotif bunga-bunga. Benar-benar kampungan. Jati tidak ingin mempermalukan Nona nya tapi, ia justru kena marah.
Jati segera keluar dan membuka pintu mobil untuk Cemara. Gadis angkuh itu melempas tas sekolahnya begitu saja kemudian naik kedalam mobil. Jati memungut dan membawanya ke bangku kemudi depan.
Jati meniup napas pelan melegakan hatinya. Kalau saja gajinya tidak menggiurkan. Sudah pasti Jati meninggalkan gadis yang tengah duduk, memainkan ponsel dengan raut wajah kesal. Sejak bertemu wajah itu selalu suram dan menakutkan. Jati bingung dibuatnya.
"Langsung pulang ata—"
"Kokas."
"Apa itu, Nona?" tanya Jati dengan sopan. Cemara menghela nafas pelan. Berdecak melihat Jati lewat kaca spion saat tatapan mereka bersiborok.
"Mall Kasablanka." ujarnya lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
Jati mencari tempat itu di Google Maps lewat ponselnya lalu mempelajari sebentar. Jati kemudian mengemudi mengikuti peta. Cuaca ibukota cukup terik di siang hari terutama minggu-minggu ini. Cukup membakar, maklum memasuki musim kemarau.
Jati menginjak rem pelan begitu tiba di pintu masuk Mall.
"Nona mau di temenin atau—"
"Tunggu di parkiran aja." Sahut Cemara ketus.
"Tapi, bagaiman—." suara ponsel Cemara menginterupsi Jati.
Cemara berdecak melihat ponselnya berdering. Ia mengembuskan napas kasar. Lamtoro menelpon.
"Cepat jalan ke parkiran." Perintah Cemara. Jati segera mengemudikan mobil menuju ke parkiran.
"Papa," sapa Cemara begitu menekan tanda jawab di layar ponselnya.
"Dimana?"
"Mall Kasablanka."
"Berikan ponselnya pada Jati."
"Ayolah, Papa. Aku bukan anak kecil—"
"Cepat, Ara."
Cemara mendengus melihat Jati lewat kaca spion. Pria disana fokus menyetir menuju parkiran.
"Bicara sama Papa." ujarnya dengan wajah jutek. Mencondongkan tubuhnya ke depan. Menyerahkan ponsel pada Jati.
Jati mengambilnya dan mengapit ponsel di antara bahu dan telinga.
"Halo, Tuan,"
"Tolong awasi, Ara. Dia nggak biasa pergi sendirian."
"Baik, tuan." Jati menoleh ke belakang untuk mengembalikan ponsel Cemara begitu Lamtoro memutus sambungan teleponnya.
"Dua meter di belakangku. Mengerti?"
"Baik Nona."
Jati memarkirkan mobilnya lalu dengan langkah tergesa membuka pintu untuk Cemara.
Jati mengikuti langkah gadis berseragam sekolah itu dari belakang berjarak dua meter menuju lift. Begitu lift terbuka Cemara masuk duluan dan di susul Jati. Menekan angka tujuannya.
Hening ….
Mereka seolah orang asing. Jati di sudut kiri sementara Cemara berada di sudut kanan dan sibuk dengan urusan masing-masing.
Pintu lift terbuka, Cemara segera melangkah ke luar lift. Membawa langkah menyusuri jalan panjang menuju toko buku.
Cemara berjalan seraya mencari teman kencan lewat media sosial untuk dipamerkan di ulang tahun Rumi.
DAR!!
Suara balon meledak milik anak kecil mengejutkan Cemara. Anak kecil itu menangis membuat Jati iba. Jati membungkuk menyamakan tubuh dengan anak berusia kurang lebih empat tahun.
"Hei jangan menangis. Tidak apa-apa. Jangan takut. " ujar Jati memeluk anak kecil yang entah dimana Ibunya berada.
"Balonnya meledak, paman." ucapnya mengadu seraya menangis.
"Nggak Papa anak manis." Jati tersenyum sembari mencubit pipi anak kecil itu.
Cemara tidak sengaja melihat senyum Jati. Manis dengan dua lesung pipi yang tidak terlalu dalam.
"Kau sendirian?"
"Mama lagi cari buku." anak kecil menunjuk ke arah toko buku.
"Ayo ... " Ajak Cemara dari tempatnya berdiri.
"B-baik, Nona."
"Natan." Seorang wanita menghampiri. Terkejut saat putranya bersama orang asing. Wanita seksi dengan celana hotpants mendorong Jati dan menarik putranya menjauh dari Jati.
"Jangan dekat-dekat putraku." ucapnya, menatap Jati dengan tatapan mencela.
Jati menelan saliva. Berusaha bangun berusaha sabar.
Cemara memperhatikan dari jarak dua meter. Melihat Jati tidak membela diri, ia kesal. Lalu menghampiri wanita yang masih menatap rendah Jati.
"Yak Nyonya." ujar Cemara berkacak pinggang menarik perhatian wanita itu.
Wanita itu mengernyit melihat Cemara lalu menunjuk dirinya sendiri.
"Kau bicara padaku?"
"Coba kau lihat siapa yang ada di bola mata ini?" Tanya Cemara dengan tatapan nyalang.
"Astaga. Anak remaja sekarang tidak punya sopan santun."
"Bagaimana denganmu? Punya sopan? Minta maaf padanya." Cemara menunjuk Jati lewat dagunya.
"Nona aku ti—"
Cemara segera menghentikan Jati lewat tatapan tajamnya.
"Kenapa aku harus minta maaf?" Ketus.
"Tatapanmu merendahkannya. Dan kau juga mendorongnya."
"Dia menyentuh putraku dengan tangan kotornya."
Cemara berdecih. Emosinya naik dan tanpa pikir panjang ia meludahi wajah wanita itu. " Kau juga menjijikkan, sialan." ucapnya penuh penekanan.
Tangan wanita itu terangkat tinggi hendak menampar Cemara tapi, Jati segera menghalangi hingga tangan wanita itu mendarat mulus di wajah Jati.
"Jaga tangan Anda Nyonya. Dia Nona saya." ucap Jati menahan panas di kulit wajahnya.
Wanita itu kesal melihat Cemara dan menarik tangan putranya meninggalkan tempat itu.
"Dasar bodoh. Hanya aku yang bisa membentakmu. Lain kali bela dirimu, bodoh. Menjengkelkan." Cemara menggeramkan ucapannya lalu melangkah cepat meninggalkan Jati.
Jati membisu mengikuti langkah dari belakang dan terus menjaga jarak seperti perintah Cemara.
Cemara menemukan apa yang ia butuhkan, buku simulasi ujian akhir sekolah lalu dengan cepat menuju kasir dan membayarnya dengan kartu debit.
Cemara melihat Jati dari atas hingga bawah. Penampilan pria ini sangat menyakiti mata. Kemeja yang ia kenakan bermotif bunga-bunga dipadu dengan celana bahan ungu kebesaran.
"Dia sangat aneh." Cemara menggeleng kecil meninggalkan kasir. Jati segera mengambil paper bag dari meja kasir dan menyusul Cemara.
"Kamu di depan." Cemara berhenti melangkah dan mengizinkan Jati berjalan di depannya.
"Bunga di kemeja mu sangat ramai. Kuning-kuning bermekaran." Cemara mengejek Jati dari belakang seraya terkekeh.
Jati mengayunkan langkah, menenteng paper bag di tangan. Ia menjatuhkan tatapannya melihat penampilannya.
"Celana warna ungu. Oh ya ampun. Kau kenal penyanyi Rhoma Irama? Celana itu tenar di masa mudanya. Celana Cut Bray. " Cemara terbahak pura-pura melihat layar ponselnya.
Beberapa pengunjung Mall yang melihat penampilan Jati pun menertawakan pria itu. Jati semakin mengecil.
"Kau seperti pesulap yang sering bilang. Tolong di bantu ya, bin sala bin jadi apa? prok, prok." Cemara menahan tawa. Ia benar-benar merundung Jati dari belakang.
Jati menelan salivanya kuat-kuat seraya terus mengayunkan langkah kakinya. Wajahnya semakin pias.
"Sepatumu kecil, pasti jari-jarimu ketekuk di dalam. Kasihan bener sih kamu."
Cemara benar. Sepatu yang Jati kenakan bukan miliknya.
"Aku pernah melihat sepatu itu. Kayaknya milik mang Kasmin." ujar Cemara terus mengikuti langkah Jati.
"Iya benar, Nona. Ini milik paman Kasmin."
"Benar kan." Cemara terbahak. "Yak, Kau masih muda mengenakan bekas kakek-kakek. Payah." Ejeknya lagi.
Jati menelan ludah, ucapan majikannya benar. Selama ini Jati hanya mengenakan pakaian bekas orang. Gaji hasil narik angkutan selalu habis terpakai dan tidak pernah ada untuknya. Ia juga sangat malu melihat penampilannya yang menggelikan.
"Penampilanmu sangat Norak. Mataku sakit melihatnya." Cemara melangkah cepat menuju toko pakaian. Mencari-cari kemeja yang cocok untuk Jati.
Mengambil lima pcs dengan warna dan ukuran berbeda lalu melempar pada pria yang berjarak dua meter di belakangnya. Jati menangkapnya.
Cemara menuju tempat celana levis. Berbalik untuk menilai ukuran pinggang Jati. Lalu mengambil lima pcs dengan ukuran berbeda, melemparnya pada Jati. Tak lupa Cemara juga mengambil kaos kasual sebanyak lima psc.
"Ikut aku." Cemara mengajaknya ke kamar pas. " Coba satu persatu dan tunjukkan padaku."
"Tapi—"
"Cepatlah! Aku lapar dan mau makan." Matanya sudah tajam.
Jati mengangguk patuh. Meletakkan paper bag milik Cemara di bangku tunggu. Membawa semua pakaian ke dalam bilik ganti.
Jati mencoba sepasang. Kemeja putih dengan celana levis lalu keluar menunjukkan pada Cemara.
Gadis itu menilai. Pilihanya tepat perihal ukuran Jati. "Lipat lengannya sampai siku." ujar Cemara.
Jati segera melipat sesuai perintah Cemara.
"Pakai itu saja dan buang bandrolnya. Pakaian yang ukuran sama bawa semua ke kasir. "
"Tapi, Nona saya nggak punya uang untuk—"
"Aku nggak mau penampilanmu memalukan seperti tadi. Mataku bisa rusak melihatnya." Ketus Cemara.
Cemara menunggu sebentar sampai Jati keluar dari bilik pas lalu membawa pakaian yang berukuran sama di tubuhnya menuju kasir.
Cemara membayarnya dengan kartu debit dan seperti biasa Jati harus mengambil barangnya di kasir. Mengikuti langkah Cemara ke toko sepatu lalu memilihkan dua pcs. Pantofel dan Sneakers.
"Coba pakai."
Jati melepas sepatu putih yang kekecilan di kakinya. Ia merasa lega jari-jarinya yang ketekuk di dalam bebas lalu mencoba mengenakan sepatu pilihan Cemara.
"Muat?"
"Iya Nona." Refleks Jati tersenyum dan bertemu muka dengan Cemara lalu segera menunduk.
"Coba lihat penampilanmu." ujar Cemara menunjuk pada Cermin panjang yang ada di ruangan itu.
Sangat berbeda dari sebelumnya. Pakaian yang ia kenakan sangat pas memeluk tubuhnya yang cukup … ideal. Jati kembali tersenyum melihat penampilannya yang berubah hanya karena pakaian itu. Jati tampak seperti orang kantoran.
"Bagaimana sepatunya?" Tanya Cemara menarik perhatian Jati dari cermin panjang yang menunjukkan seluruh tubuhnya disana.
"Aku suka, Nona." ucapnya cepat.
Cemara beranjak ke kasir dan segera diikuti Jati. Melepas sepatu dari kaki untuk p********n.
"Pakai lagi, dan buang sepatu bau itu." Cemara melihat ke arah sepatu Jati bekas Mang Kasmin.
"Iya Nona." Setelah melakukan p********n Jati mengenakan kembali sepatu pantofel nya lalu mengutip sepatu lamanya. Memasukkan ke dalam dus bekas sepatu baru. Ia akan menyimpan benda itu atau mungkin akan mengembalikan pada pemiliknya.
Cemara memimpin jalan. Kali ini tidak lagi berjarak dua meter. Jati bahkan mengekor dengan barang belanjaan di tangan satu langkah dari Cemara.
Cemara membawa langkah menuju Restoran. Setelah berjalan panjang, ia cukup lelah dan perutnya butuh diisi. Pelayan menyambutnya di depan pintu masuk. Membawa mereka ke sebuah meja kosong.
"Silahkan duduk." ucap pelayan dengan ramah. Menarik tempat duduk untuk pelanggannya. Cemara duduk sementara Jati berdiri tak jauh dari meja makan itu.
"Ini buku menu nya, Nona." Pelayan meletakkan buku tebal dengan sampul hitam di hadapan Cemara.
Cemara segera menceklis pilihannya untuk dua orang. Jati harus di kasih makan kan? Pria itu sudah pasti lelah.
"Ada lagi, Nona?"
"Itu aja."
"Baik Nona, mohon di tunggu kami siapkan dalam lima belas menit." Cemara mengangguk.
"Duduk. Kau membuatku buruk di mata orang." ujar Cemara.
Jati kebingungan hendak duduk di mana. Mereka harus menjaga jarak.
"Disini." Cemara menunjuk kursi di hadapan mejanya.
"Tapi, aku nggak mau mengganggu Nona makan."
Cemara mendengus, "duduklah. Aku malu, tar diliatin orang dan aku dikatain majikan kejam. Kau mau?" Cemara melotot.
Dengan gerakan cepat Jati meletakkan barang belanjaan di bangku kosong. Duduk patuh di depan Cemara dan memalingkan wajah membuat Cemara ingin terkekeh.
Cemara menyandarkan punggungnya pada kursi. Ia memainkan ponsel, tersenyum kecil saat melihat pesan perkenalannya dengan seorang pria di balas.
Cemara membalas, [14:30 di Starbucks Mall Kokas] Cemara mengirim pesan.
Dan tidak lama kemudian balasan datang.[Oke. Sampai ketemu disana]
Makanan mereka tiba. Pelayan menyajikan di meja makan.
"Pesanannya semua sudah disini Nona, apa masih ada yang saya bantu?"
"Tidak ada. Terima kasih."
"Baiklah, selamat menikmati." Pelayan membawa langkahnya keluar dari tempat itu.
Cemara menusuk spaghetti dengan garpu lalu memutarnya. Ia mengangkat menuju mulutnya dan berhenti saat melihat Jati menunduk di tempat.
"Kau nggak makan?" Cemara memasukkan spaghetti ke mulutnya, menikmati rasanya di tiap gigitan.
"Ini untukku Nona?"
Cemara menelan isi mulutnya, "menurutmu aku bisa menghabiskan ini semua? Cepetan makan."
"Terima kasih, Nona." lirih Jati.
Cemara menyendok spaghetti untuk dimasukkan lagi ke mulutnya. Tapi, ia berhenti saat melihat Jati berdoa. Cemara tersentuh. Senyuman pahit terbit di bibirnya. Ia tidak pernah melakukan itu. Saat Jati membuka mata, Cemara segera memalingkan wajah mengabaikan Jati.
Jati menyendok satu suapan besar spaghetti ke mulutnya hingga saus lumer di sudut bibirnya.
Cemara tertawa melihat betapa besarnya mulut Jati. Pria itu malu dan hampir tersedak.
"Pelan-pelan. Aku nggak bakalan rebut makananmu."
Jati menelan semua isi mulutnya. Wajahnya merah. Mengambil minuman dan menyedot lewat sedotan. Cemara menipiskan bibir menunjuk sudut bibirnya sendiri.
Jati mengambil tisu lalu membersihkan sudut bibirnya dan melihat saus di tisu. Ia tersenyum kecil dengan raut merona. Seumur hidup Jati. Baru kali ini makan makanan asal Italia itu.
"Maaf Nona."
"Kau memang kampungan." Ejek Cemara kembali menikmati spaghetti miliknya. Pelan-pelan sambil memainkan ponsel.
….
Jati keluar mobil lalu membuka pintu untuk Cemara. Gadis berusia delapan belas tahun itu melenggang keluar.
"Nona," Panggil Jati menghentikan langkah Cemara.
"Iya."
"Terima kasih, Nona."
"Terima kasih untuk apa?"
"Untuk … semua belanjaan ini." ujar Jati melihat pakaian yang melekat di tubuhnya.
"Ooh." Cemara meniup napas kasar. Ia mengeluarkan semua struk dari dalam saku seragamnya. "Ini." Cemara menyerahkan struk belanjaan. Jati menerimanya.
"Kau bisa bayar dengan cara potong gaji tiap bulan." ucap Cemara santai lalu melenggang meninggalkan Jati dengan wajah melongo. Jati melihat struk. Jantungnya berdegup. Satu bulan gaji untuk semua pakaian yang Cemara belikan.
"Enam juta. Astaga." Jati menekan gigi ke bibir bawahnya. Bulan ini ia harus mengirim uang untuk keluarganya di palembang.
.
.
.
HAI SELAMAT SORE DAN SELAMAT HARI MINGGU