Pukul sepuluh tepat akhirnya mereka berdua, Ronal dan Beni pun memutuskan pergi dari cafe.
Sejujurnya sudah sejak delapan tiga puluh, Ronal mengajak Beni untuk pulang, hanya saja ya Beni terus menolaknya. Beni bahkan mempertanyakan alasan Ronal ngotot ingin pulang, yang padahal sebelumnya nampak asyik di tempatnya. Tapi karena tidak mau mengatakan alasannya, Ronal pun terpaksa menurut Beni sampai jam sepuluh malam barulah mereka pulang.
Ronal mengendari mobil dengan mata fokus pada jalanan, sedangkan Beni masih saja bermain ponsel dari awal masuk mobil hingga setengah perjalanan ini.
Dan entah kenapa, Beni terlihat menurunkan ponselnya tersebut dan menyimpan di saku, berlanjut menoleh pada Ronal.
"Nal," panggilnya dengan suara pelan.
"Hm," Dan Ronal pun turut menanggapi meski hanya dalam bentu gumaman.
Beni kira Ronal tak akan menyahut karena pria itu terlalu fokus yang menjorok ke melamun. "Nal, kalo lo lagi suka sama seseorang, gue dukung kok. Nggak usah di sangkal nggak papa, malah nanti gue bantu dapetin."
Ucapan Beni sontak saja membuat tubuh Ronal menegang, walaupun hanya sedikit _hampir tidak kentara_, tapi Beni tau itu.
Meski begitu dalam mulutnya Ronal kekeh tak menyetujui, besertaan kepalanya yang menggeleng. "Nggak ada,"
"Nal, mata gue nggak buta ya, selama di cafe tadi lo aja terus terusan ngeliat ke arah meja karyawan lo itu, apa namanya kalau bukan suka?" Yups, sejak tadi Beni sadar akan hal itu, tapi dia berusaha diam saja _mengamati sesekali_, namun karena mulutnya begitu gatal untuk tidak menanyakan makanya Beni pun terpaksa bertanya.
Bagaimana Beni tidak membatin, kalau Ronal saja langsung berubah excited ketika kedatangan teman Sia itu _Dhini_, bahkan Ronal tak henti-hentinya bertingkah aneh, seperti mendengus atau mengerutkan dahi, belum lagi temannya itu yang sama sekali tidak mengalihkan tatapan dari meja sana.
"Jadi lo suka sama temennya Sia!" Itu bukanlah pertanyaan melainkan ungkapan pernyataan, mirip tuduhan kepada Ronal.
Yang tentu saja Ronal tidak setuju, "Enggak,"
Memang ya, selain orangnya kepo Beni juga suka sotoy.
Merasa kesal sebab Ronal terus mengelak, akhirnya Beni mendengus tak percaya, "Tai, susah emang ngomong ama batu,"
"Okay terserah."
Pikir Beni mungkin saja Ronal masih tahap malu malu anjing dalam mengungkapkan, dan masih berada di fase pendekatan dengan karyawannya, jadi tidak ada cara lain kecuali menunggu pria itu bercerita lebih dulu kepadanya.
Ronal melirik Beni yang akhirnya diam juga, temannya itu memilih melanjutkan bermain ponsel. Ada ada saja Beni memang, atas dasar apa tuduhan tersebut terlontarkan.
Drttt ... Drttt ...
Tiba-tiba ponsel Ronal bergetar menandakan adanya panggilan masuk yang datang.
Tidak membiarkan ponsel tersebut bergetar makin lama, Ronal buru-buru mengambil ponsel dan menggeser tanpa melihat layar ponsel tersebut. Karena Ronal sudah memiliki insting kuat siapa yang menelefonnya malam malam seperti ini.
Tut ...
Sambungan telefon pun terhubung.
"Hm," Ronal memberi isyarat mempersilahkan agar orang di seberang sana bisa memulai bicara.
"Lo di mana?" Dan benar saja orang itu langsung berbicara, terdengar jelas suara tersebut tengah dalam keadaan cemas.
"Di jalan," jawab Ronal, dia ingin menanyakan situasi yang tengah menjadi alasan orang itu cemas, tapi dia mengurungkannya, dan memilih membiarkan dia yang mengungkapkan lebih dulu.
"Arah mana?" tanya lagi.
Tapi Ronal tak berniat menjawab, karena sudah pasti alasan bertanya karena tidak enak hati untuk merepotkan Ronal, apalagi jika Ronal harus putar balik atau jarak jauh. "Ada apa?"
Helaan nafas terdengar, "Bisa mampir bentar nggak?" tanyanya lagi.
"Bisa," Tak perlu berfikir dua kali dia langsung menjawab cepat.
"Kalau gitu nitip obat ya, Kazeo demam tinggi, di minumin obat yang ada di rumah nggak mempan, jadi tolong cairiin di apotik dulu ya Nal,"
Diam ...
Ah ternyata begitu ...
"Okay," Ronal mengiyakan setelah sempat terdiam sejenak.
"Btw makasih Nal," Suara cemas tadi sedikit tersamarkan dengan nada senang setelah Ronal setuju membantu.
"Hm,"
"Gue tutup,"
"Okay," Dan benar, setelah itu sambungan tersebut berhasil terputus.
Tut ...
Tak perlu dijelaskan, mungkin kalian sudah faham siapa gerangan orang yang telah menghubungi Ronal itu. Yups, dia Sia, teman Ronal yang berstatus istri dari Kazeo _teman Ronal juga_. Sia adalah wanita yang kalau kata Beni selalu menjadi prioritas nomor satu Ronal.
"Sia?" tanya Beni, walaupun sudah yakin seratus persen kalau itu adalah Sia, tapi dia tetap bertanya sebagai bentuk basa basi.
"Iya,"
"Kenapa emang?"
Tanpa perlu menoleh Ronal menjawab, "Minta beliin obat buat Kazeo, dia sakit."
Beni mengangguk mengerti, jadi itu untuk Kazeo. "Okay deh,"
Hening tak ada percakapan.
"Btw, hati lo sakit nggak liat wanita yang lo suka merhatiin cowok lain?" tanya Beni setelah beberapa saat terdiam, dia berfikir antara harus mengatakan atau tidak, tapi lagi lagi dia tidak bisa menahannya.
"Hm," tak berniat menjawab lebih, Ronal memilih bergumam, dan makin memfokuskan diri pada jalanan.
"Kumat si tai," gerutu Beni merasa ingin merukiah Ronal agar setidaknya tidak ham hem ham hem saja kalau tengah di tanyai. Tapi ya bagaimana lagi ham hem sudah seperti mendarah daging pada diri temannya itu.
Huh, sepertinya Ronal mendengar gerutuan dari Beni, makannya pria itu saat ini menoleh pada Beni _ketika melihat keadaan jalan depan cukup lenggang_.
"Coba lo pikir sendiri,"
Jujur saja Beni agak terkejut mendengarnya, Ronal mau menanggapi loh. "Iya sih sakit kalo gue. Emang sakitnya masih kayak dulu? Udah bertahun-tahun masa lo nggak bisa suka sama yang lain sih? Padahal muka sama kantong lo terlalu mendukung kalo mau cari yang lebih oke,"
Menurut Beni, Ronal itu definisi sempurna _minus sifatnya apalagi_. Tapi tetap saja siapa sih yang tidak klepek klepek dengan wajah Ronal yang bisa di bilang mantap jiwa di atas rata-rata, belum lagi si tajir melintir yang kalau beli apa-apa tidak pernah lihat harga, dari nama Rivendra yang tersemat saja semua orang tau kalau para wanita akan hidup bagai ratu jika sudah bersama Ronal.
Beni yakin seribu persen _bahkan dia berani bertaruh berendam di air got deh_, kalau tidak ada wanita yang akan menolak Ronal. Tidak ada yang berani. Tapi ya mau bagaimana lagi, Ronal menyia nyiakan itu semua dan memilih mengekor pada Sia yang padahal sudah menjadi istri sah pria lain, mana sudah berbadan dua lagi. Ck, mubazir banget bre.
Ronal tak menjawab, dia diam saja dengan segala ocehan Beni.
"Lo sih, harusnya jangan deket deket mulu ama Sia, biar cepet move on," Sebagai teman yang baik, bukannya Beni sudah dapat di acungi jempol dengan memberi saran seperti itu.
Tapi ya, namanya juga Ronal, pria itu tak akan pernah mendengarkan siapapun, kecuali dari keinginannya sendiri.
"Gue ..." Ronal menghela nafas, "Sayang Sia,"
'Lah taik', Beni sampai melebarkan mata, dia sudah tau fakta itu tapi tidak perlu di perjelas juga lah.
"Si anyink, move on kek move on, sama temen Sia tadi juga nggak papa." Kesal Beni tidak tertahan, benar benar ya temannya itu, apa memang benar perlu di rukiah agar dia bisa move on, dan tidak akan beresiko menjadi pebinor _perebut bini orang_.
"Hm," dalam keadaan macam ini, Ronal kembali menjawab dengan gumaman.
"Nal, Sia aja udah bahagia maju di depan, tapi lo bisa-bisanya stuck di tempat!" Berbagai cara Beni memberi pengertian Ronal, tidak sekali dua kali loh Beni seperti ini, dia benar benar perduli terhadap temannya. Jadi dia tidak ingin ada hal yang tidak di inginkan antara Sia, Kazeo, dan Ronal sendiri. Meski Sia begitu mencintai Kazeo begitupun sebaliknya, tapi tetap saja ngeri kalau ada dedemit lewat dan menghasut salah satunya, bisa bisa semua ketakutan Beni akan terjadi.
"Nal,"
"Udah sampe,"
Tepat sekali di saat Ronal ingin menghentikan pembahasan tersebut, Ronal berhasil menghentikan mobilnya di depan salah satu apotek besar pinggir jalan. Karena harus turun untuk membeli barang pesanan Sia, mau tak mau pasti Beni juga berhenti berbicara.
"Gue aja yang turun," tawar Beni ketika Ronal hendak membuka sabuk pengaman.
"Okay," Tidak menolak atas itikat baik Beni, Ronal mengiyakan begitu saja. Lagipun Ronal tengah malas turun.
Setelah itu Beni benar benar turun dari sana meninggalkan Ronal sendiri di dalam mobil.
Ronal mendengus tiba-tiba, merasa bosan dia memutuskan merogoh saku celananya dan mengambil ponsel nya di dalam sana. Berlanjut dia membuka ponsel dan malah menekan nomor seseorang yang sama seperti yang dia telefon saat di cafe tadi.
Tanpa sadar dia mendengus lagi seraya mengamati nomor dengan jumlah 12 digit itu. Tidak perlu di katakan, kalian sudah tau orangnya.
Hampir saja jempol Ronal menekan tombol telefon warna hijau, tapi dia langsung saja mengurungkannya ketika menyadari sesuatu,
Alasannya ... Untuk apa? Untuk apa menelefon?
Aishh ...
Jadi dengan gerakan pelan dia mulai menurunkan ponsel,
Dan tiba-tiba ...
Drtt ... Drtt ...
Deg ...
Jantung Ronal berdegup kencang, Ronal terkejut merasakan getaran itu, dia berfikir pasti tangannya tadi tidak sengaja tetap menekan tombol memanggil.
Tapi ketika Ronal mengangkat ponselnya lagi dan melihat layar, dia malah mengerutkan dahi ternyata bukan dialah yang menghubungi, melainkan dia di hubungi oleh sepupunya yang masih duduk di bangku SMA kelas 2 itu, Ardonio Slaka Rivendra. Orang yang sama yang juga mengiriminya nomor wanita itu.
Huft, helaan nafas Ronal terdengar berat, antara bersyukur karena dia tidak salah pencet, atau malah dia tengah kecewa akan sesuatu?
Ah sudahlah.
Tidak mau terfokus pada perasaan aneh, Ronal memilih segera menggeser tombol hijau, menerima panggilan Doni.
"Bang," suara Doni terdengar, tepat setelah sambungan telefon berhasil terhubung antar keduanya.
"Hm," Ronal merespon, semua orang yang dekat dengan Ronal tau, kalau gumaman sudah seperti satu kata seribu makna bagi Ronal, tergantung masing masing orang mengartikan. Kalau untuk yang ini, sudah pasti bentuk mempersilahkan agar Doni melanjutkan berucap alasan menelfon.
For your information, memang tadi Ronal sempat memberi balasan pada Doni setelah tau pemilik nomor adalah wanita itu _Reya_, meski hanya satu kata yakni 'menarik' tapi hal itu jelas sudah mengartikan kalau Ronal siap melanjutkan ke tahap selanjutnya, dan pasti Doni pun ikut terkejut akan balasan Ronal yang tidak seperti biasanya.
"Sorry bang, mau bilang jangan hubungin nomor yang tadi lagi ya," suara Doni terdengar berat, tapi Ronal juga tidak berfikir macam-macam.
"Kenapa?" Hanya saja Ronal sedikit bingung.
"Kakaknya temen gue nggak mau kenalan sama lo, katanya udah ada cowok." Doni berat hati mengatakannya, atau mungkin lebih ke tidak rela, kakak sepupunya yang biasanya cuek bebek berhasil bilang 'tertarik' pada seorang wanita, tapi belum juga memulai dia malah di tolak.
Ah ...
"Okay," Ronal menjawabnya tanpa berfikir panjang. Terdengar santai sekali, seperti tidak ada rasa keberatan sedikit pun.
Walaupun kakak sepupunya bersikap biasa saja, tapi Doni tetap merasa bersalah, dia seperti telah memberi harapan palsu pada kakaknya, "Sorry ya bang,"
"Hm," Ronal mulai menutup matanya.
"Nanti gue cariin lagi deh yang jauh lebih mantep mantep,"
'Nggak', kalau saja Ronal bisa mengatakan itu.
"Hm,"
"Gue tutup," ucap Doni memberi tahu, karena alasannya menelfon sudah tersampaikan.
"Hm,"
Tut ...
Dan betul, setelah itu panggilan itu pun terputus begitu saja ...
Ronal sendiri masih memejamkan mata dengan tangan yang mulai menurunkan ponsel dari samping telinganya.
"Udah ada cowok hm ..."
"Okay!"