How to Deal with an Annoying Husband

3205 Words
Ami’s POV Pagi ini aku dan Liam sarapan di restaurant hotel, tentu saja masih dengan atmosfer canggung dan tak nyaman. Entahlah setiap kali berada dekat dengannya, aku seakan harus mempersiapkan mental untuk menghadapi celetukannya yang seringkali pedas melebihi cabai rawit. Tak ada sepatah kata, hanya suara denting garpu yang memecah kebekuan diantara kami. Di hadapan kami sudah tersaji menu continental breakfast, ada muffin, jus buah, bagel, waffle dan juga kopi. Jujur nasi goreng buatan Bi Ijah asisten di rumahku jauh lebih menggugah selera dibanding ini. Mata kami beradu sejenak. Tampangnya tak pernah menunjukkan sikap bersahabat. Aku selalu saja melihat sorot kebencian di matanya. Seganteng apapun wajahnya tapi kalau songongnya kebangetan gini, levelnya jadi turun mendekati minus. “Kenapa lo lihatin gue? Baru sadar kalau gue ganteng?” Mulai lagi sikapnya yang menyebalkan. Rasa-rasanya sedari kecil sikapnya memang tak berubah, selalu menyebalkan, tengil dan kata-katanya seringkali bikin naik darah. “Nggak usah sok kegantengan. Gue nggak lagi lihatin lo. Kebetulan aja tatapan gue lagi ke depan.” Liam menyeringai dan aku jengah menatap ekspresi wajahnya jika sedang begini. “Ngeles lo. Inget kesepakatan kita dari awal, jangan melibatkan perasaan apapun dalam pernikahan kita. Jaga sikap lo. Kalau terus curi-curi pandang ke arah gue, lo bisa jatuh cinta ama gue.” Liam menegaskan kata-katanya. Dia seringkali merasa dirinya ganteng luar biasa dan sanggup menaklukkan cewek manapun. Cowok model begini kalau dinilai attitudenya dari skala satu sampai seratus maka nilainya minus lima, nggak masuk dalam daftar skala. “Tanpa lo ingetin gue udah sangat paham Liam. Jangan asal njeplak. Gue heran orang seperti lo bisa jadi dosen. Gimana nasib mahasiswanya? Bisa-bisa otaknya konslet mirip dosennya.” Sekarang raut wajah Liam berubah menganga. Sepertinya dia marah dan tersinggung. So what? Dia sudah sering menyinggung perasaanku. Sesekali dia harus diberi tahu bagaimana efek sebuah kata pedas bisa mempengaruhi kondisi psikis seseorang secara keseluruhan. “Jaga bicara lo Mi. Gue tahu benar gimana memposisikan diri gue saat gue di kampus dan di luar kampus, saat gue ada di acara formal dan non formal. Gue orang yang fleksibel dan bisa membawa diri. Saat gue menjalankan peran gue sebagai dosen, sikap gue bakal lebih teratur, omongan gue lebih formil dan tertata dan gue selalu bisa jadi role model yang baik buat mahasiswa.” Aku tersenyum sinis, “apa bedanya gue ama mahasiswa lo? Sama-sama manusia. Paling nggak hargai gue sama seperti lo menghargai mahasiswa atau orang lain di sekitar lo.” Liam memalingkan wajahnya ke arah lain lalu kembali menatapku masih dengan sorot kebencian. “Jadi sekarang lo minta gue memperlakukan lo sebagai istri? Istri beneran? Inget kembali ke kesepakatan awal Mi.” “Gue nggak nuntut lo buat memperlakukan gue sebagai istri. Paling nggak hargai perasaan gue sebagai manusia, lebih tepatnya sebagai cewek.” Liam meneguk jusnya lalu kembali meletakkan gelasnya di atas meja. Tatapannya kembali menyisir ke arahku. “Jangan merasa paling menderita Mi. Soal perasaan, gue yang berkorban lebih banyak. Lo bisa bayangin nggak? Gue lagi cinta-cintanya sama pacar gue. Kita berdua punya impian buat bangun masa depan bareng. Dan gara-gara gue nikahin lo, gue harus mengubur semuanya. Lo bisa bayangin sakitnya.” Aku menghela napas sejenak, “sesuai kesepakatan kita bebas nglakuin apa aja. Lo bebas ketemu dia. Mau terus berhubungan dengan dia juga silakan. Gue nggak akan nglarang.” Liam menaikkan sebelah sudut bibirnya, “dia ninggalin gue gara-gara gue nikah ama lo. Lo nggak tahu gimana rasanya patah hati karena lo nggak pernah pacaran.” Kupejamkan mataku sejenak lalu kubuka lagi. Kutatap dia lebih tajam. “Gue nggak tahu rasanya patah hati? Lo lupa, abang lo kabur dua hari sebelum pernikahan. Lo tahu gimana rasanya? Sakit Liam. Sakit banget. Ini bukan semata rasa malu dan harga diri diinjak-injak karena gue ditolak mentah-mentah, tapi ini juga tentang gimana perasaan yang udah berakar sejak lama harus dipaksa dicabut dan dimusnahkan. Gimana harapan yang sempat terbangun harus tumbang sebelum selesai dibangun.” Kucoba menguasai emosi. Setiap kali membicaakan Kris ada rasa sakit yang teramat menyiksa, seolah meremukkan semua yang ada. Liam terdiam sejenak. Dia balas menatapku tajam. “Sebenarnya ini salah lo sendiri Mi. Lo terlalu berharap banyak ama Kris. Padahal lo tahu Kris orangnya seperti apa. Dia nggak pernah serius ama cewek. Kenapa lo masih berharap ama dia?” Kutarik napas dan kuhembuskan perlahan. “Gue nggak akan berharap kalau dia nggak pernah ngasih harapan Liam. Lo nggak tahu apa-apa. Coba lo bayangin, lo punya sahabat deket dan dia selalu datang saat ada masalah. Dia berbagi semuanya. Dia percaya sepenuhnya ama lo. Dia bilang lo orang yang paling mengerti dia. Lo selalu terbuka menyambutnya meski lo tahu, kadang dia memandangmu sebelah mata dan hanya datang saat ada masalah. Tapi lo terlanjur mencintainya. Hingga akhirnya dia menyambut perjodohan kalian. Dia bilang mungkin dengan perjodohan ini dia bisa berubah dan berhenti berpetualang mencari cinta. Tapi dua hari menjelang pernikahan, dia menghilang begitu aja. Cewek mana yang nggak sakit diperlakukan kayak gini Liam. Cewek mana yang nggak baper diperlakukan begitu manis seolah-olah dia menginginkan kita tapi pada akhirnya kita dihempas jauh-jauh. Sakit Liam...” Kutandaskan ucapanku saat aku mengucap “sakit”. Hampir saja air mataku jatuh tapi kubendung sekuat mungkin. Orang seperti Liam tak akan peka dengan hal-hal seperti ini. Dan lihatlah, aku baru saja mengelurkan curahan hatiku pada cowok tengil ini. Bahkan aku tak membaginya dengan Luna atau Henry, tapi aku justru meluapkan segala yang menghimpit dadaku padanya, pada orang yang salah. Aku mencintai Kris dalam diam dan aku tak pernah menceritakan pada siapapun tentang dalamnya perasaanku padanya. Liam tak merespon apapun. Dia menunduk dan mengaduk-aduk kopinya tanpa meminumnya. Tiba-tiba datang seseorang menghampiri kami. Dia orang asing, mungkin teman Liam. “Hi Liam how are you?” Tanya bule berpakaian santai tersenyum cerah menyapa Liam. Liam beranjak dan menjabat tangan bule tersebut, “Hi Jack, I’m fine, how are you? Long time no see.” Giliran bicara dengan orang lain, Liam bisa berlaku ramah. “I’m fine Liam. By the way congratulation for your wedding. I’ve heard it from Selena.” Liam mempersilakan bule itu duduk bersama kami. “I didn’t know you were in Indonesia so I didn’t invite you. I’m sorry.” “It’s okey Liam. I can understand. So where is your wife?” Bule itu mengedarkan pandangannya dan tatapannya berhenti kala menatapku. Apa dia baru menyadari keberadaanku. “Is he your friend Liam?” What? He? Dia mengiraku laki-laki. Kulihat Liam tergugu dan bibirnya seolah kelu untuk sekedar mengakui bahwa aku istrinya. Mungkin dia malu untuk mengakuinya. Kulihat Liam hanya mengangguk. Meski kami sepakat untuk tidak main perasaan dalam pernikahan ini, tapi tidak diakui sebagai istri dan hanya diakui sebagai teman, ini sangat menyakitkan. Liam melirikku dan kualihkan pandanganku ke arah lain. ****** Setelah sarapan, kami memutuskan untuk mencoba fasilitas kolam renang di hotel ini. Liam bertelanjang d**a dan mengenakan celana renangnya. Aku memilih mengenakan pakaian renang yang memang sudah disiapkan di koperku. Untungnya modelnya bukan bikini, tapi model celana pendek, meski bagian atasnya masih terlalu seksi untukku. Aku tak terbiasa mengenakan pakaian terbuka. Akhirnya aku ganti dengan kaos pendek. Kulirik Liam. Aku akui postur tubuhnya ideal dan bisa kusaksikan betapa cewek-cewek yang ada di pinggir kolam terpana menatapnya. Tapi tetap saja fisik yang menawan tak ada artinya tanpa diimbangi kepribadian yang bagus. Liam menceburkan diri ke kolam dan berenang ke ujung seberang sedang aku masih duduk memandangi sekeliling. Aku suka renang, hanya saja aku kurang mood. Terlebih lagi ada Liam di sini. Sejak awal menikah tidak ada kesan baik sama sekali tentang dirinya. Liam berenang kembali ke ujung awal. Gerakannya cukup gesit. Dia berhenti berenang dan menatapku dari kolam. “Kenapa lo nggak renang? Lo nggak bisa renang?” Suaranya selalu saja terdengar nyolot. Kayaknya dia nggak bisa bersikap lembut padaku. “Lagi nggak mood.” Jawabku singkat. “Bilang aja lo nggak bisa.” Senyum sinisnya keluar lagi. Tanpa kujawab pertanyaannya langsung saja aku mencebur ke kolam dan berenang. Saat aku sampai ujung dan berhenti berenang, aku lihat Liam hanya menatapku datar. Selesai berenang kami bersantai di kamar hotel, menonton televisi. Tidak ada acara menarik sih tapi sungguh aku sudah bosan di sini dan ingin cepat pulang. Kukirim pesan WA pada Sita, asisten pribadi yang kupercayakan mengelola toko craft selama aku tak ada. Stok busy book dan boneka karakter menipis. Aku sudah membuat banyak pola, tinggal diserahkan pada karyawan bagian pemotongan pola, setelah itu baru diserahkan ke bagian jahit. Hanya saja kadang ada customer yang meminta tema khusus. Jika ada tema khusus aku yang membuat polanya langsung, biasanya langsung kugunting flanelnya. Liam melirikku dengan mulut yang sibuk mengunyah kacang almond. “WA-an ama siapa lo?” Tanyanya penuh selidik. Sepertinya dia berbakat menjadi cenayang. Dia bisa menebak aku tengah chat di WA. “Apa urusan lo? Lo lagi belajar jadi suami ya? Ampe kepo ama apa yang dilakuin istri.” Liam tertawa pendek, “gue nanya kayak gini bukan berarti gue lagi berperan sebagai suami. Gue heran aja lo asik sendiri sedang program acaranya cukup menarik.” “Buat aku nggak menarik.” Balasku tanpa menolehnya. Sesaat kemudian datang WA dari Luna. Ciyeee yang lagi honeymoon. Ampe lupa nggak nyapa gue di WA. Membaca WA dari sahabat rasanya seperti mendapat harta karun terpendam. Jujur aku kangen dengan Luna dan Henry, dua sahabat yang selalu ada buatku kapanpun aku butuh teman sharing dan bicara. Aku ingin bertemu mereka untuk sedikit meringankan beban. Ami : Maaf, gue bukannya lupa tapi belum sempat aja. Kita ketemuan yuk Lun, bareng Henry. Luna : Bukannya lo lagi honeymoon? Ami : Gue honeymoon di hotel, deket ama mall. Kan bosen kalau di hotel mulu. Ayolah ketemuan, ntar gue traktir deh. Luna : Iya boleh deh. Gue WA Henry dulu ya. Aku melirik Liam yang masih sibuk mengunyah. “Gue mau ke mall ketemuan ama temen-temen gue.” Liam meletakkan mangkok berisi kacang almond lalu menolehku. “Gue ikut. Gue juga mau ketemuan ama temen gue.” “Ya udah. Gue mau siap-siap dulu.” Aku melangkah menuju lemari untuk mengambil baju. Setelah itu aku masuk kamar mandi untuk berganti baju. Sekitar sepuluh menit kemudian kami keluar kamar. Jarak mall hanya sekitar 200 meter dari hotel, jadi kami berjalan kaki menuju mall. Aku cukup kesal karena selama berjalan ke mall, Liam mempercepat langkahnya dan sengaja meninggalkanku di belakang. Dia berjalan di depanku. Aku tahu kenapa dia seolah nggak mau berdekatan denganku. Dia malu memiliki istri sepertiku karena di matanya aku nggak pantas mendampinginya. Aku kurang menarik, kurang cantik dan kurang-kurang lainnya seperti yang selalu ia katakan tentangku. Tatapanku menyisir pada sosok nenek yang berjalan bergandengan dengan seorang kakek. Aku menduga mereka sepasang suami istri. Tanpa sadar, senyum terkerling dari bibirku. Betapa indah romansa pernikahan mereka. Menua bersama dan insya Allah cinta mereka hanya akan terpisahkan oleh ajal. Gurat-gurat penuh kerut yang menghiasi wajah mereka seakan menjadi simbol akan perjuangan hidup yang telah mereka lalui, menjadi jejak rekam historis sebuah perjalanan kisah cinta. Tak ada yang lebih indah selain memiliki seseorang yang akan tetap menggenggam tanganmu kendati rambutmu telah memutih dan fisikmu semakin ringkih. Seseorang yang akan menceritakan indahnya dunia ketika pandangan matamu merabun dan tak jelas melihat. Seseorang yang akan setia di sisimu dalam kondisi apapun. Tatapanku beralih kepada pasangan muda yang juga saling bergandeng tangan. Aku tak tahu pasangan ini sudah menikah atau belum. Tapi jujur, aku jadi baper sendiri. Aku pernah membayangkan Kris akan menggandeng tanganku ketika kami telah menikah. Dia akan melindungiku dan menawarkan bahunya setiap kali aku butuh seseorang untuk bersandar. Namun kini harapan itu sudah hancur, lebur tak bersisa sedikitpun. Hatiku mencelos, terlebih saat kutatap langkah L semakin jauh. Laki-laki itu yang sekarang bergelar “suami” nyatanya tak mengerti bagaimana memperlakukan seorang wanita. Mungkin seumur hidupnya dia hanya bisa memahami mantan pacar dan ibunya, tidak dengan wanita lainnya. Atau hanya padaku saja dia bersikap begitu menyebalkan. Aku dan Liam sama-sama janjian dengan teman masing-masing namun tempat janjian kami berbeda. Aku bertemu Luna dan Henry di kedai pizza. Sedang Liam bertemu teman-temannya di coffee shop yang ada di dalam mall. Author’s POV “Liam...” Laki-laki berperawakan tinggi dan berwajah tampan melambaikan tangan kepada Liam yang terlihat menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan teman-temannya. “Chandra.. “ Liam tersenyum dan melangkah lebih cepat menuju Chandra dan Luhan. Saat Liam mengirim WA kepada johan, kedua temannya itu memang sudah berada di coffee shop, karena itu Liam menyusulnya. Di saat yang sama Ami juga janjian dengan teman-temannya di mall ini. Liam duduk bergabung dengan Chandra dan johan. Seorang waiter mendekat. Liam memesan americano. “Gimana nih kabarnya pengantin baru? Kok muka lo keliatan mendung? Mana nyusul segala ke sini. Emang lo nggak lagi honeymoon?” Chandra terkekeh dan mengamati raut wajah Liam yang tidak seceria biasanya. Ditatapnya Chandra dan johan bergantian. Sebenarnya Chandra dan johan adalah sahabat dekat Kris. Namun karena mereka sering main ke rumah dan sering pula bertemu dengan Liam, mereka pun menjadi akrab. “Gue honeymoon di hotel, deket dari sini.” “Gimana rasanya malam pertama?” Tanya Chandra tanpa basa-basi diiringi sebelah alisnya yang terangkat. Liam menggeleng, “nggak ada malam pertama. Kalian tahu sendiri gue kepaksa nikah ama Ami. Gue nggak cinta dia, gimana bisa gue melakukannya.” johan terkekeh, “cowok kadang nggak butuh cinta buat nglakuin itu.” Liam menyeringai, “ya kalau ceweknya cakep mending. Ini bentuknya nggak jelas, kayak cowok, gimana gue bisa nafsu.” Tawa Chandra meledak, menarik perhatian pengunjung yang lain. “Ketawanya dikondisikan Dul, malu-maluin aja lo.” johan menyikut lengan sahabatnya yang koplak itu. Obrolan mereka berhenti sejenak kala sang waiter mengantar pesanan Liam. Setelah waiter itu berbalik, mereka melanjutkan perbincangan yang sempat terhenti. “Ya meski dari luar dia kelihatan kayak cowok, yang penting onderdilnya asli kan?” Chandra menaikkan alisnya. “Mana gue tahu. Gue belum pernah lihat isinya.” Lagi-lagi Chandra tertawa ngakak mendengar jawaban Liam. “Sumpah Chan lo ini cakep tapi malu-maluin. Ketawanya dipelanin napa?” johan melirik beberapa pengunjung yang menoleh ke arah mereka karena terganggu dengan tawa Chandra. “Ya dilihat donk Liam.” Ujar Chandra santai. “Maksud lo?” Liam mengernyitkan dahi. “Masa lo nggak paham? Rugi kali udah nikah tapi nggak ngapa-ngapain. Yang belum nikah aja ampe dibela-belain nyungsep ke semak-semak, giliran tercyduk bilangnya nggak bisa nahan. Nah lo udah nikah, udah punya SIM kok ya nggak dimanfaatin?” Cerocos Chandra. “SIM? Apa hubungannya ama SIM?” Lagi-lagi Liam tak bisa memahami maksud pekataan Chandra. “SIM itu surat izin meniduri. Artinya mau lo cinta atau nggak ama Ami, manfaatinlah SIM itu. Tiduri Ami dulu sebelum lo balikan ama Lalisa.” johan yang tengah menyeruput lattenya pun tersedak mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Chandra dengan begitu frontal. Liam tersenyum sinis, “gue nggak tertarik ama dia. Nggak nafsu.” “Yakin lo?”Chandra meledek dan tersenyum menggoda. “Ami sebenarnya manis kok Liam. Kemarin waktu nikah, dia kelihatan beda banget. Gue aja pangling.” johan mengaduk lattenya dan meneguknya sekali lagi. “Nggak semudah itu melakukannya. Kalau nggk ada chemistry apapun ya bakalan susah. Lagipula sekian tahun gue jaga keperjakaan gue, masa iya gue kasihkan ke Ami.” Chandra terkekeh, “dia kan istri lo. Masa lo mau serahin ke cewek lain? Ikuti aja saran gue Liam. Masa iya lo nggak penasaran? Banyak yang bilang s**s itu surganya dunia.” Liam terpekur. Kata-kata Chadra ada benarnya juga. Rasa penasaran itu pasti ada, toh every man can have s*x with anyone without feelings. Liam mempertimbangkan baik-baik. ****** Ami duduk mengaduk-aduk jus di hadapannya sambil melirik-lirik ke arah pintu untuk memastikan apakah Henry dan Luna sudah tiba atau belum. Waiter mengantarkan senampan pizza. Ami hanya menatapnya datar. Dia tak akan memakannya sebelum kedua sahabatnya datang. Mata Ami berbinar seperti baru saja melihat Zayn Malik lewat di depan mata. “Luna...Henry...” Kedua sahabat gadis tomboy itu tersenyum lebar dan melangkah mendekat ke arah Ami. “Waduh pengantin baru tambah cantik aja, auranya mah beda kalau udah nikah.” Luna meledek dan senyum belum jua hilang dari wajahnya. “Ini pizzanya udah siap? Boleh langsung makan donk.” Henry menatap pizza berukuran jumbo itu dengan senyum merekah seperti anak kecil melihat balon berwarna-warni. “Iya dimakan aja.” Tukas Ami dengan senyum ramahnya. “Gimana rasanya nikah Mi?” Luna menyangga dagunya dengan dua telapak tangan yang bertaut satu sama lain. Lidah Ami mendadak kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan Luna. Ami mengulas senyum, “ehm..rasanya seneng.” Balas Ami menutupi perasaan yang sesungguhnya. “Cuma itu?” Luna bertanya lagi. “Lo nggak pinter milih pertanyaan Lun. Nih contoh gue. Gue mah nggak bakal basa-basi. Langsung to the point, gue mau nanya ama Ami, gimana rasanya malam pertama Mi?” Ami dan Luna melongo mendengar pertanyaan dari Henry. “Ah pikiran lo mah ujung-ujungnya ke situ.” Luna mencibir. Henry tertawa, “ya wajarlah gue penasaran gimana teman kita yang maskulin ini melalui malam pertamanya.” Henry menatap Ami tajam, seolah menuntut Ami untuk menjawabnya. Gantian Luna melirik Ami, “gue juga jadi kepo hahaha.” Ami menghela napas, “kami belum melakukannya.” “Beneran? Lha dari kemarin honeymoon di hotel, kalian ngapain aja?” Luna membelalakan matanya.” “Kami menikah karena dijodohin Lun. Kami nggak saling cinta. Gimana mau melakukannya? Lagipula dia selalu menghina fisik gue. Katanya d**a gue datar, nggak ada yang menarik dan nggak ada cantik-cantiknya.” Celoteh Ami yang sudah tak tahan menahan beban itu sendirian. Dia butuh dua sahabatnya ini untuk mendengarkan curahan hatinya. “Apa dia bilang gitu? Songong banget suami lo.” Luna emosi mendengarnya. “Cowok kayak gitu perlu dikasih pelajaran.” Tiba-tiba terlintas ide untuk mengerjai Liam di kepala Henry. “Dikasih pelajaran gimana?” Ami membelalakan matanya. “Buat dia menarik kata-katanya Mi. Selama ini dia kan bilang lo nggak menarik, nggak cantik, nah lo pancing dia biar dia tertarik ama lo.” Jelas Ami, memancing rasa penasaran Ami dan Luna. “Caranya gimana? Cowok kan lebih tahu soal ini. Apa yang bikin cowok tertarik ama cewek.” Luna menyibak helaian rambutnya ke belakang. Henry tersenyum, “pakai lingerie yang seksi abis Mi. Gue jamin cowok sealim apapun kalau disuguhin pemandangan kayak begitu pasti dadanya naik turun. Kalau perlu rayu dia atau paling nggak bikin gerakan tubuh yang e****s sampai suami lo kerangsang. Setelah dia benar-benar menginginkan lo, jauhi dia, nggak usah dikasih jatah. Gue jamin suami lo bakal uring-uringan dan ngamuk-ngamuk nggak jelas.” Henry menutup kata-katanya dengan tawa renyahnya. Luna dan Ami saling berpandangan. “Saran Henry kayaknya perlu dicoba Mi. Suami songong kayak begitu perlu dikasih pelajaran.” Ami menatap Luna dengan dahi berkerut, “gue nggak pernah pakai lingerie, nggak punya juga. Malu lah kalau gue pakai baju kurang bahan macam lingerie.” “Ngapain mesti malu, kalian kan udah nikah. Udah halal.” Henry menaikkan alisnya. “Gini aja, abis ini kita cari lingerie buat Ami. Sumpah gue nggak sabar pingin tahu gimana respon Liam dikerjai begini.” Ami ragu jika cara ini berhasil mengerjai Liam yang begitu ketus padanya. Jangankan tertarik, melihatnya saja rasanya Liam begitu enggan. Tapi dia tak bisa berbuat banyak. Dia turuti saja saran dari dua sahabatnya. Dan ia pun penasaran ingin tahu reaksi Liam saat dirinya mengerjainya nanti. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD