***٤***

1230 Words
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu seperti orang-orang kafir yang mengatakan kepada saudara-saudaranya apabila mereka mengadakan perjalanan di bumi atau berperang, Sekiranya mereka tetap bersama kita, tentulah mereka tidak mati dan tidak terbunuh. (Dengan perkataan) yang demikian itu, karena Allah hendak menimbulkan rasa penyesalan di hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 156) Menuruni anak tangga lagi, berjumpa dengan beberapa santriwati lainnya juga. Tentu saja mereka mempertanyakan keberadaan Hilma dan dengan senang hati, Intan selalu menjelaskan bahwa dia keluarga baru bagi mereka. Lorong menuju kamar mandi benar-benar tertutup, hanya lampu terang yang menemani karena begitu ketatnya larangan saling pandang dengan lawan jenis. Dipastikan hanya berada di depan masjid dan pintu masuk pondoklah, beberapa santri nakal akan bisa saling memandang. Sepanjang jalan, Intan berjalan paling depan, dilanjut oleh Rahma lalu Zahra dan terakhir Hilma. Ia sengaja berjalan paling belakang, ingin melihat keadaan yang siap menjadi rumah baginya. Terlihat bersih dan rapi, sampai menemukan beberapa bilik kamar mandi dan sebuah bak air memanjang. Hilma menutup kedua matanya, nampak jelas para santriwati sedang mandi tanpa penghalang! Zahra yang tahu suasana baru bagi Hilma segera membalikkan badan, mulai menjelaskan bahwa mandi bersama sudah biasa. Mustahil dengan jumlah santriwati mencapai ratusan, bisa memiliki satu kamar mandi pribadi. Bukankah manusia itu tidak semuanya sama? Kadang sangat lama mandinya, menimbulkan nafsu mencaci dan ghibah. Jadi, para santriwati lain memilih mandi bersama saja. Toh, mereka sama-sama seorang perempuan. Lagian lampu yang dipadamkan pula dapat menyembunyikan sebagian tubuh mereka. Beruntungnya, kali ini ketiga teman Hilma mendapati kamar mandi yang kosong antrean. Mereka berempat tinggal menunggu pintu terbuka. "Nanti kalo udah selesai, kamu tinggal kembali ke kamar, ya?" Hilma hanya mengangguk mendengar ucapan Zahra, tidak lama pintu terbuka satu per satu dan sialnya Hilma mendapat pintu yang terakhir dibuka, sedangkan teman barunya sudah terdengar mengguyur air ke tubuh masing-masing. "Maaf lama, ya, Ukh?" Wajah Hilma terlihat kebingungan akan panggilan seorang santriwati di depannya. "Eh, gak masalah," balasnya diakhiri senyum. Santriwati bernama Sarah itu pamit pergi, sebelum melangkah maju ia berbalik menatap Hilma yang baru di pandangannya. Hingga seorang santriwati lain memberitahukan, bahwa Hilma adalah santriwati baru yang tadi sore datang. "Oh, baiklah, nanti saya akan memperkenalkan diri," terang Sarah, baginya sangat tidak biasa mendapati seorang santriwati saat berhadapan atau berpapasan dengannya tanpa bersalaman. Mengapa? Tentu saja Sarah adalah salah satu senior pengurus di pondok santriwati. Bisa dibilang ia adalah senior yang harus dihormati. Di dalam kamar mandi yang sederhana, Hilma dapat menatap jelas keadaan di sekelilingnya. Kembali bak mandi memanjang, ke kanan dan kiri, dapat ditebak bilik samping kanannya sedang membawa air. Perlahan Hilma membuka kerudung dan helai baju lainnya. Menarik alat mandi yang baru dibeli, hingga ketukan pintu dari luar terdengar. Menandakan di antara keempat temannya sudah selesai mandi. Suara solawat dari pengeras masjid semakin terdengar jelas, mengingat Hilma dengan sifat bodoamatnya, dengan cepat memakai baju ganti. Di lorong kamar mandi hanya ada beberapa santriwati sedang membenahi letak kerudungnya, di depan kaca besar memanjang. Senyum manis dibales cepat oleh Hilma lalu berjalan santai menuju lantai atas. Sampai di depan pintu kamar Khadijah 5 Hilma pun tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, segera masuk dengan tatapan terkejut ketiga temannya. "Hi—Hilma." Intan tergagap, tangan kirinya mencekal erat kerudung yang belum rapi dipakainya. Hilma terdiam mematung karena bingung, mengapa mereka bertiga menatapnya terkejut? Hingga Rahma mengambil alih keadan yang mencekam penuh kebingungan. "Anti, harus tahu dahulu, ya, kebiasaan yang mungkin baru di kehidupan, Anti," ucap Rahma tenang. Zahra pun ikut duduk di samping Hilma yang kentara masih kebingungan. "Untuk aturan hal wajar berada di wilayah santriwati terdekat, biasakanlah mengucap salam dan mengetuk pintu sebelum masuk, ya," jelas Zahra. "Karena kita tidak tahu, apa yang sedang dikerjakan di dalam kamar. Takutnya yang tidak layak dilihat banyak orang, akan menjadi dosa juga," balas Rahma. Baiklah sekarang Hilma mengerti, sikap barusan yang biasa dilakukan adalah hal yang tidak wajar selama di pesantren! Hilma mengangguk paham, lalu mereka berempat melanjutkan aktivitas masing-masing. Berakhir kumandang Azan Magrib terdengar mengalun indah, kembali nama Ustaz Hasbi masuk ke gendang telinga Hilma. "Ustaz Hasbi itu putra dari Kiai Hikam, Hilma," terang Zahra memberitahukan. "Oh, panteslah suaranya bagus juga!" Saat mereka siap pergi ketukan pintu dari luar, membuat Intan cepat menyambar knop pintu. Kali ini Hilma yang diam terpaku. Karena ketiga temannya langsung menyambut kedatangan perempuan yang Hilma temui di kamar mandi tadi. Tepatnya mencium punggung tangan, sambil memberikan salam diakhiri bertanya, "Ada apa, Umi?" "Hanya ingin berkenalan dengan keluarga baru kita," jawabnya sambil menatap manis Hilma yang diam-diam menelan kasar ludahnya. Zahra menarik pelan Hilma agar mendekati perempuan dengan bola mata cantik. "Hilma, perkenalkan ini Umi Sarah, salah satu pengurus para santriwati di sini." Hilma mengangguk kaku, lalu mencium punggung tangan Sarah yang terasa lembut. Setelah perkenalan diri yang singkat, beberapa santriwati mulai menuruni anak tangga siap melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Hal pertama bagi Hilma, berbaris rapi di barisan kedua paling depan. Dapat dilihat jelas pula punggung tegap membelakangi di sana. Karena saat salat memang tidak terlalu tertutup tempatnya. Sebelum solat wajib, Zahra mengajak Hilma menunaikan salat sunah terlebih dahulu. Sudah biasa dilakukan sejak duduk di bangku SD jadi Hilma tidak kebingungan bagaimana niat salatnya. Tidak lama kumandang ikamah terdengar sangat merdu. Sudah biasa agenda menjadi imam di depan adalah para senior yang setiap harinya digilir. Berjalan penuh khidmat dan fokus, diakhiri zikir selama setengah jam, mulailah jadwal mengaji Al-Quran dimulai. Di luar masjid, ada beberapa senior yang menjaga ketat pintu keluar. Agar semua santri mengikuti jadwal. "Kapan bubarnya?" Bisikan Hilma di samping telinga, membuat Zahra tersenyum kecil. "Jangan tanya kapan bubarnya, tapi kamu harus sadar dan mulai biasakan apa yang orang-orang kerjakan, sekarang!" Hilma mendelik sebal, seharusnya ia sedang memainkan ponselnya sekarang. Namun, sangat disayangkan karena keinginannya takkan bisa lagi terwujudkan. Terpaksa Hilma menelan pahit kenyataan. "Zahra, tolong bagikan jadwal kapada keluarga baru kita, ya, kasih pula bimbingan jika sodari Hilma masih sulit memahami pelajaran," terang Ustazah Ridha. "Baik, Umi," balasnya dengan senyum menenangkan. Zahra pun mengajak Hilma ke luar dari masjid, melihat kedatangan Zahra yang sudah dipercaya oleh beberapa senior akhlak dan ilmu pengetahuannya, mereka mempersilakan Zahra pergi dengan Hilma menuju kamar pondok mereka. Sesampainya di dalam kamar, tanpa berbasa-basi Hilma langsung merebahkan tubuhnya yang masih terbalut mukena putihnya. Sedikit terkejut akan tingkah teman barunya, tapi Zahra tetap memberikan senyum. Sejak duduk di bangku SMP belajar di pesantren Al-Fikri mengartikan sikap dan ekspresi santriwati baru, membuat Zahra paham bahwa Hilma bosan dengan suasana baru di kehidupannya. Jadi, dengan cara menghibur lalu menjelaskan kebahagiaan di balik harus belajar tentang Islam, perlahan dipastikan Hilma akan menerima kenyataan. "Meskipun kamu santriwati baru, tapi pelajarannya masih sama kok sama yang aku, Intan dan Rahma pelajari. Jadi, jangan malu bertanya, kita kerjakan sama-sama, ok?" Hilma mengangguk lemah sambil tiduran. "Udah, yuk! Sekarang ada jadwal ceramah Umi Isna," ajaknya, terpaksa Hilma mengikuti dengan langkah gontai. Di dalam barisan yang sama, para santriwati mulai mempersiapkan buku catatannya. Seorang perempuan dengan bulu mata lentik, sebuah t**i lalat tepat menghiasi ujung hidung mancungnya. "Alhamdulillah, di malam yang sangat bersahabat dengan alunan angin sepoi menenangkan para santri di pesantren Al-Fikri. Seperti biasa, di hari senin ini agenda jadwal yang umi bawakan adalah ceramah untuk kalian semua." Bola mata kecokelatannya menyapu para santriwati yang tak asing baginya. "Apa, sih, pentingnya pacaran? Coba siapa yang tahu?" Tanpa menjawab salah satu di antara ratusan santriwati pun, Ustazah Isna sudah menebak bahwa diantaranya pernah melakukan apa itu pacaran. "Dari isi ceramahnya Ustaz Derry Sulaiman. Rasulullah SAW berkata, Bahkan lebih baik ditusukkan besi yang panas daripada harus memegang perempuan yang bukan hak kita. Apalagi mempermainkan hati wanita, guru saya mengatakan haram hukumnya seorang lelaki mengatakam cinta kepada seseorang wanita tanpa ada niat untuk menikahinya itu namanya, apa?" Para santriwati mulai berbisik malu. "PHP namanya!" seru Ustazah Isna. "Kalo sekarang dia bisa bermaksiat dengan kalian. Maka suatu hari nanti ketika kalian menikah dia akan bermaksiat juga dan begitu pun sebaliknya. Hakikat cinta bukan di dunia. Hakikat cinta itu ada di surga. Dunia itu tempat ujian sementara saja, kalo kalian benar-benar cinta, benar sayang ajak mereka ke surga. Karena hakikat perpisahan yang sesungguhnya bukanlah di dunia, tapi hakikat perpisahan yang sesungguhnya ketika satu orang masuk ke dalam surga satu orang masuk ke dalam neraka! Naudzubillah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD