***٥***

1210 Words
"(yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 134) Akhirnya keluar dari dalam masjid membuat Hilma mengembuskan napas lega. Tepat jarum jam tangannya menunjuk pukul sembilan malam, mereka berjalan lurus menuju anak tangga, sedangkan santriwati lain yang tinggal di lantai bawah saling memberikan salam perpisahan. Sudah menjadi kebiasaan pula, santriwati dipersilakan keluar duluan, barulah para santri menjadi rombongan akhir mengkaji ilmu Islami. Sebelum masuk ke dalam kamar masing-masing, hal yang selalu Hilma langgar selama di rumah sekarang diharuskan kembali dilakukan. Yaitu wudu sebelum tidur, terpaksa ia mengikuti ketiga temannya padahal matanya sudah berat ingin terpejam erat. Selesai mengambil wudu dengan cepat ia berlari, tapi mengingat temannya belum selesai ia kembali mundur menunggu ketiganya selesai. Keadaan sekitar masih terdengar pintu dikunci dan terbanting terlalu keras. Hilma menatap plafon yang bersih terjaga tidak seperti dalam pikirannya, bahwa pondok pesantren sangat jorok. Mengapa? Mereka mungkin hanya menghabiskan waktu untuk belajar, tidur dan mandi. Untuk membersihkan tempat mungkin sangat malas. Nyatanya, di selembar jadwal yang Zahra berikan sudah terdaftar di hari jumat siang membersihkan pondok bersamaan. Jadi, takkan ada ruangan atau halaman kotor di sana? Intan memutar kunci kamar, ia yang selama ini memegangnya, mengingat Zahra selalu absen pergi untuk ajang lomba ataupun mengikuti ajakan dari para seniornya, sedangkan Rahma orangnya paling tidak suka jika diberikan beban tangung jawab. Setelah masuk ke dalam kamar, Hilma mendapati kasur khusus satu orang miliknya tepat di ujung sana. Tak bisa berkomentar, sudah jadi aturannya ia harus tidur di sana. Ketiga temannya langsung membuka kerudung, menggantungnya agar tidak berantakan saat esok dipakai lagi. Namun, tidak dengan Hilma, dengan cepat ia merebahkan tubuhnya masih dengan pakaian lengkap. Mendapati sikap Hilma, Zahra tersenyum kecil. "Biasakan, mengganti apa pun yang kamu pakai. Jika, esok akan dipakai lagi, Hilma," ucap Zahra memberitahukan. Hilma memicingkan matanya malas. "Besok gak pakek baju ini," gumamnya. Intan mulai membuka baju gamisnya, terganti sebuah rok sepan dan baju lengan pendek. "Kalo kami, biasa memakai baju dan kerudung dua kali sehari, nanti nyucinya juga barengan," terang Intan. Jadi, Hilma harus mengikuti apa yang mereka katakan? Ah! Sangat malas untuk melakukannya, sudah siap tiduran lepas dari masjid, eh malah disuruh ambil air wudu, sekarang pula mengganti baju. Padahal, siapa pula mereka? Mengapa mereka sangat menilai apa pun yang Hilma lakukan? Bukan itu maksudnya, Hilma memang masih memendam sebal harus mondok di pesantren. Rasa kesalnya dilampiaskan dengan malas berbuat apa pun. Zahra, Intan dan Rahma tahu, makanya mereka mencoba mengajak Hilma menuju kebiasaan para santriwati. Tidak memaksa, hanya menekan halus saja, bahwa Hilma harus bisa berubah. Selesai menggantung gamis kebesarannya asal, Hilma segera mencabut jarum dari kerudungnya, dengan cepat melemparnya ke atas lemari kayu khususnya. Intan menenangkan kedua temannya, biarkan Hilma bersikap demikian. Masih satu malam, ada banyak hari di depan mereka untuk menyadarkan sikap teman barunya. Kedua mata cepat tertutup rapat, tanpa sadar langsung masuk ke alam mimpi karena lelah menahan kesal dari tadi. Zahra sendiri seperti kebiasaannya, selalu membaca kitab untuk hari esok. Mengulang materi minggu lalu. Ketiga teman Hilma segera membereskan tempat tidur, menyingkirkan hal yang tak diharapkan berada di tempat tidur mereka. Tidak lupa membaca bacaan Nabi di dalam hati, lalu segera tidur menatap langit-langit kamar. Tepat tidur di samping Hilma, Intan perlahan mengulurkan tangannya, menarik pelan selimut milik Hilma agar menutup sampai d**a. "Hilma, memang keliatan tomboi banget sih menurut aku." Zahra menoleh, lalu tersenyum kecil. "Terlihat dari sikap bodoamatnya, ya." Rahma yang belum tidur menimpal, "Menurut kalian, Hilma bakal kabur gak, ya?" "Kayaknya enggak, deh, dari pandangan matanya dia sudah menelan banyak dunia luar untuk kebahagiaan yang tak kekal. Sekarang, mungkin perlahan akan sadar bahwa ia lebih baik ada di pesantren ini," jelas Intan. "Aamiin, semoga saja," balas Zahra. Selanjutnya, kamar menjadi hening, hanya gumaman kecil Zahra membaca kitab kuningnya. Sampai kantuk dirasakan, ia mengulurkan tangan mematikan lampu kamar. Keheningan semakin terasa melenyapkan rasa lelah selesai belajar. Zahra melafalkan bacaan yang sejak awal masuk pesantren diberikan. Yaitu membaca surat Al-Ikhlas tiga kali, Al-Falaq satu kali, An-Nas satu kali. Dilanjut solawat Nabi dan Istigfar, sampai menuntun masuk ke alam mimpi ia tetap melafalkan zikir dalam hati. Rasa tenang dan damai, seketika tersadar akan waktu yang mengharuskan bangun dari pembaringan. Lagi, Zahra menjadi gadis panutan para temannya dengan mudah ia bisa bangun pukul tiga dini hari tanpa dibangunkan atau menggunakan alarm dari jam. Apalagi dari gedoran para senior, ia sudah terbiasa merasakan sesuatu berbisik bahwa ia harus bangun dengan cepat. Menyingkirkan selimut tipisnya, lalu duduk menatap jendela yang tertutup rapat oleh gorden kecokelatan. "Alhamdulillahilladzii ahyaana ba'da maa amatana wailaihi nusyur," ucap Zahra seraya mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia pun berdiri, meregangkan kedua tangannya ke atas dan ke depan. Segera menyalakan lampu kamar lalu mulai menggoyang bahu Rahma dilanjut bahu Intan. Di pojokan sana, sosok Hilma tidur tengkurap dengan selimut yang sudah berada di lantai. Rambut sebahunya terlihat hitam legam. Saat kakinya siap melangkah menuju Hilma, Rahma terdengar melenguh panjang tidak lama pengeras suara dari masjid mulai muncul menandakan para santri akan segera bersolawat, agar penghuni pondok bangun siap menunaikan ibadah solat tahajud dan witir. "Allahumma antassalam waminkassalam ... tabarak tarobbana ya dzal jalali wal ikram. Allahumm antassalam waminkassalam, tabarak tarobbana ya dzal jalali wal ikram ...." Kali ini bukan dari suara Ustaz Hasbi yang didambakan para santriwati, Zahra sudah mengenal suaranya semenjak menjejakkan kaki dengan wajah kebingungan. Waktu lalu, Ustaz Hasbi kisaran lima tahun lebih tua, memberikan senyum menenangkan saat berada di dalam rumah Kiai. Zahra yang masih duduk di kelas tiga SD sangat polos dan rasanya hanya ingin pulang saja. Sampai Ustazah Fitri mengajaknya ke dalam kamar, memberikan kesempatan bagi ibu Zahra untuk pulang. Sesuai kesepakatan Zahra tinggal bersama keluarga tersebut, mengingat umurnya yang masih dini tidak memungkinkan berbaur dengan para santriwati yang paling dini saja usia anak SMP. Kedekatan Zahra dengan Ustaz Hasbi dibilang sangat dekat, tapi tetap menjaga aurat karena Ustaz Hasbi juga memang sering berada di kamar pondok, bukan tidur di rumahnya sendiri. Zahra tersadar, dulu sempat ada yang menyetujui bahwa ia dengan Hasbi sangat cocok. Namun, Zahra tidak seharusnya berharap lebih. Meskipun terkenal pintar dan akhlak yang baik, ia bukan dari keturunan paling terbaik dalam agamanya. Ibu yang dulu mengantarnya ke pesantren sudah menikah beberapa kali, meninggalkan ayahnya yang sering sakit-sakitan. Dari sana, Zahra kecil mulai berpikir keras bahwa ia bisa mengubah nasib keadaan keluarganya. Menjadi sosok anak pintar, tapi sebelum membuktikan ibunya memilih memasukkan Zahra ke penjara suci. Sangat baik memang niatnya, tapi Zahra tidak penah berkhayal berada di pesantren ini. "Hilma, bangun, kita solat tahajud." Orang yang dibangunkan tetap dalam posisi, Zahra kembali dengan senyum kecilnya. Rahma di belakangnya sudah memakai kerudung instan, lalu berjalan menghampiri. "Biar aku aja yang bangunin, kamu langsung ke bawah aja," tawar Rahma. "Gak papa, kamu aja sama Intan, sana, Hilma bareng aku aja," tolaknya, tanpa mengulang tawarannya Rahma pun segera keluar bersama Intan. "Hilma," panggil Zahra seraya menyambar selimut milik teman barunya itu. "Kamu tidak mendengar, apa masih berada di alam mimpi?" Erangan tertahan tedengar, Hilma memicingkan matanya menatap keadaan sekitar yang aneh. Tersadar, bukan berada di kamar miliknya. "Solat tahajud, yuk," ajak Zahra. Hilma terduduk mengacak rambutnya asal. "Duluan, nanti nyusul." Zahra menggeleng tegas. "Yang ada, nanti kamu tidur lagi! Ayo, jangan males jadi anak santri!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD