Apapun demi Arka

1443 Words
Setelah dinyatakan aman oleh Dokter, Arka dan Bulan langsung memutuskan untuk kembali ke rumah. Bulan membantu Arka naik tangga untuk mencapai kamar. Awalnya Arka diam saja karena ada kakek dan orang tua Bulan. Namun setelah mereka pulang, Arka menyentak dan menepis kasar tangan Bulan. “Lepas!” “Tapi kak?” “Lepas saya bilang!” sentak Arka membuat Bulan langsung diam, membiarkan Arka naik sendiri. Namun baru saja Arka naik beberapa langkah, pria itu sempoyongan. Akibat tertiban motor membuat kakinya bengkak dan susah di gerakan. Bulan sigap naik dan membantu Arka. Pria itu hendak protes, tapi Bulan langsung menjawab. “Tolong, Kak! Bulan hanya ingin membantu,” jawab Bulan dengan kepala tertunduk. Tak ada pilihan lagi, Arka diam. Membiarkan tangan Bulan menyentuh lengan dan membantunya berjalan. “Ada yang bisa Bulan bantu lagi, kak?” tawar Bulan saat Arka sudah duduk di kasur. “Tidak ada,” jawab Arka singkat. Dan baru saja Bulan hendak bicara lagi, Arka sudah menutup wajahnya dengan selimut. Bulan menghembuskan nafas, semakin kuat Bulan mendekat, semakin kuat juga Arka menjauh. “Pergi dari kamarku!” usir Arka dari balik selimut. Bulan menyerah, dia melangkah keluar. Tapi baru saja kakinya melangkah ponsel Arka berbunyi. “…” “Apa, Pak? Menyiapkan acara? Tapi saya baru saj-“ “…” “Baiklah,” jawab Arka lemah. Mendengar itu, Bulan buru-buru berbalik. Sepertinya Arka tidak akan bisa menolak bantunnya kali ini. Bulan akan membantunya. “Bulan bisa bantu, Kak,” tawar Bulan dengan ceria. Bulan akan melakukan apapun demi Arka. Ya, demi suaminya Bulan bahkan rela menggantikan posisi pria itu pasca tertabrak kemarin kalau bisa. “Kamu yakin mau bantu saya?” Bulan mengangguk semangat. Gadis yang sudah sebulan menjadi seorang istri itu akan berjuang mendapatkan cinta suaminya. Demi abah, umi, juga permikahan suci mereka. “Kalau gitu, bantu saya panggil Bintang kesini!” Deg! Permintaan Arka membunuh hati Bulan, membuat gadis itu langsung terdiam seribu bahasa. Wajah berserinya bahkan langsung sirna. Arka melirik, menyadari perubahan wajah Bulan, “Sorry! Tapi saya rasa tidak ada yang perlu di sembunyikan lagi,” ungkap Arka membuat Bulan semakin menunduk, tidak ingin Arka melihatnya lemah karena menangis. “Kamu tau, saya tidak bisa hidup tanpa adikmu. Saya sangat mencintainya, dia adalah cinta dan sumber kehidupan saya,” ucap Arka mencoba menjelaskan. Betapa gadis itu sangat berharga dalam hidupnya. Cukup, Kak! Kumohon. Cintamu padanya saja sudah cukup membuat hatiku berdarah, tolong jangan tambah lagi dengan memujinya. “Jadi saya harap kamu mengerti,” tegas Arka akhirnya. Tidakkah kakak juga mengerti perasaanku? lirih Bulan dalam hati. Dalam keadaan tertunduk Bulan menggerak-gerakan mata, berharap air mata sialannya tidak jatuh. Bulan mengangguk, “Baik, Kak. Bulan akan bantu panggil Bintang kesini,” jawab Bulan dengan suara tertahan. Hanya menjawab perintah Arka di awal. Tidak menanggapi ucapan setelahnya. Gadis itu mundur keluar dengan keadaaan masih tertunduk. Kemudian menangis sejadi-jadinya ketika sudah sampai di dapur. Selesai menghubungi Bintang, Bulan beranjak saat mendengar suara bel rumah. Membenarkan baju seraya menepis air matanya kasar. Akh adikku, kenapa kau cepat sekali datang? Kau tidak kembali ke rumah abahkah? Atau memang menunggu suamiku memanggilmu? Bulan jadi berfikir negatif. Tapi segera ia tepis pikiran itu dan mendorong pintu. “Kau memintaku kesini, Kak?” tanya Bintang saat pintu sudah terbuka. Meremas ujung baju takut saat melihat wajah Bulan yang datar. Seperti tidak suka. Namun di detik kemudian, “Wassakamualaikum, Adik!” tutur Bulan seraya tersenyum lebar. Menekan kata adik seolah mengingatkan posisinya. Bintang tersenyum kikuk, hingga akhirnya menjawab salam dan mencium tangan kakaknya. “Yasudah masuk kamar gih!” “Ha?” Bulan membuang wajah, menghindari tatapan adikknya. “Kau lupa kak Arka masih pemulihan? Jadi dia putuskan untuk mengerjakan tugasnya di kamar,” tutur Bulan masih menghindari tatapan. Tidak ada jawaban, Bulan melirik Bintang yang masih menatapnya tak percaya. Mungkin terdengar aneh. Bukan hanya dirimu, aku istrinya pun aneh kenapa bisa berkata seperti itu, “Tidak apa-apa. Pergilah! Nanti aku menyusul,” tutur Bulan sambil menunjuk dapur. Bulan tak ingin bicara lagi, berjalan cepat meninggalkan Bintang. Diambilnya dua gelas dari dalam lemari. Menuangkan teh dan dua sendok gula putih kemudian air panas. Karena terus memikirkan apa yang kira-kira terjadi di kamar sana, Bulan sampai tidak sadar ketika air panas yang ia tuangkan ke dalam gelas kelebihan hingga akhirnya tumpah ke kaki. “Hey, bodoh! Awas tumpah itu!” Arka memekik saat melihat Bulan melamun. Ha? "Auw!” Bulan baru merasakan sakit saat tersadar, buru-buru jongkok dan mengelap kakinya yang sudah memerah. “Kamu itu kenapa bodoh sekali! Itu sakit kan, pasti!” gerutu Arka seraya menyirami kaki Bulan dengan air dingin. Bulan merasakan hangat di hatinya. Arka memperhatikannya? “Untung Bintang minta air dingin tadi, jadi saya bisa liat dan bantu kamu. Bagaimana kalau tidak coba!” gerutu Arka masih belum berhenti. Mengisi kembali gelas dengan air dingin dari kulkas. Bulan hanya diam mendengarkan. Hatiku yang lebih sakit, Kak. “Buatkan saya kopi. Satu aja, Bintang hanya minta air dingin ini,” tutur Arka saat melihat dua gelas berisi teh di depan Bulan kemudian melenggang pergi.9 Dua perasaan dalam satu waktu, Bulan merasakan bahagia sekaligus sakit secara bersamaan. Bahagia karena ternyata Arka mempunyai rasa simpatik meski terkesan kasar. Tetapi juga sakit karena ternyata Bintang adiknya lebih di perhatikan. Lihatlah? Arka sampai rela berjalan dan turun tangga hanya untuk mengambil air dingin untuk Bintang. Padahal Bulan melihat sendiri Arka berjalan kesusahan tadi. Seindah itu ya dicintai. Boleh tidak, Bulan meminta suaminya mencintai dirinya. Seperti dia yang mencintai suaminya dengan tulus. Eh apa tadi katanya? Dia mencintai Arka? Ah, entahlah. “Bulan!” teriak Arka membuat Bulan terkesiap, buru-buru mengganti gelas dan membuat satu kopi. Tak lupa juga cemilan ringan buatannya. Langkah Bulan melambat saat mendengar tawa lepas dari ruang keluarga. Kedua sejoli itu sedang duduk berdampingan di ruang keluarga. Mata Bulan tak sengaja menangkap tangan Arka yang mengelus gemas rambut Bintang yang membelakanginya. Angin seolah menyadarkannya, Bulan tersenyum dan mendekat setelah menyiapkan hati. “Ini, silahkan diminum.” “Tunggu!” ucap Arka saat melihat Bulan hendak pergi. “Ya, Kak?” Belum menaikkan kepala. Bintang mendekat dan menarik kakaknya untuk duduk. “Kakak disini saja, bantu kami rancang kegiatan. Oh iya, aku juga rekomendasiin kakak untuk pembacaan qori di awal. Apa kakak mau?” tanya Bintang dengan wajah berbinar. Sangat berbeda saat pertama kali datang. Begitu juga dengan Arka, pria itu juga terlihat lebih bahagia dengan senyumannya. Senyum manis yang tidak pernah Bulan lihat sebelumnya. Ada apa ini? Mereka tersenyum bahagia setelah bertemu? Bulan merasa minder, ia merasa tersingkirkan. Apalagi pada posisi Arka dan Bintang yang memang sangat di hormati di sekolahan meski sudah lulus. Ya, Arka dan Bintang memang terkenal dengan alumni cerdas dan terpandang. Jadi wajar saja mereka di percaya mengelola acara ini. “Boleh!” satu kata Arka membuat Bintang tersenyum lebar. “Kakak tidak perlu khawatir, Arka juga pintar mengaji lho. Nanti Arka yang akan ajarkan. Kan, Ka?” “Iya!” jawab Arka seraya melirik Bulan, Bulan menunduk. Sangat cukup jelas dari sini. Bintang mampu membuat Arka tersenyum, bahkan hanya dengan pertemuan. Bintang juga mengetahui Arka pintar ngaji, sedang dia tidak. Dan apa ini? Bintang memanggil suaminya dengan Arka? Terkesan tidak sopan memang. Apalagi pada kakak ipar. Tapi ah, ya! Dia lupa, Arka kan kekasihnya, bukan kakak iparnya. Cukup lama Bulan duduk di sana, hanya mendengarkan dengan sesekali mengangguk. Bulan tidak kuat lagi. Apalagi saat Arka terus melakukan sentuhan tangan dengan sengaja. Meski Bintang selalu menolak, tetapi tetap saja membuat Bulan risih dan tidak enak. Untung kumandang adzan terdengar. “Sudah dzuhur, aku ijin pamit dulu,” tutur Bulan langsung pergi. Gadis itu masuk ke kamar dan menutup pintu. Menyandarkan tubuh di pintu bersamaan dengan air matanya yang sudah keluar. Benar kata orang, dicintai dan mencintai adalah dua definisi yang berbeda. Lebih enak dicintai daripada mencintai. Terdengar egois emang, tapi setidaknya kita mencintai hati kita. Tidak membuatnya luka. Sedangkan jika kita mencintai, bukan hati saja yang terluka. Semua hidup dan duniamu aku yakin akan hancur berkeping-keping. Bulan masuk kedalam kamar mandi. Membersihkan tubuh dan menggelar sejadah saat sudah berwudhu, melaksanakan sholat dan di tutup berdoa. “Terima kasih sudah bantu saya panggil Bintang,” tutur seseorang dari arah belakang. Bulan menoleh, tubuh Arka sudah ada di belakangnya. Kapan dia masuk kamar? Entah. Bulan hanya mengangguk, menatap kepergian pundak itu dengan tatapan sendu. Berkat Bulan, Bintang mau kerumah dan menemuinya. Bintang bahkan membantunya merancang kegiatan gebyar akbar yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Tidak ada penolakan dan pengusiran seperti biasanya. Bintang bertingkah seperti gadisnya seperti biasa. Sedikit jutek memang, tapi setidaknya Arka bisa melihat gadis itu dari dekat sekaligus membuktikan jika dia dan Bulan tidak pernah ada apapun selain pernikahan konyol yang memang akan berakhir suatu saat nanti. Bersambung….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD