Mengaku kalah

1464 Words
Semua persiapan kegiatan gebyar sudah siap, hanya tinggal menunggu 1 hari untuk pelaksanaannya. Bulan terus latihan, dia begitu gugup karena tidak memiliki mental yang tinggi seperti Bintang. Namun Bulan tetap berusaha, dia tidak ingin membuat Arka atau Bintang kecewa. “Semangat!” bisik seseorang dari arah belakang. Bulan menoleh, menatap Elliot yang sudah nyengir kuda. Bulan menarik temannya itu agar duduk di sampingnya. “Boleh aku meminta pendapatmu?” Dahi Elliot berkerut, “Pendapat apa?” “Aku mau baca ulang dan minta pendapatmu, tapi aku tidak yakin mahroj dan nadanya bisa seirama,” lirih Bulan sambil meremas jari. Dia tidak pernah mengaji di depan siapapun. Selain hanya untuk dia dan tuhannya. “Kenapa tidak yakin? Aku yakin akan terdengar enak. Ayo, cobalah! Aku akan mendengarkan dan menilainya,” ucap Elliot memberi semangat. Bulan memulai melantunkan, dengan nada gemeter seraya melirik Elliot. “Anggap aku tidak ada,” tutur Elliot memotong. “Maksudmu?” “Anggap aku atau siapapun yang membuatmu gugup itu tidak ada di depanmu, maka kau akan percaya diri,” tutur Elliot penuh keyakinan. “Dan jika kau masih gugup, pejamkan mata dan Tarik nafas. Maka kau akan dapat jawabannya,” sambungnya lagi. Bulan mengangguk, mengulangi bacaannya hingga selesai. Elliot tersenyum damai, suara Bulan memang merdu dan pas, hanya pemalu saja hambatannya. Tidak salah Bintang merekomendasikan kakaknya. “Good!” ucap Elliot seraya menganggkat kedua jempol. Bulan tersenyum senang, Elliot berhasil menarik jiwa percaya dirinya. “Makasih, Elliot!” “Sama-sama." Tak lama kemudian ponsel Bulan bordering, membuat sang empu langsung sigap dan mengambilnya dari saku. “Sebentar!” tutur Bulan pada Elliot. tarikan bibir muncul di wajahnya saat nama Arya tempampang jelas di ponselnya. “Siapa?” “Sutttttt!” Bulan membungkam mulut Ellit dengan telunjuknya, membuat pria itu diam membeku. Matanya naik turun menatap jari lentik Bulan berada di bibirnya. Masih di posisi membungkam Elliot, Bulan mengucap salam “Assalamualaikum?” tutur Bulan pelan. “Wa’alaikum salam! Dimana kamu?” “Aku lagi di tama-“ “Cepet balik! Saya tunggu dirumah!” “Tapi, Kak. Ak-” Tut, tut, tut. Sambungan terputus. Nada bicara Arka yang terburu-buru membuat Bulan cemas. Ada apa? Satu kalimat itu yang langsung menyerbu kepalanya. Tentang apa, siapa dan kenapa? Namun, belum sempat mendapat jawaban, Bulan sudah berlari, meninggalkan Elliot yang berteriak memanggil namanya. Bulan tidak tenang, langsung menyetop ojek dan pergi dari sana. Sepanjang perjalanan hati Bulan berdegup kencang, takut terjadi apa-apa dengan Arka. Pasalnya, setelah kedatangan Bintang ke rumah mereka yang ada di Jakarta waktu lalu, Arka sedikit menganggap Bulan ada dan hidup di rumahnya. Ya, meski masih menolak makanan atau apapun yang di sediakan, tapi setidaknya Bulan bisa mendengar penolakan Arka. Tidak langsung melenggang pergi seperti dulu. Bulan menutup mulut saat melihat rumah yang tadi rapi bersih kini terlihat seperti kapal pecah. Semua barang jatuh dan berceceran dimana-mana. Banyak botol pecah juga di lantai. Segera gadis berkaca mata itu naik ke atas menuju kamar suaminya. “Kakak apa yang kamu lakukan?” pekik Bulan sambil menarik botol minum di tangan Arka. “Balikin! Saya mau minum lagi!” “Sadar, Kak. Istigfar! Ada apa? Kenapa kakak jadi seperti ini?” tanya Bulan lirih. “Arghhhh!” Arka berteriak keras, menarik kasar botol itu dan melemparnya. Wajahnya sudah tidak terbentuk. Ucapan Bintang yang memintanya putus membuat hidup Arka seakan berhenti. Dia tidak bisa hidup tanpa Bintang, gadis itu adalah cahaya hidupnya. Arka lebih bisa menerima gadis itu marah dan menganggapnya tidak ada untuk sementara waktu, bukan memintanya putus seperti ini. “Kak!” Bulan mencoba mendekat. “Bintang mutusin saya, dia bilang sudah tidak mencintai saya lagi. Padahal saya tahu Bintang tidak mungkin tidak mencintai saya, kami saling mencintai. Saya sudah berjanji akan menikahinya setelah belajar bisnis dan perceraian kita nanti. Tapi dia tetap tidak percaya dan mutusin saya. Saya harus gimana Bulannnn!” Arka frustasi. Menjatuhkan tubuh setelah mengusap wajah kasar. Sedang Bulan diam membeku. Ia ikut menangis, ada rasa nyeri saat melihat Arka terpuruk. Apalagi sampai menangis dan mengacak rumah seperti ini. Tapi hal lain perihal cinta mereka, itu lebih menyakitkan bagi Bulan. "Kak. Bangunlah, aku akan bicara baik-baik pada Bintang nanti." Baru saja Bulan hendak membantu Arka bangun, pria itu jatuh pingsan. “Kakak! Kakak bangun!” Bulan kelimpungan. Takut bercampur sedih. Dengan susah payah ia menggotong pria itu ke kasur dan menyelimutinya. Bulan mencengram sprai, nyeri kasihan bercampur dengan rasa cemburu menyeruak di dalam hatinya. Kenapa Arka sampai se frustasi itu? Kenapa juga Bintang sampai se berharga itu? Tidak sepertinya yang bahkan tidak di anggap ada padahal sudah menjadi istri. Bulan tahu betul jika Bintang juga sangat mencintai Arka. Jadi tidak mungkin melakukan hal ini tanpa alasan. Memutuskan Arka pasti karena tidak enak padanya. Apa yang di lakukan Bintang memang sedikit membuat Bulan senang tapi juga membuat Bulan marah. Bulan benci, marah, pada dirinya sendiri. Kenapa dia harus ada di antara dua sejoli yang sangat saling mencintai ini? Selesai menyelimuti dan menemani Arka. Bulan beranjak membersihkan kamar Arka. Sangat perlahan karena tidak ingin membuat Arka bangun dan kembali menangis. Keesokan harinya Bulan sudah duduk di meja makan, menunggu Arka turun. “Kak!" Bulan mencoba menahan langkah kaki suaminya. “Sudah saya bilang tidak usah buat sarapan karena saya tidak mungkin makan masakan kamu,” jawab Arka tanpa melirik Bulan. Pria itu terlihat lebih baik dari kemarin. Bulan menghembuskan nafas, berjalan mendekati Arka. “Tidak kok, Kak. Bulan tidak memasak hari ini. Bulan hanya ingin memberikan ini." Bulan memberikan 1 kotak tertutup pada Arka. Membuat pria itu meliriknya heran. "Berilah ini pada Bintang!" “Apa ini?" “Gaun!" "Makan dan bicaralah baik-baik dengan adikku. Urusan datang atau tidak, biar aku yang akan membujuknya," tutur Bulan diiringi senyum perih. Jauh di bawah kotak itu tangannya gemetar mencengkram. Bulan mengaku kalah, dia kalah oleh adiknya sendiri. Rasa cintanya pada Arka membuat Bulan melakukan hal apa saja asal Arka bahagia. Jangan terima! Kumohon. Batin Bulan memohon. Berharap Arka tidak menerimanya. "Kau?" Arka menatap Bulan heran. Sedang Bulan hanya tersenyum menanggapi, bibirnya terlalu munafik jika harus bicara lagi. "Thanks! Udah ngerti cinta kami," tutur Arka diiringi senyum. Ini adalah senyum pertama Arka pada bulan. Senyuman yang diberikan karena Bulan telah mengijinkan Arka untuk kembali pada Bintang. Haruskan Bulan bahagia atas senyum manis itu atau menangis saja? Tanpa menoleh lagi, setelah mengambil kotak itu Arka langsung pergi. Meninggalkan Bulan yang saat ini sudah menangis. *** Cahaya Bulan dan Bintang menghiasi langit malam, menjadi saksi kedua manusia yang saling membisu setelah bertemu. Pasalnya Bintang menyesal datang ke tempat indah ini. Berharap benar-benar bertemu dengan kakaknya, Bintang malah bertemu dengan pria yang memenuhi hatinya. Entah bagaimana bisa Arka tahu dia ada disini, padahal Bintang sudah menutup semua akses yang memungkinkan Arka menemuinya. Berharap Arka dan dia bisa menutup hati atau beralih hati saja. Namun saat ini Bintang sadar, semakin kuat dia menutup hatinya untuk Arka, sekuat itu juga Arka terus membukanya selebar mungkin dan menetap disana. "Sayang." Baru saja Arka ingin menggenggam tangan Bintang, gadis itu sudah lebih dulu menarik tangannya. Arka hanya menghela nafas. Kemudian berusaha menahan diri. “Terima kasih sudah datang,” tutur Arka membuat Bintang mendelik tajam. Menghembuskan nafas kasar, Bintang mulai berfikir aneh tentang kakaknya yang sengaja mempertemukan mereka. "Baiklah, anggap saja ini pertemuan terakhir kita,” “Sayang apa yang kau kataka-” "Cukup, Arka! Aku adik iparmu, bukan istrimu. Bagaimana kalau keluarga kita tahu? Mereka pasti akan membenci kita,” lirih Bintang ikut frustasi. "f**k! Persetan dengan semua keluarga. Aku hanya menginginkanmu, Bintang!" Arka sangat muak dengan kata keluarga. Berdiri dan menarik Bintang kedalam dekapannya. Arka juga menarik pinggang gadis itu, membuat jarak mereka sangat dekat dengan nafas memburu. Sesaat Bintang menolak, tapi gerakan kuncian Arka membuatnya langsung diam dan memilih menangis. Bintang tersedu-sedu, posisinya yang tidak menguntungkan membuatnya sangat menyesal, andai Bintang tahu jika jodoh yang di maksud abah dulu adalah Arka, Bintang pasti mau menerima dan bahkan menawarkan diri. Namun nasi sudah menjadi bubur, kekasihnya sudah menjadi milik kakaknya. Suka atau tidak, terima atau tidak, status itu sudah melekat sekarang. "Kakak?" pekik Bintang saat melihat sosok Bulan sudah ada di depannya. Mendorong tubuh Arka kasar. "Ini tidak seperti yang kakak lihat kok, ak-ku hanya minum di sini dan tidak sengaja bertemu dengan suamimu," jelas Bintang dengan wajah yang sudah pucat. Bulan meraih tangan adiknya dan tersenyum. "Aku tahu, aku tahu semuanya, Bintang. Tentang perasaanmu, tentang perasaan kak Arka dan tentang hubungan kalian. Maafkan aku yang sudah menjadi benalu dalam hubungan kalian. Kembalilah, aku sudah menyetuji penawaran Arka yang akan menceraikaku setelah 1 tahun pernikahan," tutur Bulan langsung memeluk adiknya kemudian pergi. Bintang ingin mengejar, menjelaskan jika Bulan tidak perlu sampai melakukan hal itu. Tapi Arka menarik tangan Bintang dan memeluk gadisnya erat. "Kau dengar? Cinta kita lebih kuat dari apapun, kamu akan tetap menjadi bintang di hatiku," tutur Arka menarik bulan lebih dekat dan mencium bibirnya. Bersambung….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD