"KENAPA ADA BEHA LO DI LEMARI GUE!"
Suara teriakan keras tersebut berhasil membuat Reya harus menjauhkan ponsel dari samping telinganya, ya bagaimana tidak di jauhkan jika suara Reno _adik Reya_ benar benar menggema sampai menusuk pendengaran Reya.
Reya mengepalkan satu tangannya yang kosong, yups dia mulai kesal, beraninya adiknya tiba tiba menelefon dan langsung berteriak tidak jelas macam itu.
Hanya saja, Reya mengurungkan niat di gantikan matanya yang membulat penuh terkejut.
Tunggu sebentar ...
Apa yang di katakan adiknya tadi?
Beha?
Di lemari?
Bagiamana bisa?
"Maksud lo apa?" Reya bertanya dengan nada memburu, dia tidak sabar mendengar penjelasan adiknya.
"Beha lo taik, ada di lemari gue!" Sedangkan Reno sendiri masih begitu ngotot akan tuduhannya, terdengar dari suaranya yang menggebu gebu, pasti wajah bocah itu saat ini tengah memerah padam seperti biasanya.
Reya geram, "Mana ada, gue aja nggak nyentuh lemari lo sama sekali," bagaimana bisa adiknya menuduh sembarangan, di rumah orang tuanya saja Reya hanya pernah masuk ke dalam kamar Reno beberapa kali.
"Terus ini punya siapa b*****t!" Reno mendesis tidak suka di seberang telefon sana.
"Eh ..."
Sebentar ...
Kalau Reno bisa sengotot ini, berarti ini bukan lah sebuah candaan, dan pasti memang benar adanya. Memang benar Reya tidak pernah masuk ke dalam kamar Reno, tapi Reno memiliki 1 lemari khusus milik bocah itu di apartment Reya.
Dan lemari Reno berada di kamar yang saat ini menjadi tempat Dhini singgah sementara.
Sial ...
Itu milik Dhini!
"Eh, kampret jangan sentuh!" pekik Reya akhirnya tanpa sadar. Yang mana setelahnya malah membuat Reya panik bukan main, pasalnya saat ini Reya tengah berada di luar. Tapi ketika dia buru buru mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dia tak mendapati siapapun yang menatapnya.
Huft, untung saja suasana saat ini tengah cukup lenggang, jadi suara keras Reya tadi tak membuat orang terganggu dan menjadikannya pusat perhatian.
"Nah lo kan! Lo kenapa naroh di lemari gue bege!" Suara Reno yang terdengar langsung saja membuat Reya kembali fokus pada sambungan telefon tersebut.
Huft,
"Itu bukan punya gue, punya Dhini. Lo nggak liat kamarnya banyak alat alar dia." Sungguh Reya tidak habis fikir, bagaimana bisa temannya itu meletakkan barang berharga macam pelindung melon di lemari milik Reno yang notabene kaum berbatang. Padahal kan Reya sudah memberikan peringatan Dhini untuk tidak menyentuh lemari adiknya _Reno.
"Ah iya, gue nggak sadar." Reno berucap sepertinya pria itu baru saja memastikan keadaan kamar, yang faktanya memang telah di tinggali Dhini. "Gue buru-buru ambil seragam. Tapi tetep aja, kenapa behanya di taroh lemari gue!"
Reya hanya bisa mendesah pelan mendengar adiknya yang tetap tidak terima, selalu adiknya itu heboh bukan main kalo barangnya di sentuh, tidak tau saja Reno kalau semvak kotor 2 minggu lalu telah lihat oleh mata kepala Dhini juga.
"Gue nggak tau No, itukan punya Dhini." ucap Reya pelan tidak balas menggebu gebu macam adiknya itu. "Udah ah, taroh balik." Behanya maksudnya apalagi.
"Nggak bisa! Ini lemari gue! Mana taroh di tempat yang sama semvak gue lagi."
Astaga adiknya ini benar benar ya,
"Hust, ya udah sih. Nggak usah drama, nanti gue sampe in ke Dhini buat nggak taroh beha di lemari lo. Atau sentuh lemari lo sekalian." Jelas Reya dengan penekanan di beberapa katanya.
"Tapi nggak bisa gitu woy!" Reno rupanya tidak mau mengerti dengan penjelasan Reya, bocah itu masih tidak terima.
Tidak terima kenapa sih? Malu begitu semvaknya di lihat orang lain, cih, haruskah Reya benar memberi tahu Reno tentang perihal semvak kotor kemarin.
"Hust diem bisa nggak, iya iya, nanti gue sampe in. Mending lo taroh balik. Dan satu lagi jangan di bahas di depan Dhini, tu anak pasti bakal malu." Itu yang Reya takutkan, kalau Dhini sampai sadar pasti akan menjadi masalah besar. Reya tahu kalau temannya itu pasti tidak sengaja menaruh barang terlarang di sana, mengingat tadi pagi saja Dhini buru-buru berangkat ke kantor sampai meninggalkan ponsel di kamar itu. Jadi akan lebih baik jika Dhini tidak mengetahui masalah ini, sebab jika tidak, anak itu akan tidak mau lagi bertemu Reno, yang mana hal itu akan sangat merepotkan Reya ke depannya.
"Ye kan salah dia sendiri." Reno masih berucap kesal.
"Hust, diem bisa nggak lo anjir." Kalau Reno masih begitu, Reya juga tidak terima lama-lama, seharusnya sesi drama Reno di sudahi saja. Dan lagi pula kenapa di jam sepuluh pagi seperti ini Reno malah berkeliaran di apartemennya, Reya tidak lupa kalau hari ini bukan lah sabtu minggu, harusnya Reno berada di sekolah kan.
"Eh, lo jam segini bukannya ada di sekolah malah ke apart gue lo ya. Bolos lo hehhh ___"
"Okay bye."
Omelan Reya terputus karena Reno menyelanya, dan setelahnya sambungan telefon tersebut benar benar terputus sepihak.
Tidak tau diri ...
"Dasar adek lucknud!"
Reya menurunkan ponsel dari samping telinganya tersebut, seraya mendengus pelan. Cih, tadi saja Reno mencak-mencaknya tidak bisa di kondisikan, giliran di bahas tentang alasan kedatangan ke apartment langsung buru buru ngilang.
Sial, awas saja, di kira Reya akan sebaik itu untuk melupakannya, jelas nanti kalau dia bertemu bocah itu, dia akan langsung menyemprotnya tidak karuan.
Ah sudah lah,
Masalah itu di bahas nanti saja, karena untuk sekarang Reya harus melanjutkan tugasnya di mana dia memasuki gedung besar nan tinggi tersebut, apalagi kalau bukan tempat kerja Dhini, perusahaan milik Riven Corporation.
Memang Reya saat ini berada di sana karena Dhini, wanita itu meminta Reya mengantarkan ponselnya yang tertinggal, Reya tadi sudah bilang bukan perkara itu.
Alhasil mau tak mau Reya akan mampir sebentar, untuk sekedar sampai lobi dan menitipkan nya pada Anya.
Reya berjalan dengan langkah santai memasuki lobi. Hari ini jadwal Reya sebetulnya bukan hanya mengantar ponsel, tapi juga dia hendak meeting dengan salah satu penerbit. n****+ yang bulan lalu dia selesai tamatkan akan di naik cetak, makannya Reya si mager akut juga mau mau saja di minta mengantarkan ponsel.
Seperti yang Reya katakan sebelumnya, suasana kantor itu benar-benar lenggang. Reya dengan leluasa berjalan masuk memasuki area lobi, hanya ada seorang office boy yang tengah mengepel lantai di samping pintu.
Dan langsung saja Reya menghampiri sosok Anya ketika matanya menangkap gadis itu tengah berada di tempatnya duduk mengetik an sesuatu di keyboard.
Langkah Reya makin ia percepat ketika sudah makin dengan dengan posisi Anya.
Dan setelah benar-benar dia segera mengeluarkan suara untuk menyapa gadis itu, "Nya,"
Sepupu Dhini itu nampak mengangkat pandangan, dan selanjutnya tatapannya bertemu dengan Reya.
"Eh mbak Reya." Suara halus Anya terdengar. "Ada apa mbak Reya?" dia langsung bertanya tentang alasan Reya datang ke mari.
Reya pun menyengir sebelum memulai berbicara. "Biasa, ini suruh nitipin hp di elo. Biar nanti di ambil tuh bocah." Tanpa perlu menjelaskan lebih Anya juga sudah faham betul siapa yang Reya maksud. Dan setelahnya Reya mengeluarkan ponsel Dhini dari tas selempang warna biru dongker, berlanjut menyerahkan ponsel berkamera boba tiga pada Anya.
Anya menerima ponsel dengan senang hati, "Ah okay mbak siap." dan menyimpan tetap pelan-pelan ke dalam laci.
"Kalau gitu gue langsung cabut ya," ucap Reya sambil tersenyum, lagi pun Anya nampak sibuk saat ini, jadi tidak baik kalau Reya mengganggunya lebih lama.
Baru juga Reya membalik badan dan hendak pergi, dia malah mengurungkan niat ketika mendengar suara Anya yang menahannya.
"Eh, Reya sebentar ..."
"Mbak Reya mau kopi?" tanya Anya.
Dahi Reya berkerut, kenapa random sekali Anya tiba tiba menawarinya kopi. "Apa?"
Anya nampak meraih sesuatu dari meja samping, dan ternyata gadis itu mengambil gelas cup dengan logo siren terkenal warna hijau, apalagi kalau bukan starbuck. Lalu Anya cepat cepat menyodorkannya pada Reya.
"Nih mbak Reya, tadi itu aku di beliin temen, tapi asam lambungku saat ini lagi naik mbak, jadi gak aku minum. Belom aku sentuh kok mbak baru di beli juga," jelas Anya sungguh sungguh, mencoba membuat Reya yakin kalau dirinya tidak berbohong.
Dan Reya sontak terkekeh, "Hehe ya maulah Nya gratisan ini." ucapnya sambil menerima cup kopi tersebut antusias. Lumayan rejeki anak solehot, memang hari ini Reya sedikit kurang fokus, dan kopi adalah solusi terbaik hari ini.
"Haha iya mbak. Tapi itu americano."
Reya tersenyum bangga. "Sans, minuman gue sehari-hari kok."
Anya ikut tersenyum menanggapi Reya.
"Ya udah ya Nya," Setelah menerima kopi lebih baik Reya melanjutkan sesi perginya, tapi dia lebih dulu mengulang ucapan pamitnya.
Anya mengangguk setuju, "Okay mbak, hati-hati."
"Sip." balas Reya sambil mengacungkan jempol dan tersenyum menunjukkan deretan gigi rapi nan putihnya itu.
Reya pun benar benar pergi dari sana meninggalkan Anya di tempat _belakang meja administrasi_.
Tanpa menghentikan langkah Reya membuka cup americano dingin itu, ia ingin mengecek keadaan bagian dalamnya, dan langsung saja matanya melihat kalau masih banyak es batu dan belum mencair, berarti benar Anya tak berbohong kalau kopi itu baru saja di beli.
Haha, suka suka. Setidaknya jatah beli kopi Reya bisa di belikan nasi padang setelah meeting nanti.
Reya pun hendak menutup cup kopinya lagi, dan akan meminum. Tapi ketika dia mengangkat pandangan sedikit, matanya sontak saja melotot lebar, dan buru buru menurunkan pandangan lagi setelahnya, seraya menutupi sebagian wajah dengan rambutnya yang terurai.
Yups, Reya saat ini tengah panik bukan main, karena melihat sosok pria menyebalkan yang tempo hari berhasil mencium bibirnya sembarang, berada tidak jauh dari posisinya. Mereka berdua berjalan berlawanan, dan sebentar lagi akan berpapasan.
Sial ...
Entah kenapa Reya malah bersikap seperti itu, padahal niatan awal dia ingin balas dendam jika bertemu, untuk sekedar memberi tamparan atau mengambil gambar untuk di tunjukkan pada Dhini.
Aishh ...,
Sungguh rencana Reya malah gagal total. Tapi dia tidak perduli, ia memilih buru-buru melangkah makin lebar saja ketika keduanya benar-benar hampir berpapasan. Berharap pria dengan jas abu-abu tersebut tidak menyadari kehadirannya.
Ah mereka benar-benar akan berpapasan ...
Tiga ...
Dua ...
Sat ...
... Tu!
Huft,
Akhirnya Reya bisa selamat, dengan pria itu dan dirinya berjalan saling melewati tanpa adanya usikkan.
"Tunggu,"
Tapi sialnya, suara bariton yang terdengar dari belakang membuat Reya tiba tiba panik tak karuan. Selanjutnya tanpa melihat ke kanan kiri dahulu, dia buru buru menambah kecepatan jalannya, seperti memang sudah tidak bisa dikatakan berjalan sebab saking kencangnya sudah mirip larian.
Dan ...
Tidak berhenti di sana, kesialan Reya harus kembali terjadi.
"Aaa ..."
Brukk ...
Pekikan Reya tersebut tidak berguna, ketika dirinya sudah terjatuh dengan posisi terduduk.
Sial Reya terpeleset lantai basah yang baru di bersihkan office boy tadi. Sialan! Reya sampai tidak sadar dengan tanda lantai basah hanya demi menghindari pria menyebalkan itu.
Sial sial sial!
Eh ...
Tangan Reya yang hendak mengusap pantatnya yang sakit pun dia urungkan, dia tersadar kalau tangannya yang tadi membawa kopi sekarang sudah kosong mlompong tak ada apa apa. Kopinya hilang entah kemana.
"Astaga, mbak nggak papa?" seorang office boy yang tadi berdiri tidak jauh dari sana menghampiri Reya yang masih terduduk linglung.
"Hah?" Reya plonga plongo, dia bingung menjawab apa.
"Minuman mbak ngeguyur __"
Aishh ...
"Sial!"
Mata Reya melebar dan dia cepat cepat bangkit dari posisi duduknya tersebut, tidak mau mendengar kelanjutan ucapan sang office boy, di melakukan seraya menutupi sebagian wajahnya dengan rambutnya _berusaha agar tidak di lihat siapa siapa_.
Dan Reya langsung berlari kencang keluar dari area lobi, dia sungguh tidak menengok belakang lebih dulu, untuk sekedar mengecek korban guyuran kopinya itu.
Jujur Reya tidak sanggup, dia malu bukan main. Jatuh saja dia malu pake banget, apalagi ternyata dia sudah menyiram orang tidak di kenal.
Argh ...
Benar-benar memalukan! Sampai-sampai rasa sakit di p****t Reya tidak terlalu terasa di bandingkan rasa malunya saat ini.
Sial! Semua ini gara-gara pria menyebalkan itu!
Semua bermula dari pria itu!
Kalau dia tidak bertemu, Reya tidak mungkin berlari, dan Reya tidak mungkin jatuh.
Jadi semua memang kesalahan pria menyebalkan itu, Arghh!!
Reya sampai di parkiran dengan cepat. Dan tidak membuang waktu langsung lah dia menancap gas pergi dari sana.
Mungkin sudah di pastikan setelah ini Reya tidak akan berani datang lagi ke tempat kerja Dhini, sungguh Reya malu bukan main.
Hiks!