Semalaman aku berdiri di depan pintu kamar kakek, sebuah pintu besar berlapis emas yang selalu ku tatap tak pernah terbuka.
Aku sangat khawatir, ingin rasanya aku masuk. Tapi akan terkesan tak sopan bukan? Berjalan kesana-kemari tak membuat hatiku tenang.
Bahkan Jar juga tak kunjung pulang setelah berpamitan tadi malam pada asisten rumah tangga di rumah ini, aku harus apa sekarang?
"Kakek.... Apa kakek baik-baik saja?...." Ucapku begitu tenang, takut jika seseorang terganggu di dalam sana.
Ceklek...
Pintu besar ini terbuka, wajah kakek begitu lusuh, kantung mata yang terlihat lebih mencolok dari sebelumnya.
"Kakek baik-baik saja? Apa aku bisa membantu? Aku mengkhawatirkan kakek semalaman."
Pria paruh baya ini tersenyum padaku, berlahan lengannya terulur mengelus lembut surai hitam ku.
"Aku sangat membutuhkan mu, mungkin bantuan ini akan mengecewakan mu."
Halisku bertautan.
"Ikutlah denganku Zeema, kau akan paham dengan sendirinya."
Sesuai ucapan kakek, aku mengikutinya dari belakang. Sepertinya kami akan kembali melakukan perjalanan, melihat Jar yang sudah siap dengan jas nya tengah berdiri di samping sebuah mobil berwarna hitam.
Dari kejauhan aku bisa melihat wajahnya yang tertekuk, apa pria ini kesal pada kakek?
Di dalam mobil, tak ada percakapan sepatah katapun. Aku memang kebingungan, tapi aku tak berani bertanya lagi.
Mobil yang kami tumpangi terhenti di sebuah tempat yang sangat luas, ada banyak para pria bertubuh besar berlalu-lalang di sini.
Bangunan yang begitu besar, berlapiskan kaca membuat bibir kecilku ini tak tertutup rapat. Bangunan modern yang sangat indah, tempat apa ini namanya? Kantor? Aku tak pernah melihat tempat seperti ini sebelumnya.
Kakek dan Jar, di sambut hangat oleh seorang pria yang sangat tak asing di mataku. Ya dia asisten pria menyebalkan itu, entah siapa namanya aku tak tahu.
Cukup lama berjalan, menaiki lift, berjalan kesana-kemari. Pria ini memberikan kami senyuman manisnya.
"Silahkan masuk tuan, hanya tuan besar yang boleh masuk."
Ucapannya itu membuat jar menatap tak senang pria di sampingnya, untuk kali ini jar terlihat manis di mataku.
Aku tak terlihat, karna aku roh yang bergentayangan. Aku bisa masuk, pergi, dan datang kapanpun aku mau.
Di dalam, ada seorang pria tengah duduk dengan pakaian yang sangat rapih, kemeja yang di lipat naik sampai sikuk, belum lagi tatapan elangnya. Ada kesan menyeramkan yang tampan di sini.
Pria itu melepaskan kacamata nya, berdiri menghampiri kakek, seraya menyimpan kedua tangannya di saku celana.
"Duduklah terlebih dahulu." Ucapnya yang meminta kakek untuk duduk di sofa yang tak terlalu jauh dari meja kerjanya itu.
Kakek dan aku duduk bersebelahan, jika harus ku simpulkan dari tatapan sekilas. Pria ini mampu memikat wanita manapun dengan parasnya, tapi tidak dengan sikap arogannya, wanita mana yang mau menerima pria arogan seperti ini?
"Bagaimana tuan besar?"
"Apa kau bisa memberiku waktu? Aku butuh waktu untuk memberikan sesuatu berharga ini padamu."
"Tentu, tapi aku tak perlu menegaskan mu untuk tak membuatku menunggu terlalu lama."
Kakek mengangguk, lalu memberikan sebuah map kertas.
"Aku sudah menandatangani surat perjanjiannya."
"Baik, aku menunggu persyaratan nya."
"Saka, apa kau sungguh akan menghancurkan hutan itu?" Tanya kakek begitu khawatir.
"Mungkin." Sahutnya.
Keduanya sama-sama terdiam untuk beberapa saat, kakek yang sibuk dengan pikirannya sendiri, disaka yang tak henti-hentinya menatap kakek begitu lekat.
Sementara aku....
Aku merasakan sesuatu yang berbeda di tubuhku, terasa lebih berat tak seringan sebelumnya. Seolah ada pemberat yang menarik kakiku, seperti kejadian sebelum aku mati.
Hanya saja, tak ada rasa takut.
Wuss....
Surai hitam panjang ini tertiup angin yang entah datang mana, selang beberapa waktu ku terdiam. Kakek bangkit dari duduknya,
"Baiklah, tuan Disaka. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya."
Disaka terlihat tenang, memainkan bibir tipisnya dengan sebelah tangan yang berurat.
"Apa anda keberatan jika menemani ku berkunjung ke hutan?" Tanyanya seraya beranjak bangkit.
Kakek menelan salivanya, memberikan anggukan ragu pada Disaka.
Pria itu mempersilahkan kakek untuk berjalan lebih dulu keluar, lalu aku mengikutinya.
Wuss....
Sekilas aku melihat Disaka yang terdiam mematung, menatap ke arahku. Kedua halisnya bertautan, sebelum akhirnya pria itu berkedip-kedip memberikan reaksi yang aneh.
Seperti seseorang yang baru saja melihat hantu, dan hantu itu langsung menghilang dengan satu kedipan...... Hahaha entahlah.
Di mobil, kakek dan Disaka duduk di kursi tengah. Sementara jar dan asisten pria itu duduk di kursi kemudi, tak ada para pria yang menjaga seperti sebelumnya. Tapi tenang saja kakek, aku akan melindungi mu jika pria mengerikan ini berbuat macam-macam!
Perjalanan yang cukup jauh, usai di tempuh. Kami berlima mulai memasuki area hutan yang di batasi pagar, dan sebuah tiang tinggi menjulang sebagai pintu masuknya.
Arah yang sama saat kakek membawaku sebelumnya, bagian hutan ini terlihat terawat memang, karna area ini adalah jalan utama sang pemilik hutan.
Biar ku beritahu sedikit, hutan ini memiliki banyak arah, ada arah yang sering ku lalui saat hendak ke kota adalah arah di paling ujung yang terhubung langsung dengan jurang, arah itu tak memiliki batas benar-benar seperti hutan.
"Tuan vang." Panggil Disaka.
"Ya?" Kakek menyahut tanpa melirik.
"Apa kau seorang indigo?"
Mendengar pertanyaan ini itu, kakek manatap horor ke arah Disaka.
"Aku hanya bertanya."
"Tidak, bagaimana bisa kau melemparkan pertanyaan konyol seperti itu padaku?"
Disaka tak berucap lagi, pria itu kembali berjalan dengan kedua tangannya di saku celana.
"Pria aneh..." Guamamku.
Sesekali Disaka terhenti, menyentuh batang pohon yang besar lalu kembali berjalan. Entah apa yang pria ini cari, bahkan asistennya saja sudah terlihat kebingungan.
"Tuan, apa yang sebenarnya anda cari?" Tanya asisten pria itu.
"Lahan, dan pohon yang memiliki kualitas terbaik." Sahutnya, tawa ku seketika pecah.
"Pria ini menyusahka!" Ucapku.
Bahkan aku melihat kakek tersenyum tipis.
Cukup jauh kami berjalan, bahkan gubuk kecil kakek saja sudah terlewati. Tapi pria ini belum juga puas.
Tak lama, pria ini berhenti juga. Menatap kesana-kemari, lalu menatap kakek, jar, dan asistennya bergantian.
"Apa kau merasakan aromanya wan?" Tanyanya.
Pria yang di panggil wan itu menggeleng. "Tidak tuan."
"Sungguh? Kenapa hanya aku yang merasakannya? Tuan vang?"
Kakek menggeleng.
Disaka berdecak, lalu kembali berjalan.
Tak terlalu jauh, barulah pria ini berhenti. Menatap pepohonan tinggi yang saling berdampingan.
Sedangkan aku, kedua mataku membulat.
"Tidak-tidak, jangan rumahku!"
Ada seringai jahat yang ku lihat di bibir tipisnya itu, membuatku menelan ludah.
Pria ini mengangguk pasti, menunjuk ke arah pohon besar yang menjadi tempat singgahku setiap malam.
"Aku menginginkan tempat ini!"
"JANGAN RUMAH KU!"
Blam!....