Pertemuan dua keluarga

1247 Words
"APA?" Suara kedua putri Haji Abdullah memekik tak tertahan. Bagaimana tidak? Sang Abah mengatakan akan menikahkan putrinya pada teman lamanya. Pria berpendidikan yang memiliki sifat baik, pintar, dan kaya. Memenuhi janji sang sahabat yang sudah menjodohkan putra putri mereka sejak dulu. Bukan soal baik, pintar, dan kaya. Masalahnya, mereka saja belum menyelesaikan pendidikan SMA. Belum lagi pendidikan S1, S2, dan S3. Masih panjang perjalanan mereka. Arghh ini tidak benar! "Aelah, Bah! Bercandanya nggak lucu, deh. Kita kan masih sekolah, masa udah di nikahin. Lagi pula, ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi, Bah. Kami hidup di zaman milenial yang apa-apa serba canggih. Kami bisa menentukan hidup kami sendiri dengan baik," ujar Bintang sedikit tidak terima. Keputusan ayahnya kali ini keliru. Sedang Bulan hanya diam saja, duduk termenung menatap Abah dan uminya. Abah tak menjawab, hanya menghembuskan nafas lelah. Benar apa yang dikatakan putri bungsunya, mereka masih mengenyam pendidikan, tidak seharusnya dia menikahlah mereka. Namun, pernikahan ini juga penting. Melihat ayah tak kembali menyanggah, Bintang segera beranjak. "Kalau tidak ada yang mau di bicarakan lagi, Bintang pamit ya, Bah, Mi," tutur Bintang sopan kemudian berbalik menuju kamar. Abah dan umi mengangguk, kemudian menatap putri sulung mereka yang masih terdiam. Abah memang sengaja membiarkan Bintang undur lebih dulu. karena perjodohan ini memang di peruntukan untung Bulan. Putri pertama keluarga mereka. "Apa kamu menerimanya, Nak?" Suara Abah membuyarkan lamunan Bulan kali ini. Lamunan dimana Bulan memikirkan wajah yang belum lama ini mengganggu konsentrasinya. Wajah itu begitu tampan dan mempesona, tapi sangat Arrogant terhadap nya. Awalnya Bulan berniat mencintai pria itu diam-diam, menerima seluruh konsekuensi apapun setelahnya. Namun, Bulan mengubur kembali niatnya itu dalam-dalam. Sepertinya Tuhan begitu menyayanginya. Selain terasa mustahil, mungkin karena Tuhan sudah menyiapkan pria lain. Yaitu perjodohan ini. "Apa ini harus terjadi, Bah?" tanya Bulan lirih, sangat berbeda dengan Bintang yang selalu bersikap tegas. Abah dan Umi saling pandang, merasa kasihan pada putri mereka. Apalagi Bulan berkata ingin melanjutkan pendidikan di Cairo. Mendalami ilmu agama mengikuti jejak sang Abah. "Jika kau tidak ingin ... Abah bisa membatalkannya." Rasanya ucapan Abah sangat menyesakkan. Selain mencoreng nama keluarga, bukankah Abah juga akan di cap sebagai Pemimpin Pondok pesantren yang Munafik. Tidak memenuhi janjinya. Akan ada banyak ucapan tidak mengenakan yang di dengar para santri. Apalagi temannya Abah ini orang terpandang, bisa melakukan apapun. Tidak menutup kemungkinan jika mereka menutup pondok pesantren ini karena sakit hati kan? "Tidak, Bah. Bulan mau kok, Bulan akan menerimanya," ucap Bulan membuat Ayah dan Umi terkejut sekaligus bahagia. Bulan memang anak baik, tidak banyak menuntut dan pembangkang. "Terima kasih, Nak. Abah pastikan kamu masih bisa belajar walau sudah menikah," tutur Abah diiringi senyum mengembang di wajahnya. Bulan hanya mengangguk, tidak tahu benar atau tidak dengan keputusannya ini. Yang ia pikirkan, hanya tentang janji ayah yang harus terpenuhi dan pernikahan yang suci. Bukankah tidak ada yang salah jika ia menikah? mengingat ia sudah akhir baligh. Ya walau pendidikan hambatannya, cukup menutupinya dan berjalan seperti biasa. Entahlah, Bulan berharap semuanya akan baik-baik saja. "Apa kamu tidak bertanya siapa calonmu, Nak?" Ibu baru mengeluarkan suaranya kali ini, menatap putri yang sudah ia urus selama 18 tahun itu dengan iba. Bulan tersenyum. "Bukankah itu artinya Bulan tidak mempercayai, Abah?" ucapan Bulan membuat kedua orang tuanya heran. "Maksudmu, Nak?" "Abah, Umi. Bulan sudah lahir dan di besarkan oleh kalian dengan baik, jadi Bulan menganggap perjodohan ini sebagai petunjuk Allah dan bentuk bakti Bulan pada Kalian. Lagi pula, Bulan yakin Abah tidak akan menikahkan aku pada aki-aki, kan?" ucapan terakhir Bulan membuat abah dan umi terkekeh. "kamu ini! Tentu saja tidak. Abah yakin kamu akan menyukainya!" Memeluk kedua wanita yang duduk di sampingnya itu dengan bahagia. *** Gemerlap lampu bertabur indah di tengah kegelapan. Memanipulasi keindahan di tengah ketakutan. Arka menatap ponselnya gusar. Terlebih lagi saat Bintang menghubunginya. "Siapa yang nelpon? Kenapa tidak di angkat?" tanya Kakek yang duduk di samping Arka. Saat ini, mereka sedang duduk di mobil, menuju rumah gadis yang akan dinikahkan dengan Arka. Setelah permintaannya di rumah sakit tempo hari, kondisi kakek semakin lemah. Tidak ada pilihan lain untuk Arka selain memenuhi permintaannya. Menikah dengan gadis pilihan kakek. "Bukan siapa-siapa, Kek," jawab Arka diiringi senyum paksa. Kakek hanya mengangguk kemudian kembali sibuk pada i-padnya. "Jimmy, sudah ku bereskan semuanya. Kau hanya tinggal mengganti semuanya atas nama Arka jika dia sudah akad nanti," ucap Kakek serius. Paman Jimmy mengangguk dengan seraya melirik Arka yang saat ini sudah membuang pandangan. Arka tidak begitu tertarik perihal warisan yang kakek janjikan. Arka menerima pernikahan ini atas dasar demi kesembuhan kakek. Perihal seluruh harta, perusahaan dan harta lainnya. Arka menganggap itu sebagai hadiah. Maafkan aku. Lirih Arka menggenggam erat ponsel hingga urat-urat di tangannya terlihat. Kecupan singkat Bintang membuat Arka merasakan sakit lebih dalam. Kecupan pertama yang membuat seorang Arka tidak bisa tidur selaman. Malam Minggu ini, seharusnya dia habiskan bersama kekasihnya, Bintang. Tapi semua rencananya gagal total. Arka bahkan tidak berani menemui Bintang di sekolahan tadi karena tidak ingin sampai Bintang bertanya ada apa dengan dirinya. Mobil berbelok, membuat Arka langsung sigap ke jendela. “Apa kita tidak salah jalan, Kek?” tanya Arka membuat Kakek dan paman Jimmy kerkerut. “Tidak, Tuan. Ini betul alamatnya,” jawab Paman Jimmy sopan. Arka kenal betul jalan ini. Hatinya ketar-ketir, apalagi saat paman Jimmy sudah menghentikan mobilnya tepat di depan rumah dua lantai yang banyak dengan tanaman hijau. “Apa ini rumahnya, Kek?” tanya Arka dengan wajah binar. Sangat berbeda dengan pertama kali mereka berangkat. “Iya,” jawaban satu kata Kakek membuat Arka langsung berbunga-bunga sekaligus bahagia. Ingin sekali dia meloncat-loncat, memeluk kakek dan berteriak senang. Pantas saja Bintang menelponnya sejak tadi, mungkin dia ingin memberitahu soal perjodohan ini. Maafkan aku karena tidak menerima teleponmu, tapi aku akan memberi kejutan padamu, sayang. Gumam Arka semangat. Kakek memberitahu jika Arka ataupun calon istrinya tidak tahu nama calon mereka masing-masing. Itu sebabnya Arka juga tidak di beritahu siapa nama calonnya. “Andai saja dari awal Kakek bilang siapa calonnya, Kakek tidak perlu sampai berbusa meminta Arka menikah,” ucap Arka sambil membuka pintu lebih dulu membuat Kakek dan Paman Jimmy semakin keheranan. “Kau tahu rumah ini?” pekik Kakek tak menyangka. “Tentu saja. Arka bahkan tahu betul gadis cantik pemilik rumah ini,” ucap Arka membuat Kakek dan Paman Jimmy menghembuskan nafas lega. “Oh, ya! Syukurlah kalau begitu.” Kakek tidak bisa berkata-kata lagi. “Ayo masuk! Anggap saja rumah sendiri,” tutur Arka membuat Kakek dan Paman Jimmy terkekeh. “Bocah Muda sekarang!” Keluarga Arka di sambut dengan sangat baik dan ramah oleh Keluarga Haji Abdullah. Di temani istrinya, pria berpeci putih itu mengobrol ringan dengan sang Kakek. Membicarakan banyak hal tentang masa depan calon pengantin. Mereka sepakat akan mengadakan ijab qobul satu hari setelah Arka dan Bulan lulus sekolah. “Apa kamu setuju, Nak?" tanya Abah yang langsung di jawab anggukan cepat oleh Arka. Dua keluarga itu tersenyum senang. Karena dilihat dari wajah dan antusiasnya, sepertinya Arka setuju dan bahkan sangat bersemangat. “Tuan Abdullah, apa aku belum di perbolehkan melihat calon cucu mantuku,” tanya kakek membuat Arka langsung terkesiap. Nah bener! Kenapa nggak dari tadi sih, Kek! Gumam Arka tak sabaran. “Oh ya hampir lupa." “ Nak! Kemarilah.” Arka beranjak, kepalanya sampai condong karena tak sabar melihat wajah cantik yang sejak pagi ia rindukan. Dia pasti terlihat lebih cantik dan mempesona malam ini. Hingga akhirnya kedua kaki kecil menapak di ruang tamu, semua melempar senyum bahagia kecuali Arka. Wajah tak sabaran, senang dan antusiasnya menghilang seketika. “Lo?” “Kamu?” Bersambung….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD