Aku bergeming cukup lama sebelum pria yang sedang berdiri di hadapanku ini berdeham dan menyetakku dari lamunan hingga semua yang berada di dalam otakku tadi kini buyar nggak bersisa.Walaupun keningku berkerut karena nggak mengerti dengan maksud dari kalimat pria itu, tetapi aku memutuskan untuk menyebutkan dua belas digit nomor ponselku sesuai dengan permintannya.
"Siapa nama kamu?" tanya pria itu setelah menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celana.
Di dalam benakku masih menerka-nerka, apa maksud dan tujuan pria itu menanyakan nomor ponsel dan namaku. Aneh sekali rasanya, apalagi di ulang tahun temanku seperti ini. Terlebih lagi, rupanya yang terlalu elok membuatku tambah curiga mengenai motif yang dimiliki pria itu.
Jadi, untuk mengakhiri tatapan penuh tanya dari beberapa temanku yang masih berada di sini, aku memutuskan untuk segera memberikan apa yang pria itu minta. Lagi pula, nomor ponsel dan nama bukan sesuatu yang terlalu serius, bukan?
"La—laluna ... Laine," jawabku dengan gumaman yang terbata-bata dengan sedikit keraguan di dalam kalimatku.
Apakah yang sedang kulakukan ini benar? batinku bertanya pada diri sendiri di dalam hati. Entahlah, aku nggak ingin terlalu memikirkannya.
"Nama yang bagus," puji pria itu dengan senyuman kecil yang terpatri di bibirnya. "Aku Ezra, senang bertemu denganmu," lanjut pria yang bernama Ezra itu dengan senyum yang masih setia terukir di bibirnya sampai-sampai mata pria itu ikut melengkung seperti bulan sabit.
"Kalau begitu ... aku udah harus pulang," ujarku setelah menganggukkan kepala. "Selamat tinggal," lanjutkku sebelum membalikkan tubuh dan berlalu dari hadapan Ezra.
Sebelum aku benar-benar berlalu dari hadapan pria itu, terdengar sekilas suara Ezra yang berkata, "Sampai jumpa lagi!"
Percaya diri sekali pria itu sampai-sampai yakin kami akan berjumpa lagi, cibirku di dalam hati yang diiringi dengan dengusan sebelum berjalan menuruni tangga untuk menuju ke tempat parkiran motor.
Selama perjalanan pulang dengan motor Vespa-ku, di dalam benakku masih memikirkan apa yang baru terjadi beberapa saat yang lalu.
“Ezra, ya ...,” gumamku sembari mengemudikan motor dan ditemani oleh semilir angin yang menerpa wajah.
“Lumayan tampan, sih, tampangnya. Tapi ... agak freak kelakuannya,” ujarku pada diri sendiri sambil menggelengkan kepala, diiringi dengan tanganku yang mematikan mesin motor setelah memarkirkan kendaraan itu di dalam perkarangan rumah.
*
Aku mengerang di dalam selimut sembari merenggangkan tangan ke atas saat jam weker ponselku yang berada di meja nakas berbunyi. Setelah tanganku menekan ikon bewarna jingga yang bertuliskan kata 'stop' di layar, kepalaku kemudian menoleh ke kiri untuk menatap pada jendela kamar yang terlapisi oleh gorden dan vitrase.
Dari celah gorden yang sedikit terbuka, mataku dapat menangkap suasana langit yang belum sepenuhnya cerah. Saat aku menatap pada jam dinding yang tertempel di atas lemari pakaian, jarum jam tampak baru menunjukkan pukul lima lewat lima puluh menit. Bahkan belum jam enam.
"Masih pagi banget ternyata," gumamku pada diri sendiri kemudian merubah posisi sehingga kini punggungku bersandar pada kepala ranjang.
Tanganku meraih ponsel yang berada di atas meja nakas kemudian membuka kunci layar benda pipih tersebut. Notifikasi pesan dari w******p langsung bermunculan di layar ponselku, tetapi pengirim pesan itu bukanlah nomor yang kukenal karena aku nggak menyimpan nomor itu di buku kontak. Keningku berkerut saat membaca satu per satu isi pesan yang berasal dari orang yang sama itu.
+62 878 0878 0878
Selamat pagi, Laluna
Masih ingat sama saya?
"Jam empat bahkan masih terlalu pagi untuk mengirim pesan pada orang!" cibirku ketika menemukan angka 4:12 pada pesan yang dikirim oleh orang tersebut.
Laluna Laine
Ini siapa, ya?
Baru beberapa detik pesanku terkirim, sudah tampak tulisan 'typing...' di bawah nomor ponsel yang nggak kukenali itu. Sembari menunggu orang itu mengetik, aku bangkit dari posisi dudukku kemudian menghidupkan lampu kamar agar suasana kamar ini lebih terang.
Ting!
Ting!
Ting!
Suara tanda pesan masuk terdengar dari ponselku. Sembari membaca isi pesan tersebut, kakiku melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk melakukan ritual pagi.
+62 878 0878 0878
Ini aku, Ezra.
Aku jemput kamu, ya? Kita sarapan bareng.
Oh, ya. Jangan lupa save nomor aku juga, ya.
“Oh, ternyata dia toh,” gumamku. Aku kembali mengerutkan kening dengan mata yang memicing ketika mendapati ajakan sarapan dari pria yang tadi malam aku temui, Ezra.
Secepat inikah pria itu mengajakku sarapan? Padahal tadi malam kami baru bertemu, batinku di dalam hati sembari meraih sikat gigi dari gelas kumur berbahan kaca bening.
Aku mengetikkan beberapa kata pada kolom pesan setelah berkumur, Namun, jari jempolku segera menghapus hasil ketikan itu beberapa detik kemudian dan meletakkan ponselku di atas meja wastafel. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mandi saja daripada membalas pesan dari pria itu.
"Kalau aku nggak balas, pasti pria itu nggak akan menggangguku lagi," gumamku pada diri sendiri sembari menggosok tubuh dengan spons yang sudah dilumuri dengan sabun cair.
*
Aku keluar dari kamar mandi setelah memakai seragamku dengan lengkap. Rambutku yang masih basah dibungkus dengan handuk agar bagian belakang seragamku nggak basah karena tetesan yang berasal dari ujung rambut.
Tanganku baru saja hendak mencolok ujung pengering rambut pada colokan listrik, tetapi suara deringan ponsel menghentikan pergerakanku. Aku mendengus kesal dan menerima panggilan itu tanpa melihat nama penelepon terlebih dahulu.
"Halo?" sapaku dengan nada suara yang dibuat sedatar mungkin agar penelepon ini nggak tahu kalau aku kesal dengan panggilannya ini karena menginterupsi acara siap-siapku.
"Halo, Laluna. Aku udah di depan rumah kamu, ya."
Ponsel yang berada di genggamanku hampir saja meluncur jatuh dan menubruk lantai kalau saja aku nggak memiliki refleks yang baik. Mataku pun membelalakkan setelah mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut si penelepon tersebut. Dengan pandangan ngeri, aku menjauh ponselku sedikit dari telinga dan menemukan deretan nomor cantik yang aku ingat siapa pemiliknya. Ezra!
"Eh ... gimana, gimana? Ka—kamu udah di depan rumah aku?" tanyaku terbata-bata.
"Iya, di depan rumah kamu. Aku tunggu di bawah, ya."
Bip!
Setelah berkata demikian, Ezra langsung mematikan sambungan telepon itu tanpa menunggu balasanku terlebih dahulu. Jari-jariku segera mengetikkan sesuatu pada kolom pesan w******p kemudian mengirimkannya pada Ezra. Aku meminta pria itu menungguku untuk mengeringkan rambut sebentar. Sebenarnya ulah Ezra ini meresahkan sekali. Namun, aku juga nggak enak hati jika harus mengusir pria itu.
"Dari mana pula dia bisa dapat alamat rumahku?" gumamku sembari mengeringkan rambut dengan cepat. "Jangan-jangan dia ada kenalan intel atau mata-mata lagi," lanjutku menerka sembari mengeringkan rambut.
Untungnya, rambutku nggak terlalu panjang dan tebal sehingga proses pengeringannya pun nggak memakan waktu yang lama. Dengan segera, aku menyambar tas sekolah kemudian mematikan saklar lampu sebelum aku menutup pintu kamarku dan menuruni anak tangga ke bawah.
Saat aku keluar dari rumah, Ezra tampak sudah menungguku dan bersandar pada badan mobil sport-nya yang berwarna merah mengilap. Mobil itu tampak mencolok saat terparkir di depan rumahku yang kecil ini. Beberapa penghuni komplek yang lewat pun memandangi mobil sport merah itu dengan saksama layaknya baru pertama kali melihat mobil mewah seperti itu. Ya, sebenarnya ada benarnya juga. Sepertinya ini adalah mobil mewah pertama yang pernah bertandang ke komplek perumahan sederhana seperti ini.
"Pagi, Laluna,” sapa Ezra. “Udah siap?" lanjutnya pria itu bertanya ketika aku sudah menutup pintu gerbang rumah dan berdiri di hadapannya.
Aku menatap Ezra sejenak lalu menganggukkan kepala dengan ragu. Pria ini benaran mau antar aku pakai mobil Lamborghini ini? batinku bertanya di dalam hati.
"Kita ... na—naik ini?" tanyaku sembari menunjuk pada mobil Lamborghini yang sedang disandari oleh tubuh Ezra.
Pria itu lantas mengangguk tanpa keraguan kemudian bertanya, "Kenapa?"
"A—apa ini nggak terlalu ... berlebihan?" tanyaku lagi dengan suara yang terbata-bata.
Ezra terkekeh ringan mendengar pertanyaanku seakan itu adalah sebuah lelucon yang lucu dan patut untuk ditertawakan. "Nggaklah. Santai aja, Lun," ujar Ezra menenangkan.
"Ayo, masuk," lanjut pria itu sembari membukakan pintu mobil bagian penumpang untukku.
"Terima kasih," gumamku sebagai balasan atas perlakuannya yang baru saja ia berikan.
Ezra lantas berjalan memutari mobilnya setelah menutupkan pintu untukku. Kini, pria itu sudah duduk di balik kemudi dan siap untuk menjalankan mobilnya untuk membelah jalan raya.
Bokongku langsung merasakan keempukan tempat duduk mobil mahal ini ketika aku menempatinya. Mataku meneliti satu per satu interior yang ada di dalam Lamborghini ini. Di antara kursi penumpang dan pengemudi, ada sekat sebuah pemisah yang berupa tombol pengatur suhu, radio, dan persneling. Bagian unik dari mobil ini ada pada bagian persnelingnya karena berbeda dengan persneling mobil pada umumnya yang berbentuk tangkai, perseneling Lamborghini ini hanya berupa tombol-tombol yang bertuliskan abjad di atasnya.
"Badan kamu rileks aja, Lun. Nggak perlu kaku begitu," ujar Ezra yang tiba-tiba membuka percakapan.
Aku hanya mampu tersenyum tipis sebagai balasan atas ucapan pria itu. Mana bisa aku duduk rileks di dalam mobil yang harganya milyaran seperti ini?! Kalau sampai ada yang rusak nanti, gimana cara aku menggantinya? Menjual ginjalku? gerutuku di dalam hati tanpa berani menyuarakan kalimat itu pada pria yang sedang mengemudi di sebelahku itu.
"Kamu masuk jam 8 'kan hari ini?" tanya Ezra sembari menatapku sekilas.
"I—iya. Kok kamu bisa tau?" tanyaku dengan gumaman di akhir kalimat.
Ezra kembali terkekeh. Memangnya ada yang lucu di sini? batinku bertanya dengan kening yang sedikit berkerut.
"Laluna, aku bukan orang jahat yang akan culik kamu. Jadi, santai aja, ya. Jangan tegang begitu," jelas Ezra.
Memangnya tubuhku sekaku apa, sih, sampai-sampai pria itu bisa tahu kalau aku sedang merasa tegang? batinku bermonolog.
"Masalah aku tau tentang dirimu, itu adalah rahasia. Aku nggak akan membuka mulut tentang itu," lanjut Ezra dengan senyum yang terpatri di bibirnya.
Sebenarnya mulutku sudah hendak melayangkan protes pada Ezra. Namun, aku memilih untuk menahannya lagi-lagi karena merasa nggak enak hati dengan pria itu. Aku berharap, ini adalah pertemuan terakhir kami setelah ini karena aku nggak ingin berurusan dengan pria borjuis sepertinya lagi.
*
Jam baru menunjukkan pukul tujuh ketika mobil yang dikendarai oleh Ezra berhenti di sebuah kedai bubur yang jaraknya nggak begitu jauh dari sekolahku. Seingatku, teman-temanku pernah bilang kalau kedai bubur ini sangat terkenal dan akan menjadi sangat ramai pada jam-jam tertentu. Namun, harganya yang selangit membuatku nggak pernah mencoba bubur yang dijual di kedai ini. Hanya untuk semangkuk bubur aja, aku harus menghabiskan kocek tujuh puluh ribu yang mana itu sudah bisa menjadi uang makanku untuk tiga hari ke depan.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Ezra dengan tamgan yang menyodorkan buku menu padaku. Tanpa melihat buku menu itu, aku menjawab, "Eh ... samain aja sama kamu.”
Ezra lantas menganggukkan kepalanya dan menarik kembali sodoran buku menu dari hadapanku. Toh, untuk apa juga aku melihat buku menu itu, ‘kan? Percuma juga kalau aku meneliti hidangan per hidangan yang ada di buku itu karena pada kenyataannya, semua harga makanan yang tertera di sana pasti akan menyakiti dompetku.
Nggak berapa lama, seorang pelayan yang membawa buku kecil dan pulpen di tangannya menghampiri kami.
"Mau pesan apa, Mas, Mbak?" tanya pelayan itu.
"Bubur ayam komplitnya dua sama teh manis hangatnya dua juga," jawab Ezra tanpa membuka buku menu yang tadi disodorkannya padaku. Tampaknya pria itu sudah sering datang ke kedai ini sampai-sampai bisa hafal dengan makanan yang ada di sini.
Setelah pelayan itu pergi dari hadapan kami, Ezra beralih menatapku. "Kamu masih kelas 1 SMA, 'kan?" tanya Ezra.
"Iya. Kenapa?"
"Jadi, nanti kamu mau kuliah di mana?" tanya pria itu lagi sembari menumpukan tangannya di atas meja.
"Hmn ... belum tau, sih. Mungkin langsung kerja atau ... kuliah di universitas negeri aja karena aku nggak sanggup kalau di swasta," jawabku dengan gumaman pada akhir kalimat.
Ezra tampak ingin membalas ucapanku. Namun, kalimat pria itu tertahan di ujung lidahnya ketika seorang pelayan datang membawa sebuah nampan di tangan dengan dua mangkuk bubur dan dua gelas teh di atasnya.
"Silakan menikmati, Mas, Mbak," ujar pelayan itu sembari memindahkan makanan pesanan Ezra ke atas meja kemudian pergi meninggalkan kami.
"Ayo, dimakan. Nanti keburu kamu telat loh," ujar Ezra yang sudah bersiap menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulutnya.
Aku mengangguk dengan gerakan ragu-ragu, tetapi tetap menuruti ucapan Ezra pada akhirnya. Kami makan dalam diam setelahnya. Beberapa menit kemudian, kedai ini sudah mulai tampak ramai dengan satu per satu pelanggan yang berdatangan dan lama kelamaan berubah menjadi lautan manusia. Pelayan-pelayan pu tampak hilir mudik dengan cepat untuk melayani meja yang sudah mulai terisi.
Wah, ternyata buburnya memang enak banget, batinku berdecak di dalam hati sembari menikmati sensasi kombinasi antara bubur dengan topping-nya di dalam mulut.
Pantas aja harganya mahal dan kedainya juga seramai ini, lanjutku membatin.
Saat Ezra sudah menandaskan bubur yang ada di dalam mangkuknya, pria itu kembali menatap padaku lalu berkata, "Aku ke toilet dulu, ya. Kamu tunggu di sini sebentar."
Gerakan menyuapku sontak terhenti seketika setelah mendengar ucapan pria itu. Namun, saat aku menaikkan kepala untuk menatap pada Ezra, pria itu sudah lebih dulu pergi dan berlalu dari hadapanku.
Aduh, jangan-jangan pria itu mau ninggalin aku lagi di sini? Mana bisa aku bayar semua makanan ini? Di dompetku 'kan cuma ada seratus ribu aja, batinku bermonolog di dalam hati sembari meneliti alat makan bekas Ezra yang sudah tandas dan makanan yang masih tersisa setengah porsi di hadapanku.
Sembari menyuapkan bubur ke dalam mulutku, otakku berkelana ke mana-mana. Di dalam benakku sudah memikirkan tentang skenario orang kaya yang dilakoni oleh Ezra untuk mengelabuiku kemudian pergi begitu saja meninggalkanku di sini dengan uang yang kurang.
Tapi ... masa cuma karena semangkuk bubur aja dia mau berpura-pura akting seperti itu? Lagi pula, untuk apa juga, 'kan? batinku di dalam hati dengan benak yang berpikir seraya mengunyah kacang dan daging ayam di dalam mulut.
Lamunanku buyar ketika sosok Ezra datang menghampiriku. Perasaan lega langsung menyergap hati ketika menemukan pria itu ternyata nggak meninggalkanku seorang diri dan pergi dari tempat ini. Untung saja pikiran konyolku itu nggak terjadi. Kalau sempat iya, mungkin aku harus mencuci piring di kedai ini sebagai bayaran atas makanan kami.
"Udah siap?" tanya Ezra yang sedang berdiri di sisi meja. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan pria itu setelah menyuapkan suapan terakhir ke dalam mulut.
Setelah menyeruput teh manis hangat milikku sampai tandas, aku pun bangkit dari posisi dudukku. Namun, Ezra dengan tiba-tiba menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya. Tangan besar pria itu melingkupi seluruh bagian tanganku. Dengan kening yang berkerut dan ekspresi wajah kebingungan, aku menatap pada tautan tangan kami yang entah disadari oleh Ezra atau nggak.