Peringatan!

1169 Words
Ketika ketidak nyamanan telinga masih bisa di terima, lalu apa yang bisa dilakukan jika ketidak nyamanan hati mulai terguncang. Belum selesai Bulan merapihkan kembali hatinya. Hal lain yang lebih mengejutkan datang menyapanya, tidak mengorek luka lebih tepatnya. "Kamu pikir kami siapa bisa bertingkah seenaknya, hah!" Baru saja Bulan hendak masuk ke dalam rumah, Arka datang dan mendorong pundaknya. Membuat gadis kecil itu terhempas sampai terbentur dinding. "Maksudnya, kak?" "Maksad, maksud. Maksad, maksud. Kamu pikir saya bodoh! Kamu deket-deket dengan si i***t itu agar kakek saya murka, kan? Terus orang tua kamu ngadu ke kakek saya kalau saya tidak becus jagain kamu!" ujar Arka dengan suara tinggi. Bulan menggeleng tak kuasa. Tuduhan macam apa ini? Sungguh, Bulan sama sekali tidak ada niatan apapun dekat dengan Elliot. Lagipula, bukankah Arka tahu jika Elliot adalah temannya dan selama ini dia biasa saja. Tapi kenapa baru sekarang Arka marah? "Kak ... kakak salah faham," tutur Bulan lirih. Dituduh seperti itu membuat Bulan sangat sedih. Tapi Bulan tidak kuasa menjelaskan apapun. "Salah faham kamu bilang? Kamu pikir saya bodoh, hah!" "Kamu, tau? Gara-gara ulah bodoh kamu, saya harus ngajak kamu ke rumah kakek dan Abah setiap seminggu tiga kali!" Ha? Bulan terperanjat, untuk apa? "Ngga usah sok kaget, kamu! Seneng kan, saya bawa-bawa," ketus Arka sangat pedas. "Demi tuhan! Saya lebih baik bawa anak kucing saya dari pada bawa-bawa kamu!" Hina Arka dan tanpa disangka terdengar oleh kakek yang ternyata masih di luar. Dan tanpa basi-basi kakek itu masuk dan menggampar cucunya. Plak! Arka maupun Bulan terkejut. Bukankah kakek sudah pulang sejak tadi? Bagaimana bisa kakek masih ada disini. Apa kakek mendengarkan semuanya? "Kakekkk." Suara Bulan bersendu lirih. Membuat kakek tak kuasa dan menghampiri gadis itu. "Maafkan kakek, Bulan. Maafkan kakek sudah membawa kehancuran bagimu," tutur kakek seraya memeluk Bulan. Bulan merasa sangat disayang. Ia terima pelukan hangat itu. Namun dengan cepat mengurai dan menatap pria paruh baya itu sendu. "Apa maksud kakek? Apa teriakan kak Arka tadi kakek sebut kehancuran?" tanya Bulan membuat dahi kakek berkerut. "Tentu saja. Bukankah ini kebiasaan Arka terhadapmu? Menyakiti dan mengata-ngataimu dengan ucapan kotor itu?" "Kakek ini bicara apa?" "Kak Arka sedang berlatih. Dengan aku obyeknya!" Mengaranglah! Ayo mengarang lebih pantas lagi. Kakek terperanjat, begitu juga dengan Arka. Tidak menyangka jika gadis bodoh itu bisa mengarang juga. Ya meski bodoh sih! "Benarkah?" "Ya. Bukankah kata kakek Kak Arka harus bisa lebih mengekspresikan diri dan pendapatnya?" tanya Bulan dengan senyum mengembang. Kakek mendelik, menatap cucunya yang sejak tadi hanya menundukan pandangan. "Katakan! Apa itu benar, Arka!" sentak kakek dengan tegas. Sangat berbeda ketika bicara dengan Bulan. Arka tidak menjawab, malah Bulan yang menjawab. "Benar, Kek." "Dan sekarang kami lelah. Kami mau istrirahat. Tidakkah kakek lelah karena acara gebyar dan pertemuan keluarga tadi? Ayo Bulan antar ke mobil." Maafkan Bulan telah berbohong, Kek. Tapi Bulan tidak ingin kalian bertengkar hanya karenaku. "Tapi, Nak." Sebenarnya kakek sedikit curiga, tapi melihat Bulan yang sepertinya biasa saja membuat Kakek pasrah. "Baiklah, kau istirahatlah, sayang!" "Siap, Kek!" Bulan mendekat, membisikkan sesuatu di telinga pak tua itu, "Bulan akan segera menjalankan misi proyek itu, kek," bisik Bulan membuat kakek langsung sigap. "Oh, iya! Baguslah. Tidur sana. Ajak suamimu dan bergelutlah," ucap kakak membuat Arka dan Bulan menganga dan saling tatap. Kata apa itu? "Ah, ya!" meski bingung Bulan tetap menjawab. Mengantar kakek ke mobil dan menyalaminya. "Selamat beristirahat, kakekku!" "Selamat beristirahat juga, sayang," jawab Kakek ramah. Tak lupa ia kecup kening gadis polos yang telah menerima cucunya itu. "Ingat! Tampar saja Arka jika dia menyakitimu. Kau tahu, aku tidak akan memberi ampun pada siapapun yang menyakiti istri cucuku!" ujar Kakek membuat Bulan terkekeh dengan kata serius nya, sedang Arka hanya mendelik tanpa kata. Setelah kepergian kakek, Bulan bergegas masuk hendak menjelaskan. Namun baru saja beberapa detik gadis itu hendak bicara, Arka sudah membuang wajah, acuh. Kemudian naik ke lantai atas meninggalkan Bulan. "Kak," ujar Bulan seraya menghela nafas saat pintu kamar Arka tertutup tepat di depan wajahnya. Maafkan Bulan, kakak pasti semakin membenci bulan karena kebohongan ini Sendu Bulan seraya melangkahkan kakinya menuju lantai dasar. Sedang Arka menghantamkan tangannya ke dinding. Dia muak, juga benci drama ini. Arka benci kehidupannya, keluarganya, dan juga semua yang ada pada dirinya. Tidak ada kebahagiaan dan kasih sayang. Hanya tekanan dan kepura-puraan. Itulah yang Arka jalani selama ini. Sebenarnya Arka tidak terlalu marah pada Bulan karena hal tadi, ia justru ingin berterima kasih karena si cupu itu telah melindunginya. Tapi disisi lain, kenyataan Arka ditolong Bulan semakin membuat Arka membenci gadis itu. Semakin membuktikan bahwa dia lemah dan pasrah. Tidak berkekuatan dan juga pecundang. Ya, dia pecuncang. Karena jika tidak, Arka pasti sudah melawan dan menentang pernikahan konyol ini, kan? Bukan malah menerima dan pura-pura bahagia. Ck! Arka membenci dirinya sendiri. *** Keesokan harinya, Bulan sudah berdiri di depan pintu kamar Arka. Gadis itu ingin meminta maaf dan bersedia menerima hukuman apapun atas perbuatannya. Namun semakin lama kakinya semakin pegal. Semut-semut yang menggrogoti kakinya juga sepertinya sudah beranak dan bercucu saking lamanya. "Mungkinkah kak Arka tidur?" tebak Bulan mengingat ini adalah hari libur. Bulan memberanikan diri mengetuk pintu. Takut pria itu kesiangan dan malah lebih marah nantinya. "Kak!" Tidak ada jawaban. Bulan mengulang ketukannya, memanggil nama pria itu dengan lebih keras. "Kak Arka?" tetap tidak ada jawaban. Bulan mulai gusar, takut Arka melakukan hal gila setelah di tampar kakek kamarin. Seperti yang dia lakukan dulu ketika Bintang putus. Mabuk berat hingga mengahncurkan kamar. Tanpa pikir panjang Bulan membuka paksa pintu yang ternyata tidak terkunci itu. Saking kencangnya Bulan sampai jatuh sendiri ke lantai. Oh memalukan! Bulan berharap Arka tidak tahu atau tidak melihatnya. Beberapa detik bulan tertunduk menunggu teriakan Arka yang memarahinya karena telah lancang masuk. Namun di beberapa detik itu tidak ada apapun membuat Bulan akhirnya menggangkatkan kepala. "Kak?" Dicarinya siluaet itu. Kesana kemari. Tapi tidak ada. Hanya ada secarik kertas di atas kasur yang bersih dan rapi. Dengan segera Bulan meraih dan membacanya. 'Kebahagiaan itu sederhana. Tapi tidak mudah di dapatkan meski oleh orang kaya. Saya Arka Arzen Prasetya, menanti kebahagiaan itu dan akan mencarinya' sepenggal kata itulah yang tertulis disana. Bulan menatap dalam-dalam kata tiap kata dalam kalimat itu. Tunguu, mencari? Pergikah maksud dari mencari itu? Buru-buru beranjak dan mengecek lemari. Benar, semua baju dan keperluarluan Arka sudah tidak ada disana. Bulan panik, mencari kesana kemari. Tapi tak lama ponselnya berdering, dari Arka. "Saya pergi! Kamu tidak perlu cari saya karena kita bukan suami istri sungguhan. Saya akan pulang kalau saya mau. Dan kamu tetaplah di rumah itu kalau mau saya dan keluarga kita baik-baik saja." tutututtt, sambungan terputus. Bulan tidak diberi waktu bicara sekata pun. Hanya mendengar dan menerima apa yang Arka sampaikan. Gadis itu menghela nafas. Menatap selembar kertas itu dengan sendu. Serumit inikah berumah tangga? Sungguh, ini terlalu menyakitkan. Entah hati bulan yang tidak teguh, atau ujian tuhan yang terlalu tangguh. Bulan tidak tahu. Namun satu hal yang pasti Bulan akan disini sendiri, menanti Arka yang entah kapan akan kembali. "Kak Arka, sebegitu bencinyakah kau padaku?" tutur Bulan seraya meneteskan air matanya. Tak lupa juga ia kecup kertas itu dan disimpannya baik-baik. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD