CHAPTER 22 - INSIDEN KOPI

1502 Words
"Gimana?" tanya Ronal pada Sandy yang baru saja tiba di ruangannya. Memang setelah insiden mengerikan tadi Ronal buru buru di tarik Sandy untuk pergi dari sana, sebab Ronal masih saja berdiam diri dengan tatapan penuh pada area pintu keluar. Sandy hanya tidak ingin jika situasi yang terjadi malah akan makin menarik perhatian banyak orang. Makanya sebagai tangan kanan yang baik, Sandy harus menetralisir sesuatu hal yang tidak di inginkan. Yakni mempermalukan bos nya tersebut lebih lebih lagi. Hanya saja, sepertinya usaha Sandy tersebut juga bisa di bilang sia sia, sebab saat ini keadaan kator sudah tidak karuan, Sandy mendengarnya sendiri. "Heboh, beritanya heboh!" ucap Sandy seraya uring uringan menghampiri Ronal yang duduk santai di kursi dibanggaannya itu. Sungguh Sandy sampai tidak abis fikir dengan Ronal yang bisa bisanya pria itu tetap tenang, walau dalam situasi genting seperti ini. Jangan lupa loh, saat ini Ronal tengah di permalukan loh, bahkan ketika sandi keluar tadi dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau hampir semua karyawan di kantor tengah membicarakan bosnya itu yang tadi tersiram kopi. Cih, memang siapa pula yang berani membicarakannya sih, padahal tadi Sandy sudah cepat cepat untuk membawa Ronal pergi. "Oh ... Okay," Jawaban kalem Ronal tersebut sukses membuat Sandy menganga di tempat, ya bagaimana tidak, ketenangan Ronal benar benar sudah mendarah daging, bisa bisanya hanya mengatakan okay saja, catat okay. "Lo nggak malu?" tanya Sandy setelah mentalnya lumayan tenang. "Malu," jawab Ronal singkat, kalau dirinya tidak malu sudah pasti tadi Ronal tidak akan bereaksi apapun, sebab faktanya dia memang sempat marah akan kejadian yang menimpanya, hanya saja balik lagi, menurut Ronal semua sudah terlanjur terjadi dan tidak ada hak bagi Ronal untuk menahan para karyawannya membicarakan fakta tersebut. "Nah kan, lo malu juga!" Sandy nampak begitu tidak terima bosnya tersebut tidak berniat bertindak tegas, padahal yang Sandy tau akhir akhir ini Ronal begitu mengerikan macam macan ngamuk yang lepas kandang, siap menggigit siapa saja yang berada di depannya terlebih yang telah melakukan kesalahan baik kecil maupun besar. Makanya otak Sandy agak tidak mampu mencerna isi kepala Ronal saat ini. Ada apa dengan bosnya itu, bagaimana bisa sisi kejamnya berubah hanya karena insiden tersiram kopi. "Udah nggak papa nanti juga reda sendiri." Ronal berucap seraya mengambil iPad dengan kamera boba tiga itu di atas meja, dan mulai membukanya pelan. Huft, okay, memang Sandy di haruskan mau tak mau setuju dengan keputusan Ronal yang tidak mengganggu para pegawai yang membicarakan. Tapi untuk pelaku penyiraman, tentu tidak dong, yakali setelah dia berbuat keji Ronal juga tetap diam saja. Pasti tidak. "Jadi gimana lo mau bales sesuatu sama orang tadi?" Sandy sudah mulai tenang dalam bertanya, sebab yakin akan jawaban Ronal yang pasti seperti bayangannya. "Nggak." Hanya saja semuanya salah besar, fakta yang ada sama sekali tak seperti yang Sandy pikirkan. Okay, tapi Sandy tetap berusaha ber-positif thinking, kalau bos nya begitu karena suatu alasan. "Iya juga sih, kita nggak liat wajahnya. Tapi kita bisa liat cctv loh Bos." Sandy berusaha memahami, tapi bukannya lebih baik melakukan kalau masih ada jalan. "Enggak!" ucap Ronal lagi dengan segala penekanan. "Kenapa?" Bukannya wanita yang mengguyur bosnya itu bersalah. Ronal menghentikan gerakan jarinya yang memainkan iPad sejenak, dan mulai mengangkat pandangan menghadap sekertaris nya itu. "Bukan karyawan sini." Dan setelah mengatakan itu, Ronal kembali menunduk fokus lagi pada iPad di tangannya. Kata kata Ronal tersebut rupanya membuat dahi Sandy berkerut. "Kok lo tau?" Ah, sepertinya Ronal memang tidak perlu memberi tahu Sandy kan. Karena pasti malah makin ribet. "Hm," Ronal memutuskan untuk hanya menjawab dengan gumaman saja. Beberapa saat berlalu, Sandy tampak diam saja di tempat dekat meja Ronal. Ronal mengernyit ada apa dengan sekretaris nya tersebut? Dan dia yang biasanya cerewet kenapa malah diam saja setelah hanya mendapat balasan gumaman saja. "Nahan boker?" tebak Ronal tanpa sungkan, sambil masih terus membaca sesuatu di iPad yang dia pegang. Sandy yang mendengarnya bahkan hampir mengeluarkan umpatannya, Anjirlah, yakali nahan. Tapi setelah itu dia memilih menahan diri, dan mulai mengeluarkan alasannya terdiam sejenak tadi. "Btw kok gue kayak kenal tuh cewek Nal. Kayak nggak asing?" Sandy sendiri cukup mempertanyakan pemikirannya tersebut, takut takut dia salah sangka. Namun wajah oval nan bersih tadi cukup familiar di matanya. "Alumni SMA elo." ujar Ronal akhirnya pasrah. Memang faktanya begitu kan, Sandy, Kazeo, Sia, dan wanita itu _Reya pernah berada di sekolah yang sama. Agak aneh bahkan kalau Sandy tidak tau, pasalnya Reya adalah teman dekat Sia yang notabene adalah pacar teman sekretaris nya itu. "Hah?" Ronal meletakkan iPad nya kembali di atas meja, sudah selesai dengan urusannya. Lalu mulai sepenuhnya melihat ke arah Sandy. Ronal menganggu, "Hm, dia temennya Sia." Keterkejutan Sandy nampak terlihat jelas di wajah bocah itu. "Wah, temen Dhini juga dong?" Ronal kembali mengangguk pelan. "Hm," Sandy terdiam sejenak dengan menunjukkan kerutan di dahinya itu. Sepertinya Sandy tengah mencoba mengingat ingat sesuatu. "Ah iya inget inget. Gue inget, padahal dulu sering juga ketemu tuh anak. Terus pas nikahan Sia Kazeo juga ada. Tapi dia nggak gitu mencolok, Sia seringnya dateng sama Dhini aja." ungkap Sandy setelah menyadari kalau wanita si pelaku penyiraman kopi, bukan lah orahg yang tidak dia kenal. "Hm," Ronal mengangguk. "Jadi itu alasan lo diem aja, nggak mau bawa kasusnya naik?" Sandy terlihat tersenyum miring setelah mengatakannya. Apa? Entah apa yang Sandy maksud tau pria itu ketahui, tapi yang pasti saat ini Ronal nampak mengangkat satu alisnya sebelah. "Hm?" "Lo sengaja kayak gitu, karena dia temennya Sia." jelas Sandy dengan begitu percaya dirinya. Hng, Pasti semua orang memang akan berfikiran yang sama seperti Sandy bukan. Sebab bukan rahasia umum kalau Ronal cukup dekat dengan istri dai Kazeo. Belum juga Ronal menjawab, atau Sandy yang menuntaskan rasa kepo-nya. Sebuah ketukan yang berasal dari pintu membuat keduanya terdiam dan mencoba menyisihkan percakapan tadi, mereka mengubah mode friendly menjadi sesi kerja lagi. Tok ... Tok ... Tok ... "Masuk," Tak berniat membuat seseorang di luar tersebut menunggu lebih lama. Ronal langsung saja berucap sedikit keras mengijinkan orang itu masuk. Cklekk ... Tidak lama pintu pun benar benar terbuka, menampakkan sosok wanita dengan pakaian khas kerja yakni kemeja dan rok span selutut, dia terlihat membawa sebuah tumpukan map di tangannya. Dan Ronal tau betul siapa wanita itu. Dhini, teman dari Reya. Wanita itu menunduk sopan, menghadap bosnya. Meski sebenarnya mereka memang seumuran. Tapi di dalam dunia kerja, label bos dan karyawan memang harus begitu bukan. "Ada apa?" tanya Ronal tidak mau berbasa basi. Sedangkan untuk Sandy sendiri, pria itu hanya diam saja di samping Ronal seraya mengamati. "Permisi pak, ini saya di minta ibu Hariana untuk menyerahkan ini." Dhini menjawab dengan pelan nan sopan, seraya bergerak maju dan menyerahkan tumpukan map di tangannya tersebut masih juga dengan logat tunduk. By the way, Hariana adalah ketua HRD di sana. Ronal pun menerimanya, "Hm, Terimakasih." Entah kenapa wanita itu nampak sedikit takut ketika berucap, tapi Ronal tetap tau itu. Apa karena wanita itu termasuk karyawan yang seminggu sudah dia marahi karena telat beberapa kali ya? Dhini menunduk lagi memberi hormat, lalu berucap. "Iya pak, kalau begitu saya pamit undur diri. " Baru juga Dhini bergerak selangkah mundur, tapi Ronal lebih dulu menahan wanita itu. Membuat Dhini mengurungkan aktivitas nya itu. "Tunggu," Entah apa yang Ronal pikirkan, dia sendiri juga tidak tau. Alasan apa yang membuatnya ingin menahan teman dari pelaku pengguyuran kopi tersebut. "Iya pak?" Dhini pun mau tak mau menghadap dan bertanya lagi, takut takut ada sesuatu yang penting yang harus bosnya itu katakan. "Temen kamu ..." Sial, Suara Ronal tertahan di ujung lidah. Dia tidak mampu melanjutkannya. Lagi pula untuk apa mengungkapkannya. Ronal juga tidak ada alasan spesifikasi. Konyol benar benar konyol. "Iya ... Temen saya siapa pak?" Dhini yang mulanya hanya diam menunggu kelanjutan Ronal yang tak kunjung di katakan pun, mau tak mau memberanikan diri untuk menanyakannya. "Nggak jadi." Lhah ... Raut kebingungan sukses tercetak di wajah Dhini itu. Hanya saja dia tak berani berkomentar apa apa. Terserah saja kalau bosnya tersebut bersikap aneh. Lagi pun wajah datar Ronal benar benar menyegani, Dhini tak sanggup jika terus bertatapan dengan mata tajam itu. "Kalau begitu saya permisi pak Ronal, pak Sandy," Dhini mengangguk kan kepada sopan pada Ronal maupun Sandy yang sedari tadi hanya diam. "Iya," Setelah mendapat persetujuan, Dhini pun benar benar pergi dari sana, meninggalkan dua pria dengan perbedaan pangkat tersebut. Pintu pun kembali tertutup sepenuhnya. Menandakan mode teman kembali menyala untuk Ronal maupun Sandy. Sandy buru buru mengeluarkan pernyataan yang sedari tadi dia tahan, berusaha tetap terlihat berwibawa. "Kenapa tadi nggak jadi ngomong?" Gelengan pelan dari Ronal, membuktikan kalau wanita itu memang tidak maj mengatakan lebih, "Bukan apa-apa." "Lo mau bahas pelaku penyiraman kopi ke lo tadi kan?" tembak Sandy langsung, tidak berniat ber basa basi. Rona diam saja, dia sungguh tak mau menjawab pertanyaan Sandy, dan memilih mengabaikan dengan membuka map map yang tadi di berikan pegawainya itu. Dalam abai-nya, Ronal sendiri sejujurnya masih merutuki bibirnya tersebut, yang entah kenapa jadi sering terlepas mengatakan hal konyol, padahal biasanya Ronal bukanlah tipe orang yang seperti itu. Aneh memang. Dan Ronal sadar betul, keanehan nya di sebabkan oleh siapa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD