SUPIR ANEH DAN GADIS ANGKUH

2092 Words
"Papa ....boleh nggak? Ples, Papa …." Cemara mengganggu Lamtoro yang tengah bermain golf mini di ruang kerjanya. Sebuah ruang khusus istirahat yang didesain menghadap halaman belakang. Lamtoro mendesah lantaran bolanya tidak tepat sasaran. Ia melihat putrinya tersenyum manis. Dua tangan menepuk-nepuk pipi yang sengaja di gembulkan. Mata lentiknya mengerjap indah. Cemara sangat imut seperti kucing berbulu halus. "Papa ikut." ucap Lamtoro. Cemara mengembuskan napas panjang. Menatap Lamtoro yang sudah kembali bermain golf. "Itu acara khusus anak-anak muda, Pa. Ara iri sama teman-teman Ara dikasih bebas sama orangtuanya." "Jadi selama ini kamu tidak bebas?" tanya Lamtoro tanpa melepas perhatiannya dari lubang golf. "Tapi, Ara malu Pa. Kemana-mana harus diawasi." Cemara kesal melihat Lamtoro. Ia mendorong punggung Lamtoro tepat saat pria paruh baya itu mengayunkan stik golfnya. "Dasar. Anak ini!" Lamtoro bersiap menoyor kepala putrinya dan dengan gerakan cepat Cemara menghindar. Lamtoro mengejar Cemara di ruangan itu. Sampai tangan Lamtoro menggapai putrinya. Menarik kerah kaos belakang Cemara lalu mengitari perut Cemara dengan lengannya dan mengangkat tubuh Cemara membawa berputar. Keduanya terkekeh-kekeh membuat Jati iri yang tidak sengaja melihat kedekatan antara anak dan ayah itu lewat dinding kaca yang tembus ke halaman belakang. Jati tersenyum kecil, dalam hidupnya ia tidak pernah merasakan sentuhan sayang orang tua. Bahkan Jati tidak ingat lagi seperti apa rupa mereka. "Papa hentikan. Ara pusing." Teriak Cemara. Memeluk leher Lamtoro. Lamtoro berhenti memutar tubuhnya. Saat menurunkan Cemara, pria paruh baya itu ikutan mabuk. Pusing dan terjatuh ke lantai. "Papa pusing." ucapnya. Cemara terbahak, ikut menjatuhkan diri dan tiduran di lantai. Mereka menatap langit-langit kamar yang sama. Menetralkan kebingungan di tubuh mereka. Cukup lama sampai pulih. "Putri Papa sudah dewasa. Cukup lama tidak melakukan hal seperti tadi. Saat kau berusia lima sampai sepuluh tahun. Papa masih menggendongmu di pundak. Membawamu berputar sampai pusing. Sampai sekarang kau masih bayi di mata Papa. Apa salah jika pengawasan ketat Papa lakukan?" Cemara menoleh pada Lamtoro lalu menggeleng kecil. "Aku sayang Papa, maaf kalau Ara suka ngelunjak." lirih Cemara. "Jadi …, kau putus dari Rumi?" "Mmm," "Papa sudah bilang. Jangan pacaran dulu. Kau masih sangat kecil untuk mengurusi masalah hati." ujar Lamtoro. Saat mengetahui putrinya pacaran. Lamtoro segera menemui Rumi untuk memperingatkan supaya tidak macam-macam pada putrinya. Meminta mang Kasmin mengikuti kemana saja pasangan remaja itu dan melaporkan segalanya pada Lamtoro. "Aku kesal, karena dia pacaran sama Monica. Saingan Ara di dalam kelas." "Hanya kesal apa sakit hati?" "Kesal 90 persen dan sakit hati 10 persen." "Meski 10 persen pasti mencekik hati, benar Ara?" Ara terkekeh setuju."Apa Papa pernah mutusin Cewek atau diputusin?" Lamtoro menarik napas panjang lalu mengeluarkannya kasar. "Papa seorang bad boy jadi sudah pasti banyak hati wanita patah di tangan Papa." Lamtoro tergelak saat melihat putrinya mencibir. "Kau pasti tidak percaya. Pesona Papa sangat berbahaya." Lamtoro duduk, ia menarik tangan putrinya untuk duduk. "Artinya Papa harus dimusnahkan dari dunia ini." Cemara mencubit lengan Lamtoro. Pria paruh baya itu mengaduh kesakitan. "Cemara nggak suka diselingkuhi. Nggak ada tempat buat pria busuk di hati Ara." "Papa senang mendengarnya. Tapi, jangan pacaran lagi sampai usiamu benar-benar matang." Cemara mengangguk yakin. " Papa, malam minggu ini, Papa yang jadi pasangan Ara?" "Kau tidak keberatan?" Tanya Lamtoro. "Baiklah. Kita kencan." Cemara setuju. Lamtoro mengusap kepala putrinya. "Tapi, Papa ada urusan hari itu dan harus menginap di hotel. Mama mungkin ikut. Apa Ara tidak ikut Papa saja?" "Urusan kerja?" "Iya." "Nggak. Ara di rumah aja. Ijinkan Ara Pa ke pesta ulang tahun Rumi. Hanya sebentar dan langsung pulang. Ara janji." Bujuk Cemara lagi. Lamotoro mendesah panjang, "Hanya satu Jam. Setelah si bren'gsek itu meniup lilin pulang." "Mmm, Ara janji." Lamtoro melihat arloji yang melingkar apik di pergelangan tangannya. Lima belas menit lagi ia akan mengadakan meeting. "Sudah keluar sana. Papa mau ada meeting virtual lima belas menit lagi." "Oke." Cemara berdiri lalu mengulurkan tangan membantu Lamtoro bangun dari duduknya. "Aku ke kamar, Pa." ujarnya berpamitan. ….. "Mbak Yanti." Panggil Cemara pada pekerja di rumah itu. "Iya Nona." Sahut Yanti menghampiri. "Minta supir siap-siap. Ara mau keluar." ujar Cemara seraya menaiki anak tangga berbentuk spiral menuju kamarnya. "Baik Nona." Yanti menuju kamar belakang yang tersambung langsung ke halaman belakang. Mengetuk pintu kamar Jati, tidak ada jawaban. Cemara mencari pria itu ke halaman belakang dan benar saja Jati duduk di bawah pohon Maple jepang dengan daun yang indah. "Mas Jati." Panggil Yanti menyadarkan Jati dari lamunannya. Ia segera bangun dari duduknya. "Apa Yan." Dalam tiga hari ini Jati dan Yanti sudah cukup akrab. Jati bekerja untuk Yanti di pagi hari sebelum mengantar Cemara sekolah. Jati menjadi ojek Yanti ke pasar. Di rumah itu ada tiga pembantu yang memiliki tugas masing-masing tetapi dua orang lain bekerja paruh waktu. Khusus merapikan rumah dan cuci gosok. Sementara Yanti pembantu menetap dan tinggal di rumah itu. "Dipanggil Nona, suruh siap-siap mau keluar katanya." Jati segera berlari kecil ia tidak ingin kena marah." Nggak usah buru-buru gitu kali Mas." ujar Yanti. Jati berhenti dan berbalik melihat Yanti. "Dia sangat pemarah. Ngeri liatnya." Keduanya terkekeh. "Tapi, aslinya baik loh, Mas. Cuma ya itu, mulutnya tajam." Yanti menyamakan langkah dengan Jati masuk menuju rumah. "Aku masih ragu dia orang baik." ujar Jati. Dia masih ingat bagaimana Cemara mengejek penampilannya dan selalu memasang wajah buruk padanya. "Durian tajam di luar, Mas. Tapi dalamnya lembut dan enak." "Maksudnya apa Yanti?" Jati terkekeh, menepuk lengan Yanti. "udah ah, takut di omelin." Jati mendahului Yanti. Gadis yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah itu menyentuh bekas sentuhan Jati di lengannya. Ia menipiskan bibir senang. Jatuh cinta pada pria si hitam manis. Jati segera buka pintu mobil begitu, Cemara keluar rumah. Seperti biasa gadis itu akan melempar tas pada Jati. Entah kenapa? Jati juga bingung. Kenapa Cemara tidak membawa masuk tas nya saat dia masuk ke dalam mobil. Jati meletakkan tas di samping Cemara. Lagi-lagi dia harus disuguhkan pemandangan yang manis. Dua paha tanpa cela. Jati meniup napas, menggaruk kepala setelah menutup pintu mobil. Pasti mang Kasmin keluar kerja karena selalu digoda sama hal yang indah tapi tidak bisa di nikmati. Jati menggelengkan kepala, saat otaknya mulai tak waras. Ia duduk di bangku kemudi. "Mau kemana, Nona?" "Kokas. Kita ke Starbucks-coffee." ujarnya tanpa lepas dari layar ponselnya. Hari ini Cemara ada janji dengan pria yang akan menemaninya ke ulang tahun Rumi. "Baik Nona." Jati mengemudi ke tujuan. Seperti biasa mereka tidak saling tegur. Sesekali Jati melirik dari kaca spion. Wajah Nona nya kadang lembut kadang judes. Senyum dan tawa Cemara saat bercanda dengan Lamtoro terngiang di pikirannya. Jati tersenyum. Sejak bekerja di keluarga itu. Baru kali itu ia melihat Cemara tersenyum lepas. "Langsung ke parkiran. Seperti biasa Papa minta kamu jadi goliat." ujar Cemara begitu mereka tiba di depan pintu mall. Jati paham apa maksud Cemara. Ia melajukan mobil masuk ke basement. *** Cemara membawa langkah masuk ke Starbucks-coffee yang ada di Mall itu. Menunjuk satu tempat duduk untuk Jati. Cemara menuju kasir dan memesan Cappuccino dan dua potong Via Red Velvet Roll Cake. Melakukan p********n lewat debit dan meminta layanan istimewa supaya pesanannya diantar ke meja Jati. Cemara melangkah menuju meja Jati. "Duduk di sini aja. Aku nunggu teman disana. Jangan kemana-mana nanti hilang." ujar Cemara. "Baik, Nona." Cemara melangkah menuju meja yang tidak jauh dari meja Jati. Lima belas menit pesanan Cemara datang ke meja Jati. "Ini pesanannya, Tuan. Selamat menikmati." ujar pelayan pada Jati dengan ramah. Jati mengangguk dan membalas senyum. Untuk kedua kalinya Cemara menangkap lesung pipi di senyum Jati. Jati melihat ke arah meja Cemara lalu beranjak dari tempat duduknya menghampiri Cemara. "Maaf Nona, itu es nya salah alamat." spontan Cemara terkekeh. "Itu bukan es, Bodoh. Tapi, coffee." "Eh, iya maksud saya kue sama kopinya nyasar ke meja aku." "Buat kamu. Makan aja." "Tapi, gra—" "Potong gaji." Jati menelan saliva. "A-aku nggak—" "Sudah sana pergi. Teman Ara sudah datang." ujar Cemara begitu melihat dua orang pria seusianya memasuki cafe itu. Jati meniup napas pelan, dengan raut pasrah kembali ke mejanya. Memperhatikan Cappuccino dan cake di mejanya. Menyentuh Cake dengan sendok kecil lalu menikmatinya dengan malas. Sayang jika dibuang pasti mahal. Pikir Jati lalu memotong lagi, lagi hingga semua cake lembut itu lolos semua ke dalam lambungnya. Jati juga menyeruput Cappuccino nya lalu melihat ke meja Nonanya. Dua pria itu saling tatap seperti berbagi kode. Sementara Cemara tampak serius berbicara. Jati berpikir tidak ada masalah lalu dia sibuk dengan rasa Cappuccinonya. Hanya sekejap. Jati tidak melihat Cemara berada di meja. Jati menjelajah tempat itu dengan matanya namun, Cemara dan dua pria itu tidak terlihat. Jati melihat Cappuccinonya masih banyak. Sayang, pasti mahal. Pikirnya lagi. Jati membawa minuman itu keluar cafe seraya mencari Cemara. Jantungnya berdegup. Menyusuri tempat itu dan sesekali menyedot Cappuccinonya lewat sedotan. Jati lega saat melihat punggung Cemara. Dia berlari kecil mengejar. Dua pria berjalan sejajar dengan Cemara menuju parkiran bawa tanah. Jati terus mengikuti dari belakang dan memberi jarak. Masuk ke dalam lift, Jati segera menyusul cepat. Ia melihat pandangan Nona nya seperti kosong. Jati melihat dua pria itu tampak biasa dan berbicara dengan canda. Tangan salah satu dari mereka merangkul pundak Cemara. Pintu lift terbuka, Jati lebih dulu keluar dan melangkah menuju mobil pelan-pelan seraya mengawasi Cemara yang dibawa menuju mobil pria itu. Jati mengembuskan napas kasar. Nona nya dalam masalah. Jati berlari dan melempar Cup Cappuccino di tangannya mendarat mulus di kepala pria yang merangkul Cemara. "Maaf, aku sengaja. Tolong lepasin dia sebelum aku menghaluskan tubuh kalian berdua menjadi adonan bakso." ujar Jati menghampiri dua pria itu. "Apa maksudmu, sialan. Dia kekasihku." Jati melihat Cemara yang masih menatap kosong bahkan tidak mengenali Jati. "Lepasin atau kalian masuk penjara. Dia Cemara adik aku." Mendengar Jati menyebut nama Cemara membuat dua pria itu panik. Melepas Cemara dan masuk ke dalam mobilnya. "Nona," Jati menepuk pipi Cemara dua kali tapi, Cemara tampak kebingungan. Cemara terkena hipnotis. "Kau sangat kejam padaku, Nona. Tapi, lihatlah. Pada dua pria itu kau tidak berdaya." Jati mengeluh. Mengangkat tubuh majikannya menuju mobil. Membuka pintu dan mengambil air minum dari mobil dan membasuh wajah Cemara. Membantu Cemara duduk dan memasang seatbelt. Pria itu duduk di bangku kemudi menunggu Cemara sadar. Lima belas menit Cemara menyadari kalau dirinya berada di dalam mobil. Ia mencoba mengingat sebelumnya berada di kafe. "Kau sudah sadar Nona?" Tanya Jati menoleh ke belakang. "Tadi teman Ara—" "Nona terkena hipnotis. Dua pria itu hampir bawa Nona pergi dengan mobilnya." Untung ada aku jadi pahlawan Nona. Membatin. "Bohong." "Benar, Nona." "Jangan cerita sama siapapun. Ayo pulang." Cemara kembali dengan raut angkuhnya. Dalam perjalanan ia memilih tidur hingga sampai rumah. …. "Ara tidur?" tanya Rasamala saat melihat Jati kebingungan membangunkan gadis itu. "Iya, Nyonya." jawab Jati sopan. "Kalian dari mana?" "Kokas, Nyonya. Nona ketemu teman-temannya." "Ya sudah kamu masuk saja. Biar aku bangunkan." Rasamala memasukkan setengah badannya ke dalam mobil. Menjepit hidung Cemara hingga putrinya itu terbangun. "Mama." Cemara kesal, menepis tangan Rasamala. "Bangun sudah sampai. Ayo lanjutin tidurnya di kamar." Rasamala melepas sabuk pengaman dan membantu putrinya keluar dari mobil. "Aku benci supir kita." ujarnya dengan raut malas. "Lah, kenapa?" "Dia jelek." "Kau ini. Mang Kasmin tua kau baik-baik saja." "Tapi supir Ara aneh." "Dia macam-macam?" "Nggak. Aku pengen lempar orangnya ke laut. Kalau Ara diam dia ikutan diam terus. Nggak mau ajak Ara ngobrol kayak mang Kasmin." "Ara … nggak semua orang itu sama. Jati orang baik kok." "Nama dia nama pohon, aku benci." "Aih anak ini." Rasamala menoyor kepala putrinya yang masih menahan kantuk. "Ara udah balik?" tanya Lamtoro menuruni anak tangga. "Papa pecat supirnya. Dia banyak utang sama Ara." Cemara menjatuhkan diri ke sofa. Tidur setelah membuat kedua orang tuanya bingung. "Utang apa sih?" "Panggil Jati." ujar Lamtoro memperhatikan wajah lelah putrinya. "Yanti. Tolong panggilin Jati." Seru Rasamala, ikut kebingungan. "Baik Nyonya." Sahut Yanti. Tidak lama kemudian Jati datang, Lamtoro melihat penampilan Jati. Sangat jauh berbeda saat pertama kali datang. Pria ini terlihat bersih dengan pakaian mahal melekat di tubuhnya. "Kau punya utang sama Cemara?" Tanya Lamtoro dari tempat duduknya. Jati melihat Cemara yang tengah terlelap di sofa panjang. Rasamala menyelimuti kaki putrinya. Cemara kerap mengenakan celana pendek diatas lutut hingga dua paha itu selalu terekspos. "I-iya, tuan." ujar Jati terbata-bata. "Apa? Untuk apa?" Tanya Rasamala kebingungan. "Berapa banyak?" Lamtoro menimpali. "Enam juta, Tuan. Atau lebih tadi juga aku nambah utang sama Nona." ujar Jati takut-takut. Rasamala dan Lamtoro saling tatap, lalu beralih menatap Jati. "Kau dipecat. Usir dia dari rumah ini. Uang putriku cukup gajimu sebulan. Kau melewati batas meminjam uang pada putriku. Dia masih bergantung pada kami." ucap Lamtoro tegas, mengejutkan Jati. . . . Thank you ... untuk love dan komennya. cerita ini alur lambat jadi sabar untuk konflik besarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD