CHAPTER 10 - CIUMAN SIALAN

1735 Words
Sial ... Sialan ... Kampret ... Taik ... Anjing arghh ... Umpatan di umpatan terus keluar dari dalam pikiran Reya. Mungkin mulutnya memang benar terkatup rapat, tapi tidak dengan hatinya yang saat ini tengah menggebu gebu itu. Sungguh Reya benar-benar marah dengan situasi yang baru saja terjadi, sesuatu hasil perbuatan pria menyebalkan yang entah bernama siapa. Dengan segala jenis umpatan termasuk hewan-hewan di kebun binatang yang terungkap di hati Reya, wanita itu juga tetap melanjutkan langkah lebarnya menuruni tangga dan keluar dari area tangga darurat. Jangan lupakan Reya yang juga mengusap bibirnya beberapa kali. Sesampainya di area lobi, Reya dapat melihat sosok yang dia tunggu tadi sudah berada di sana berdiri di samping meja adminstrasi dekat Anya. Yups, tidak perlu di jelaskan memang Dhini teman Reya lah yang berada di sana. Entah kenapa ketika mata Reya bersitatap dengan mata Dhini, Reya merasa perasaan sesak di hatinya makin menjadi. Bahkan Reya sampai hampir menangis di buatnya. Tapi wanita itu berusaha keras menahannya, tidak baik jika sampai orang melihat gadis yang tiba-tiba datang dengan tangisan yang mendera, Reya tidak dapat membayangkan se-memalukan apa jika terjadi, di tambah Reya memang tidak suka menjadi pusat perhatian. Berbeda dengan wajah panik nan memerah dari Reya, saat ini Dhini malah menunjukkan raut kesal, mungkin wanita itu telah tiba dari tadi dan membuatnya harus menunggu. Dan persis seperti dugaan, ketika Reya sudah melangkah cukup dekat dengannya, Dhini langsung saja menyemburkan unek-uneknya yang sedari dia tahan, sebab dia sudah mengurungkan niat untuk lembur agar temannya itu tidak menunggu lama, tapi lihat yang terjadi temannya itu tidak ada di lobi dan dia menunggu cukup lama sampai wanita itu benar benar tiba. "Lo dari mana aja __ Eh eh." Hanya saja baru saja Dhini mengeluarkan dua patah kata, dia malah harus terhenti ketika Reya lebih dulu menarik pergelangan tangan Dhini menuju pintu keluar. Tentu saja Dhini yang tak siap bingung dan bahkan hampir saja terjatuh kalau tidak cepat menyesuaikan posisi langkah lebar Reya. "Udah ayok balik!" ucap Reya lirih namun masih dapat di dengar oleh Dhini dengan jelas. "Kenapa sih lo, dateng dateng kayak orang di kejar setan." Walaupun dia tetap mengikuti langkah Reya, tapi Dhini juga tetap menggerutu kesal, bingung akan sikap aneh temannya itu. "Emang," Dan Reya malah mengiyakan tuduhan yang niat Dhini hanya berucap sebab kesal. "Hah?" Dhini makin bingung, "di mana?" "Di tangga darurat," jawab Reya sekilas. Meski begitu Dhini juga bukan anak TK yang akan percaya begitu saja, jadi dia menyipitkan mata, "Ngapain lo sampe ke sana?" Dhini sadar temannya itu berbohong masalah dikejar setan, tapi untuk dari tangga darurat dia percaya, dan kemungkinan besar memang Reya baru saja dari tempat itu, Reya menoleh pada Dhini sebentar, "Panjang. Nanti gue jelasin." sebelum kembali menatap depan lagi. "Si tai, pelan-pelan kek." kesal Dhini tidak tertahan lagi karena bukannya Reya memelankan langkah, temannya itu malah sebaliknya dan makin bergerak cepat mirip larian, itupun dengan masih menarik tangan Dhini. "Nggak bisa, ini darurat." ucap Reya dengan suara pelan mirip cicitan. "Aish ..." Dhini akhirnya pasrah dengan semua tingkah Reya, dan akhirnya mereka berdua pun sampai di lokasi yang di tuju yakni parkiran mobil dan lebih tepatnya menuju mobil Reya berada. Setelah di sana Reya melepaskan cekalannya dari tangan Dhini, dan mulai merogoh tas slempang yang dia bawa. Srett ... Kunci yang baru saja muncul dari dalam tas itu langsung saja Dhini ambil secara tiba-tiba, membuat Reya menoleh cepat. "Gue aja yang bawa mobil lo, ngeri gue masuk rumah sakit kalo yang nyetir aja nggak fokus gitu." Dhini paham betul, walaupun dia bingung akan situasi yang terjadi, akan tetapi dia sadar kalau temannya itu tengah tidak dalam keadaan baik-baik saja. Reya tak menolak dia malah menganggukkan kepala setuju, Reya sadar diri kalau mungkin dirinya memang tidak akan bisa menyetir dengan tenang seperti yang Dhini katakan. Mereka berdua pun masuk secara bersamaan dengan Reya di kursi penumpang dan Dhini di kursi pengemudi. Dhini juga tak membuang waktu, dia langsung saja menjalankan mobil bermerk honda brio itu meninggalkan pelataran kantor Dhini. Baru beberapa menit Dhini mengendarai mobil, rupanya dia sudah tidak tahan dengan situasi di sana, rasa penasarannya menggebu-gebu. Apa lagi saat ini temannya itu malah diam saja seraya menundukkan kepala dalam. Dia harus tau apa yang telah memuat temannya itu pergi dari lobi dan berakhir seperti itu. "Sebenernya lo kenapa?" tanya Dhini seraya menolehkan kepala sejenak dan berlanjut kembali fokus pada jalanan depan. Dan setelah mendengar pertanyaan tersebut, akhirnya Reya mulai menegakkan badan dan menghadap samping. Dhini yang sadar juga buru-buru menoleh. Tapi dia malah melebarkan mata terkejut melihat keadaan Reya saat ini. Dhini masih berusaha fokus menyetir, walaupun perasaannya mulai tak enak melihat mata Reya yang saat ini sudah memerah, menahan air mata yang hendak mengucur keluar. "Kenapa __" "Gue ...," suara Reya terdengar serak, tangisnya hampir pecah, "Gue habis di cium," Dan ... "What? s**t!" Cittt ... Dhini terkejut bukan main, karena pikirannya sudah kemana-mana dan juga karena di hantam keterkejutan yang mendera, wanita itu malah membanting stir tiba-tiba ke pinggiran jalan dan juga mengerem mendadak. Baik tubuh Reya maupun Dhini yang menyetir sampai terantuk ke depan, untung saja keduanya menggunakan sabuk pengaman jadi mereka masih bisa di bilang aman. "Bego, yang bener napa bawa mobilnya. Masih nyicil nih." Walaupun Reya sudah dalam keadaan kalut seperti itu, tapi dia masih sadar kalau perbuatan Dhini sangat berbahaya, terlebih kepada mobil yang masih dia cicil selam 2 tahunan lagi. Jadi mau tak mau dia mengungkapkan kekesalan. "Bentar-bentar, lo di cium siapa?" Tidak perduli dengan kekesalan Reya, Dhini lebih mementingkan rasa penasarannya akan fakta alasan temannya itu menjadi kalut. "Hiks, Orang yang bawa gue pas mabuk minggu lalu." dan tangis Reya pun pecah, dia tidak perduli dengan make upnya yang akan rusak kalau dia menangis. Karena saat Dhini bertanya lagi macam itu, air matanya terasa di sodok keluar paksa. "Apa? Kok bisa." terkejut bukan main, jelas Dhini shock karena temannya yang berstatus jomblowati sejak lahir tidak pernah melakukan hal seperti itu, dan kali ini tiba-tiba dia bercerita hal yang sulit di nalar. Terlebih tangisan Reya membuat Dhini ikut cemas. "Panjang ceritanya, meski kayaknya nggak sengaja tapi tetep aja bibir gue udah bekasan. Huwa ..." Dhini melongo di buatnya. Jadi Reya menangis hanya karena tidak terima bibirnya menjadi bekasan? Bukan sebab dia telah di cium? "Hush, kalem-kalem, tapi cuma bibir kan, nggak ada sesi grepe-grepe dan yang lain kan?" tanya Dhini. Reya mengelap air matanya kasar, "Enggak lah. Tapi bibirnya nempel ke bibir gue. Rasanya aneh, kenyel huwa ..." "Dasar prawan tua, ya emang gitu." desisan Dhini membuat Reya mengeluarkan air mata lagi, meski tidak sederas tadi, bisa di bilang air mata Reya keluar tidak dengan tangisan yang sampai sesenggukan. "Huhu tapi tapi ..." "Diem. Udah nggak papa bibir lo masih utuh juga, nggak berkurang tenang." Dhini bingung harus menenangkan dengan cara bagaimana, jadi mungkin menggunakan kalimat tersebut sudah cukup. "Tapi Dhin ..." "Iya iya lo sedih, tapi udah ya, nanti gue bantu bales pake jotosan maut ke cowok itu." Entah apa yang Dhini katakan benar akan terjadi atau tidak jika mengetahui fakta yang ada. Tapi yang pasti wanita itu berucap menggebu-gebu, seraya mengangkat kepala tangan di udara, mungkin dia ikut greget atas sikapnya pada temannya lagi. Apalagi karena perbuatan pria entah siapa itu, membuat Dhini harus merelakan sebagian gajinya raib untuk membiayai biaya kompensasi kemarahan Reya. "He'em, emang harusnya sejak awal gue kasih sesuatu hadiah. Soalnya makin ngelunjak." Dan benar, untuk kali ini Reya sudah berhenti menangis walaupun suaranya masih terdengar serak sedikit. Tak lupa dia juga mengusap air mata yang jatuh di pipi tadi hingga kering tak tersisa. "Kita lanjut jalan lagi ya," ucap Dhini memberi tahu. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju apartemen Dhini. Cukup lama berkendara, Dhini sadar kalau tangis Reya sudah sepenuhnya reda yang malah Reya tak terlihat seperti baru saja menangis. Tiba-tiba Dhini teringat sesuatu. Sesuatu yang mengganjal kalau tidak di ungkapkan. "Tunggu Re ... Apa lo nggak ngerasa aneh," ucapannya. "Aneh apa?" Reya yang nampak membenarkan bedaknya yang luntur kemana-mana pun menoleh. "Kalo di pikir-pikir lo udah tiga kali loh ketemu dia. Jangan-jangan kalian jodoh." Celutuk Dhini tidak di saring. Yang jelas membuat Reya melebarkan mata tidak terima. "Sembarang kalo ngomong. Amit-amit amit amit." Reya sampai memekik tak suka. "Dih katanya dia ganteng." Walaupun pria itu sudah lancang mencium temannya, tapi kalau dia tampan dan sesuai kriteria menjadi suami temannya itu, Dhini siap mendukung. "Tapi ya nggak bisa, gue nggak mau nikah loh. Pokoknya nggak mau jodoh!" Ucapan Reya benar tidak dapat di ganggu gugat. "Re ..." Reya sudah mulai tidak suka, dia kesal. "Hush enggak ada pembahasan gitu, lagi pun kita masih ketemu dua kali kok, yang satunya dia nggak liat gue." "Haish, oke oke terserah elo." Putus Dhini akhirnya, percuma juga berbicara pada orang yang baru saja tidak terima di cium pria asing sepihak. Selanjutnya tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Sebelum akhirnya Reya yang membuka suara lebih dahulu. "Btw gue mau makan banyak biar lupa sama semua Dhin." suara Reya yang berlangsung tak serak lagu itu berucap. Dia sengaja memberi tahu agar rekannya itu tidak shock dengan apa gang akan dia beli nanti. "Anjim, tekor dong gue." Dan seperti dugaan, Dhini sontak mendelik kesal. "Nggak papa sekali-kali." Tidak tau diri! "Halah minggu depan juga lo mau minta jatah lagi." Dhini mendengus tidak suka. "Ya pokoknya mau makan banyak." Keputusan Reya sudah mutlak, dia memang akan banyak makan nanti, dia merasa suntup stress akan semua kejadian akhir-akhir ini, dan makan banyak nan enak adalah salah satu cara Reya meredakan stress-nya. "Okay deh, okay. Serah." Kan kan, memang tidak ada cara lain selain Dhini menurut. "Kita ke apart gue, nanti berangkat jam tujuh an ya." lanjut Dhini setelahnya. "Malem banget, gue udah laper." Dhini memijit pelipisnya pelan menggunakan tangan kiri, mengingat satu tangannya yang lain tengah memegang roda kemudi. "Haish, nih anak, nanti bisa ngemil dulu kan di rumah gue." Ngemis berbeda dengan makan berat, dan Reya sedang ingin makan berat dari pada ringan. Ah ... "Ya udah ketoprak pak mamat depan gang komplek lo." Dengan bibir terangkat sedikit culas, Reya meminta kesepakatan. "Tapi ini cuma pembuka karena lo ngajak berangkat malem." "Taik taik taik." Sudah jelas seperti dugaan Dhini. "Deal?" tidak memperdulikan respon temannya, Reya mulai mengulurkan tangan. "Y," Dan Dhini tidak dapat menolak. Membuat Reya makin melebarkan senyum culasnya. Dhini hari ini pasrah, karena jujur saja dia tidak suka temannya sedih lagi seperti tadi. Jadi menurutnya kali ini, uang bukanlah apa-apa. Melanjutkan perjalanan menuju apartemen Dhini, dengan wanita itu yang makin menambah kecepatan mobil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD