So I Married an Annoying Tomboy Girl

2700 Words
Liam’s POV Matanya berair dan hujan mengalir deras dari pelupuk matanya. Sungguh, aku tak sampai hati melihatnya. Kesedihannya adalah pukulan teramat berat untukku. Aku membenci keadaanku saat ini yang seakan hanya bisa pasrah pada keinginan orangtua dan mengorbankan cinta yang sedemikian besar untuk gadis cantik yang tengah duduk di hadapanku. Lalisa masih terus terisak. Entah berapa lembar tissue yang sudah ia habiskan untuk menyeka air matanya. Belum pernah aku melihatnya serapuh ini. Dua cangkir espresso yang sudah dingin seakan mewakili perasaan kami masing-masing yang membeku dan terluka. “Maafkan aku Lis. Aku nggak bisa menentang kehendak orangtua. Besok aku akan menjadi suami orang namun aku pastikan aku tak akan menyentuhnya. Aku akan membuat perjanjian dengannya untuk tidak melibatkan perasaan dalam pernikahan kami. Dia juga tak memiliki perasaan apapun terhadapku Lis.” Kutatap Lalisa dengan gempuran cinta yang seakan tiada pernah habis. Benar-benar sakit rasanya. Cinta yang tumbuh padanya sejak aku duduk di bangku SMA harus kuredam dan kukubur dalam-dalam. Dan sejujurnya sampai kapanpun aku tak mampu menghilangkan perasaanku padanya. Terlalu banyak kenangan indah yang pernah menjadi pemanis dalam perjalanan cinta kami. “Mungkin pernikahan kalian cuma sekedar status dan kalian tidak saling mencintai. Tapi tetap saja aku sakit Liam. Kamu akan bersanding dengannya di pelaminan, kalian akan tidur satu ranjang dan juga bertemu setiap hari, aku nggak bisa bayangin.” Lalisa kembali tersedu. Dan hatiku semakin teriris, perih, tercabik-cabik melihat penderitaannya. Kugenggam tangannya erat, “bukan hanya kamu yang menderita Lis, aku juga. Aku berharap bisa menyuntingmu dan membangun masa depan bersamamu. Dan aku harus menebus kesalahan yang dilakukan kakakku. Ini semua nggak mudah untukku Lis. Aku nggak punya pilihan lain. Aku mohon mengertilah..” Sauraku makin melemah. Bahkan aku tak berani menatap wajahnya. Karena setiap kali aku melihat tetes-tetes air mata yang membasah di pipinya, aku akan semakin terluka. Lalisa melepas genggamanku. Aku tersentak. Baru kali Lalisa menolak sentuhanku. “Sepertinya kita harus benar-benar menjaga jarak Liam. Kita harus menjauh. Aku nggak bisa meneruskan hubungan kita. Aku nggak mau dicap sebagai pelakor. Walau kenyataannya calon istrimulah yang merebutmu dariku. Tapi aku bisa apa? Dia yang akan sah menjadi istrimu.” Kali ini nada bicara Lalisa terdengar lebih tegas. Kenapa aku malah jadi sakit begini. Rasanya aku tak siap untuk berpisah dengannya. Aku masih sangat mencintainya. “Aku sudah bilang pernikahan ini hanya semata status di atas kertas Lis. Aku akan memikirkan gimana caranya agar kita bisa kembali bersama suatu saat nanti.” Lalisa beranjak dan tak mau membuat kontak mata denganku, “maafkan aku Liam. Aku tak bisa bersamamu lagi.” Lalisa semakin tercekat. “Terlepas dari apapun motif pernikahanku, aku tak bisa lagi mengharapkanmu. Terlalu sakit untukku jika aku terus bersamamu. Aku tak bisa membiarkan ada wanita lain diantara kita.” Lalisa berbalik dan berjalan secepat mungkin meninggalkanku yang masih duduk di sini dengan segenap perasaan yang tak bisa dideskripsikan. Seolah semua rasa sedih dari segala kesedihan yang menyayat tak ada hentinya menyergap, menghimpit dadaku dan begitu menyesakkan. Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Benar-benar hatiku sakit, patah sepatah-patahnya, ibarat kapas yang beterbangan ke segala sudut, kapas-kapas itu terlalu ringan untuk diterbangkan dan tak tahu dimana rimbanya, tak bisa dikumpulkan apalagi kembali disatukan. HANCUR...LEBUR...BERSERAKAN... Menata hati selepas perpisahan dengan orang yang kita cintai adalah sesuatu yang begitu sulit untuk dilakukan. Jika move on belum bisa dilakukan, setidaknya beri aku kemudahan untuk starting over atau minimal membiarkan semua berlalu tanpa ada luka di kedua pihak. Sungguh... seandainya aku tengah sendirian di sini aku ingin berteriak sekencang mungkin dan meluapkan segala penat yang menggelayut di kepala. ****** Aku tergugu dengan sedikit peluh yang mungkin sudah membanjir dari dahiku. Rasanya agak nervous. Bukan gugup karena antusiasme menyambut pergantian status, tapi gugup karena aku tahu selepas ini kehidupanku akan berubah. Aku akan menghabiskan hari-hariku bersama gadis tomboy menjengkelkan dan menyebalkan itu. Sebelumnya aku dan Ami sudah membuat kesepakatan bahwa selama menikah, tidak akan ada kontak fisik diantara kami. Aku bebas kemana saja, dia juga bebas bergaul dengan siapapun. Aku bebas mengerjakan aktivitas dan hobiku, begitu juga dengannya. Di depan umum kami akan berpura-pura mesra dan harmonis untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Kami tidak akan banyak menuntut. Aku duduk di depan penghulu dan om Hanan. Kulirik sejenak tamu undangan yang sudah memadati ruangan. Kupejamkan mataku, kuhirup napas dalam-dalam lalu kehembuskan perlahan. Beberapa menit lagi, mimpi buruk itu akan dimulai. Menikah dengan gadis yang tampilannya maskulin seperti laki-laki itu sama sekali tak pernah terpikirkan olehku. Bagaimana bisa aku bernafsu melihatnya. Sumpah, dia cowok banget. Membayangkan menciumnya saja, aku bergidik karena yang ada dalam imajinasiku, sama saja aku mencium laki-laki. Waktunya akhirnya datang juga. Om Hanan mengulurkan tangannya. Matanya lurus menatapku tepat menancap di kedua bola mataku. Kujabat tangannya dengan keringat dingin yang menyeruak dari pori-pori telapak tanganku. “Saudara Liam Prakasha bin Rinto Hardian saya nikahkan dan kawinkan putri kandung saya Ami Annida binti Hanan Irwansyah Liu kepada engkau dengan mas kawin emas sebesar 91 gram dan seperangkat alat sholat tunai.” Kuhela napas dan kusiapkan mentalku menyambut moment historis paling mnyedihkan dalam hidupku. “Saya terima nikah dan kawinnya Lalisa...” Ups..aku salah ucap. Para tamu undangan melongo, bahkan ayah dan ibuku menajamkan tatapannya padaku. Ayah sedikit melotot. Om Hanan menggelengkan kepala pertanda ia begitu kecewa. “Ulang kembali salah menyebut nama.” Ujar Om Hanan sedikit ketus. Di hati dan kepalaku cuma ada Lalisa sampai-sampai aku salah ucap karena secara refleks bibirku menolak perintah dari otak untuk mengucapkan nama Ami. Ijab diulang dari awal. “Saudara Liam Prakasha bin Kim Rinto Hardian saya nikahkan dan kawinkan putri kandung saya Ami Annida binti Hanan Irwansyah Liu kepada engkau dengan mas kawin emas sebesar 91 gram dan seperangkat alat sholat tunai.” Bismillah... kali ini jangan sampai salah ucap. “Saya terima nikah dan kawinnya Ami Annida binti Hanan Irwansyah Liu dengan mas kawin tersebut tunai.” Ada rasa lega kala kata “sah” membahana di seantero sudut. Kelegaan sekaligus jalan pembuka penderitaan awalku. Ami tidak meminta mahar khusus tapi dia bilang dia menyukai angka 9, makanya aku dan dia sepakat menggunakan mahar emas 91 gram, 9 adalah angka favorit Ami, sedang 1 adalah angka favoritku. Mataku dikejutkan dengan derap langkah Ami diiringi tante Agatha dan salah satu kerabatnya. Wedding dress yang ia kenakan tampak pas di badannya, serasi membalut tubuhnya yang tanpa lekukan itu. Entah apa yang ia gunakan untuk membuat dadanya lebih berisi, terlihat agak membusung. Pinggangnya juga terlihat langsing dan sedikit berlekuk. Ternyata bisa juga dia terlihat agak “cewek” sedikit. Sepertinya penata riasnya me-make over penampilannya habis-habisan untuk memunculkan sisi “wanita” dalam dirinya. Kupusatkan penglihatanku pada wajahnya. Make up yang menyapu wajahnya terkesan natural dan minimalis. Bunga-bunga kecil bertebaran menghiasi rambutnya yang tetap tertata pendek. Kenapa dia bisa cantik begini? The power of make up namanya. Atau jangan-jangan dia operasi plastik dulu sehari sebelum pernikahan. Ah ada-ada saja pikiranku ini. Tapi beneran, aku heran kenapa dia bisa terlihat beda dan cantik, kayak cewek pada umumnya. Ami duduk di sebelahku. Kami saling menatap sejenak. Segera kupalingkan wajahku. Menatapnya lama-lama hanya akan membuat mataku sakit. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan sungkeman kepada orangtua dan mertua. Aku mungkin tidak mencintai Amber dan aku terpaksa menikah dengannya, namun kata-kata om Hanan yang berbisik saat aku sungkem padanya, menggetarkan hatiku. “Liam, ayah nitip Ami ya. Jaga dia baik-baik. Sekarang kamu yang bertanggungjawab atas Ami. Jaga dia seperti ayah menjaganya. Bahkan kalau bisa kamu harus menjaga dia lebih baik. Bimbing dia untuk selalu berjalan di jalan yang baik. Di mata ayah, dia selalu menjadi putri kecil yang manis, yang dulu ayah tuntun tangannya saat dia berjalan, yang ayah gendong dan saat dia belepotan makan ice cream, ayah hapus jejaknya di pipinya. Ayah begitu menyayanginya. Ayah harap kamu bisa menyayanginya dengan tulus.” Jujur ada desiran dan rasa haru yang terlintas begitu saja di benak. Aku rasa semua ayah akan merasakan hal yang sama kala ia melepas putrinya untuk dinikahi oleh laki-laki yang akan menggantikan tanggungjawabnya. Sayangnya pernikahan ini sudah salah dari awal. Aku dan Ami tak akan pernah bisa benar-benar menjadi pasangan suami istri sesungguhnya. Saat seorang penyanyi papan atas menyanyikan lagu romantis di panggung, aku dan Ami diminta untuk berdansa bersama. Dengan sangat terpaksa aku menggandeng tangannya dan kami pun berdansa dengan gerakan yang kaku dan suasana begitu canggung. Ami tak mahir berdansa. “Ayo cium pengantin wanitanya...” Tukas salah seorang tamu undangan. “Cium..cium...cium..” Sorai yang lain seakan kompak menjebakku di situasi ini. Bahkan ayahku memintaku untuk mencium Ami. Di depan semua tamu? Apa-apaan ini? Aku dan Ami saling menatap. Wajahnya terlihat memerah. Bisa juga dia tersipu. haduhh... rugi di aku kalau aku sampai menciumnya. Aku tak yakin gadis tomboy ini mampu membalas ciumanku. Kata ibuku, Ami belum pernah pacaran. Tak heran sih kalau dia belum pernah pacaran, cowok-cowok yang akan mendekatinya mungkin mundur teratur karena risih melihat penampilannya yang terlalu tomboy. Para tamu semakin mendesakku untuk mencium Ami. Suasana begitu bising. Aku tak tahan lagi meredam permintaan tamu yang aneh ini. Terpaksa kudekatkan wajahku padanya. Bisa kurasakan deru napas Ami terdengar tak beraturan. Mungkin dia terlalu gugup. Kukecup bibirnya. Benar saja, bibirnya masih mengatup. Dia tak tahu cara membalasnya. Tapi aku bisa merasakan dia begitu kaget saat ujung bibirku menyentuh bibirnya. Kenapa rasa bibirnya begitu manis, membuatku tertantang untuk melumatnya lebih dalam. Seketika aku ingat, aku tak akan melibatkan perasaan apapun dalam pernikahan kami. Kujauhkan kembali wajahku. Suara tepuk tangan bergema. Aku mendengar beberapa bisikan dari para tamu undangan. Mereka bilang aku dan Ami pasangan yang serasi dan romantis. Rasanya akting kami untuk selalu tampil mesra dan harmonis di depan publik berhasil membuat mereka terpana. ****** Selepas acara resepsi, ayah memerintahkan asistennya untuk mengantarku dan Ami ke hotel yang sudah ayah booked. Kami akan menghabiskan tiga hari di sana untuk honeymoon. Setidaknya honeymoon versi orangtuaku. Bagi kami tidak akan ada yang namanya honeymoon. Setiba di hotel, aku dan Ami disambut langsung oleh General Manager hotel ini. Maklum dia mengenal dekat keluargaku, jadi dia menyambut secara khusus kedatangan kami. Tadi siang dia juga hadir di resepsi pernikahan kami. GM bernama Robby itu mengantar kami ke kamar yang sudah dibooked. Barang-barang bawaan kami dibawakan oleh Guest Relation Officer (GRO). Isinya hanya pakaian ganti. Kami bahkan belum sempat berganti pakaian, masih mengenakan pakaian pernikahan. “Selamat berbulan madu ya.” Robby mengedipkan sebelah matanya sebelum akhirnya ia keluar dari kamar. Kini giliran aku dan Ami berdua terjebak di sebuah kamar mewah namun rasanya seperti di ruangan yang sempit, menyesakkan. Tanpa saling bertegur sapa, Ami langsung memasuki kamar mandi. Mungkin dia akan mandi. Aku duduk-duduk di sofa sambil menyalakan televisi. “Liam....bisa minta tolong.” Ami memanggilku cukup keras dari dalam kamar mandi.” Aku beranjak dan mendekat ke arah pintu kamar mandi, “minta tolong apa?” “Buka saja pintunya Liam.” Aku buka pintu itu perlahan. Kulihat Ami tengah berusaha melepas resleting gaun pengantinnya yang ada di bagian belakang. “Gue kesusahan ngebuka resletingnya. Gue minta tolong bukain ya.” Kuperhatikan Ami memang kesulitan membukanya. Aku ragu sejenak. Kasihan juga jika aku tidak menolongnya. Kulangkahan kaki lebih dekat padanya. Kubuka resleting itu. Kini aku bisa melihat jelas punggung Ami yang begitu mulus denga tali pengait b*a yang masih melingkar di punggungnya. Ini pertama kali aku melihat bagian punggung perempuan dan juga pengait b*a yang menggodaku untuk membukanya. Shit...apa-apaan aku ini. Bagaimana mungkin wanita tomboy ini berhasil menggodaku. Dia pasti sengaja meminta tolong membukakan resletingnya. Diam-diam dia punya pikiran m***m. “Udah sana keluar. Gue mau mandi.” Ucapnya ketus dan membuatku kaget. “Jadi gini cara lo berterimakasih? Ketus amat ngusir gue.” Aku melotot padanya. “Emang lo mau ikut mandi di sini? Nggak usah ngarep.” Ami begitu sewot dan jutek. Sok amat, belagu sok kecantikan. Okey gue akui, malam ini dia cakep. Tapi setelah make up itu luntur, mukanya bakal balik ke awal lagi. Nggak ada cantik-cantiknya, nggak bikin nafsu. “Siapa yang ngarep mandi ama lo? Lo yang ngarep. Lo sengaja minta tolong gue ngebukain resleting. Padahal lo punya niat terselubung pingin mancing-mancing gue.” Aku tak mau kalah. “GR amat sih lo. Ngapain gue mancing-mancing lo. Mending gue mancing ikan di empang. Cepetan keluar!” Ami mendorong tubuhku sampai keluar kamar mandi. Hampir saja aku terjatuh. Begitu aku di luar kamar mandi, Ami menutup pintunya begitu kencang. Dasar, sok kecakepan, sok seksi, sok kecantikan, kayak yang iya aja. Beuh...dia sangat menyebalkan. Masih untung ada yang mau nikahin lo. Kalau aku nggak nikahin kamu, kamu pasti bakal jadi perawan tua. Kurebahkan badanku dan mataku hanya mampu menerawang ke langit-langit dengan segenap rasa muak bercokol sampai ke ubun-ubun. Benar-benar s**l, aku harus kehilangan gadis secantik Lalisa yang anggun, berkelas dan menyenangkan ditukar dengan sosok gadis tomboy yang jutek, nyebelin, nggak ada cantik-cantiknya, nggak ada manis-manisnya, cerewet.. Beuh ibarat emas 24 karat ditukar batu kali yang nyemplung ke comberan. Suara gemericik air diiringi nyanyian dari bibir Ami menggema di segala sudut. Oh ya ampun aku baru ingat, aku baru saja menciumnya tadi siang. Kulap bibirku. Rasanya aku tak ikhlas jejak bibirnya masih menempel di bibirku, meski rasanya manis...Beuh apa-apaan aku ini. Aku akui suara Ami memang bagus saat bernyanyi. Ayahnya pernah bercerita Ami sering diundang menyanyi di resepsi pernikahan. Tak lama kemudian suara gemericik air itu berhenti, gantian aku yang masuk dalam kamar mandi. Ami sudah mengenakan piyama laki-laki saat keluar dari kamar mandi. Hmm, dia tak ingin berganti baju di depanku. Dia pikir aku tertarik meneliti setiap jengkal tubuhnya? Dia nggak pakai baju sekalipun, aku tak akan tertarik. Ami’s POV Hari ini adalah hari terburukku. Aku menikah dengan seseorang yang tak kucintai dan perangainya begitu buruk. Aku tak habis pikir bagaimana bisa dia bekerja menjadi dosen di universitas ternama. Gaya bicaranya saja sama sekali tak mencerminkan bahwa dia orang berpendidikan, nyolot, kasar, ngotot, dan tak enak didengar. Baru sehari menjadi istrinya rasanya sudah uring-uringan begini, gimana nanti ke depan. Aku memang gadis tomboy yang kadang tak selalu bersikap manis dan aku sadar benar wajahku memang tak secantik gadis lain. Tapi mendengarnya selalu menghina penampilan fisikku dan mengatakan aku ini seperti laki-laki, tentu terkadang menorehkan sakit hati, yang tak sekedar sakit hati ringan tapi juga kronis. Kadang aku begitu lelah menghadapi serangkaian bullying verbal yang menyebutku si d**a datar, nggak ada sisi “ceweknya” dan nggak ada cantik-cantiknya. Kini aku harus menerimanya setiap hari. Aku yakin dia akan terus mencaciku selama kami masih tinggal seatap. Aku memang bukan gadis yang tumbuh dengan mendengar banyak cerita dongeng atau kisah percintaan pangeran dan gadis desa yang berakhir bahagia, tapi aku juga punya impian akan pernikahan yang indah. Pernikahan dimana mempelai perempuan dan laki-laki saling mencintai dan menguatkan. Pernikahan yang kuat dengan visi dan misi jelas, bukan pernikahan tak jelas dan menyiksa lahir batin seperti yang tengah kami jalani. Rasanya lelah jiwa raga, padahal ini baru di awal. Belum lagi patah hati karena kecewa pada sikap Kris yang menolak perjodohan kami rasanya masih membekas hingga kini. Aku belum bisa menghapus bayang-bayangnya. Selama hidupku aku hanya pernah jatuh cinta sekali, pada Kris. Hingga detik ini rasa cintaku masih utuh untuknya kendati ia telah menyakitiku. Dan jujur, aku begitu terluka. Kadang ketika berada di kamar mandi, aku bisa begitu emosonal meluapkan kesedihanku. Air mata terus berlinang dengan suara isak tangis yang tertahan. Aku tak ingin seorangpun tahu bahwa saat ini aku begitu jatuh dan rapuh. Andai saja sikap Liam bisa lebih baik padaku mungkin aku tak akan sesedih ini. Impianku untuk merasakan pernikahan yang indah dan romantis telah kandas dan aku harus merelakan hari-hariku menjadi lebih buruk karena menikahi seseorang yang sangat membenciku dan akupun membencinya. Mungkin ini sudah suratan takdir yang harus kujalani. Malam ini kami berbaring bersebelahan dengan celah jarak yang agak jauh, dibatasi bantal guling. Kami tidur saling memunggungi. Aku tak tahu apakah dia sudah benar-benar terlelap atau belum. Aku kesulitan memejamkan mataku kendati hari ini tubuhku begitu lelah. Begitu banyak yang aku pikirkan. Sesaat aku teringat akan moment dimana dia mengecup bibirku. Itu adalah ciuman pertamaku. Rasanya terlambat menyesali namun aku ingin menangis saat dia melakukannya, karena kurasa, aku telah memberikannya pada orang yang salah. Untunglah kami sudah bersepakat untuk tidak melakukan kontak fisik apapun meski kami sudah melanggarnya saat kami berciuman. Aku harap mimpi buruk ini segera berakhir, entah sampai kapan...tapi aku ingin bisa lepas darinya suatu saat nanti... ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD