Thread Madness - Part 1

1452 Words
Indonesia, 8 tahun yang lalu. "Laluna, ini ada undangan untuk kamu," kata Jessica seraya menyodorkan sebuah kartu undangan yang berbentuk menyerupai tiket pesawat. Namun, kartu undangan itu didominasi oleh warna merah muda dan putih. Nama Jessica Cattaleya dan tanggal berlangsungnya acara tertera di tengah kartu undangan tersebut. Sementara pada sisi undangan itu, ada potongan yang bisa dirobek. Pada potongan itu tertera namaku dan nomor kursi yang akan kutempati nanti. "Eh, ini buat aku?" tanyaku seraya menerima sodoran kartu undangan itu dengan sedikit keraguan. Pasalnya, aku belum pernah menghadiri acara sweet seventeenth seperti ini sebelumnya karena beberapa alasan. Pertama, aku nggak memiliki satu pun teman dekat. Aku hanya berinteraksi selayaknya teman biasa dengan teman-teman sekelasku. Meskipun kami nggak bermusuhan, tapi nggak bisa dikatakan dekat juga. Entahlah, entah aku yang terlalu introvert atau memang mereka yang nggak mau berteman denganku. Alasan kedua adalah teman-teman sekelasku yang merayakan acara sweet seventeenth. cenderung lebih sering mengundang teman dekat mereka saja, bukan satu kelas yang diundang. Fakta saat mengetahui Jessica mengundangku ke acara ulang tahunnya membuatku sedikit kaget. Namun, ada juga sedikit rasa antusias karena aku belum pernah pergi ke acara seperti ini sebelumnya. "Iya, buat kamu, Lun. Jangan lupa datang, ya. Kalau sampai kamu nggak datang, aku bakal marah sama kamu pokoknya," ujar Jessica memperingatkan dengan nada pura-pura galaknya. Aku terkekeh kemudian mengangguk setuju. Toh, nggak ada alasan bagiku untuk menolak undangan ini, 'kan? Apalagi fakta bahwa ini adalah undangan ulang tahun pertamaku setelah bersekolah di sekolah ini, tentu saja aku harus menghadirinya. Jessica memang terkenal baik oleh teman-teman di antero kelas. Selain baik, gadis itu juga ramah dan nggak sombong padahal ayahnya adalah salah satu pengusaha sukses di kota ini. Bukti nyatanya adalah gadis itu yang mengundang seluruh penghuni kelas ini tanpa memandang dari status sosial orang tua mereka. "Oke, tenang aja. Aku pasti datang kok," balasku meyakinkan Jessica. "By the way, makasih loh untuk undangannya," ujarku melanjutkan sebelum gadis itu sempat berlalu dari hadapanku. * Seminggu berlalu sejak hari di mana Jessica memberikanku kartu undangan untuk acara ulang tahunnya. Malam ini, aku akan menghadiri acara ulang tahun gadis itu yang diselenggarakan di sebuah kafe yang baru saja dibuka beberapa bulan yang lalu. Setelah mandi dan membersihkan diri, aku segera membuka pintu lemari yang berisikan gaun-gaun kasual peninggalan mendiang ibuku. Daripada membeli gaun baru yang harganya selangit, lebih baik aku mengenakan gaun milik ibuku dulu, 'kan? Lagi pula, kondisi gaun-gaun itu masih sangat bagus dan layak dipakai. Bahkan setahuku, saat ini sedang trend pakaian vintage ala orang-orang zaman dulu. Tanganku meraih sebuah gaun bewarna kuning dengan motif bunga Matahari yang mengembang di bagian lengannya. Gaun itu menjuntai sampai sebatas betis dengan potongan berbentuk A line. Untungnya gaun ini muat dengan tubuhku. Bahkan, aku tampak sedikit lebih ramping saat mengenakan gaun ini. Rasa rindu pada kedua orang tuanya tiba-tiba menyusup ke dalam hati. Walaupun kepergian mereka sudah lewat setahun yang lalu, tapi aku masih saja sering merindukan mereka. Terkadang saat malam sebelum tidur pun, aku masih sering berandai-andai memikirkan bagaimana rasanya jika mereka masih berada di sini bersamaku. Sayangnya, angan-angan itu nggak akan terjadi lagi karena aku dan mereka sudah berbeda alam dan kedua orang tuaku juga pasti sudah tersenyum di atas sana. Aku menggelengkan kepala untuk mengusir perasaan yang tadi menghampiriku. Dengan cepat, aku mengikat rambut hingga membentuk sebuah bun di belakang kepala dan meraih tas kecil bewarna putih dari atas meja rias. Tanganku mengelus kalung berbentuk bulan yang tergantung di leherku sebelum meninggalkan kamar dan menutup pintu kamar tersebut. Aku memilih untuk menggunakan motor Vespa yang dibeli oleh Ayah satu tahun sebelum beliau meninggal. Lagi pula, jarak dari rumahku sampai ke tempat acara juga nggak terlalu jauh. Daripada menggunakan taksi yang ongkosnya lumayan menguras kantung itu, lebih baik aku menggunakan motor Vespa peninggalan Ayah yang bewarna merah ini, kan? * Sesampainya di kafe tempat acara ulang tahun Jessica diadakan, aku mematikan mesin motor matic ini kemudian menatap pada kartu undangan sekali lagi untuk memastikan bahwa kafe yang kudatangi ini sudah sesuai dengan yang tertera pada kartu undangan tersebut. Setelah memastikan kebenarannya, aku pun melepaskan helm dan meletakkannya di dalam jok motor sebelum berjalan masuk ke dalam area kafe. Dari eksterior kafe ini saja sudah terlihat bahwa kafe ini bukan kafe sembarangan. Baru langkah pertama aku masuk ke dalam kafe itu, mataku sudah disuguhkan oleh pemandangan interior ruangan yang menakjubkan. Dengan meja barista bermotif marble putih yang berada di tengah ruangan, sukses membuatku berdecak kagum. Bagus banget kafenya, pujiku di dalam hati. Pandanganku mengelilingi seluruh isi kafe ini dan berhenti pada sebuah titik, yaitu kursi yang berada tepat di sebelah kaca besar langsung berhadapan dengan area parkir motor tadi. Di sana tampak seorang pria yang duduk sendirian dan mengenakan kemeja batik serta celana bahan. Rambutnya di sisir rapi ke belakang dengan model undercut. Pria itu membalas tatapanku dengan pandangan datarnya yang membuatku sedikit gelagapan. Keningku sedikit berkerut dengan benak yang menerka-nerka, apakah aku mengenal pria itu atau nggak. Jangan-jangan pria itu adalah salah satu anak dari teman Ayah atau Ibu? Tapi sepertinya hal itu nggak mungkin, mengingat tampang pria itu yang terlalu mewah seperti pria kaya nan flamboyan. Semua wanita yang melirik pria itu pasti akan langsung memberikan pujian karena fisiknya yang jauh berada di atas rata-rata. Kalau di n****+-n****+ remaja yang aku baca, pria itu bisa dijuluki dengan sebutan Dewa Yunani karena wajahnya yang sangat adonis. Akhirnya, aku memberikan seulas senyum yang sangat tipis—hampir nggak terlihat pada pria itu sebelum memutuskan kontak mata kami. Seorang wanita berseragam pelayan datang menghampiriku kemudian bertanya, "Mbak mau dine-in atau take away?" "Mau ke acara ulang tahun, Mbak," jawabku sembari menyodorkan kartu undangan pada pelayan itu. Pelayan itu menerima kartu undangan tersebut kemudian menuntunku menuju lantai atas di mana acara ulang tahun Jessica diadakan. Setelah aku berterima kasih padanya, pelayan itu pun mengangguk kemudian berlalu meninggalkanku. Kakiku melangkah menuju tempat di mana Jessica berdiri. Tanganku kemudian menyodorkan sebuah paper bag yang berisi kado untuk Jessica di dalamnya. Meskipun ini bukan kado yang mahal, tapi Jessica menerimanya dengan senang hati. "Happy birthday, ya, Jess. Panjang umur dan sehat selalu," ujarku sembari memeluk gadis itu sekilas. "Iya ... makasih untuk doa dan kadonya, ya," balas Jessica dengan senyuman pada bibirnya. Seorang pelayan yang sepertinya merupakan pelayan khusus untuk acara ulang tahun ini menggiringku ke tempat duduk yang sesuai dengan nomor yang tertera pada kartu undangan setelah aku berfoto dengan Jessica beberapa kali. Acara ulang tahun Jessica berlangsung dengan meriah. Pemilik acaranya sendiri—Jessica juga mengisi acara ini dengan nyanyiannya. Selain itu, hampir sepanjang acara diisi oleh live band yang seluruh anggotanya adalah teman-teman sekelas kami. Grup band ini beranggotakan 4 orang dan sudah sering mengikuti pentas seni di sekolah. Satu vokalis, satu keyboardist, satu gitaris, dan satu pemain drum box. Grup band yang bernama Peace ini sudah terkenal di seluruh penjuru sekolah, mulai dari kalangan murid-murid sampai kalangan guru dan kepala sekolah. Seingatku, mereka juga baru saja memenangkan lomba pentas seni di tingkat kota beberapa bulan yang lalu. Acara terus berjalan sampai nggak terasa kalau saat ini sudah hampir pukul sepuluh malam. Banyak dari tamu undangan yang sudah meninggalkan acara sejak setengah jam yang lalu karena jemputan mereka sudah menunggu di bawah. Pukul sepuluh kurang lima menit, aku memutuskan untuk berpamitan pada Jessica karena suasana di sini yang sudah lumayan sepi. Hanya tersisa beberapa orang teman kami dan orang tua gadis itu. Lagi pula, akan sangat bahaya juga kalau aku pulang terlalu malam dengan mengendarai sepeda motor sendirian. Demi untuk menjaga keselamatan diriku sendiri, aku memutuskan untuk segera pulang saja. "Jess, aku pulang dulu, ya. Thank you for the treat," ujarku berpamitan pada Jessica. Gadis itu menganggukkan kepala kemudian melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan. Saat aku membalikkan tubuh dan hendak berjalan menuju ke arah tangga, mataku menangkap sosok pria berkemeja batik yang duduk di sebelah kaca besar tadi. Pria itu tampaknya baru saja sampai di lantai atas ini karena matanya yang tampak berpendar ke sana ke sini seperti sedang mencari seseorang. Tubuhku tiba-tiba terasa kaku ketika mataku saling mengunci, apalagi saat pria itu berjalan mendekat untuk menghampiriku yang masih bergeming di tempat. Keterkejutanku nggak berhenti di sana saja, aku semakin nggak bisa berkata-kata ketika pria itu berhenti tepat di hadapanku. Suara kesiap kaget yang diiringi oleh bisikan-bisikan kecil pun terdengar dari balik tubuhku. Aku yakin, orang-orang yang berada di belakangku itu juga sedang menuggu apa yang akan dilakukan pria yang berada di hadapanku ini. Mereka pasti bertanya-tanya untuk apa pria yang fisiknya hampir sempurna ini mendatangiku. "Boleh minta nomor ponsel kamu?" tanya pria itu tiba-tiba. Aku terdiam sejenak sebelum melongo karena ucapan yang baru saja keluar dari mulut pria itu. "Hmn ... bo—boleh, tapi untuk apa?" tanyaku dengan kening yang berkerut. "Ada sesuatu yang akan terjadi setelah malam ini," jawab pria itu ringan.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD