Lamaran

2039 Words
Sesuai agenda dua hari yang lalu, ia memang harus mengisi sesi sambutan untuk acara pelatihan mahasiswa magang. Ya ad ayang mahasiswa sarjana dan juga pascasarjana. Umumnya memang magang tapi ada beberapa orang juga yang mengerjakan penelitiannya di sini dengan ikut menyempil di dalam proyek. Alhasil? Ya kalau kinerja bagus sih akan ditarik untuk menjadi staf di sini. Itu memang sudah hal umum yang terjadi. Kehadiran Husein jelas menjadi pusat perhatian. Selain wajahnya yang menarik perhatian, status jomblonya sudah menyebar bahkan terdengar hingga ke orang-orang baru yang juga hadir di sesi awal ini. Wajar kalau pada akhirnya semua perhatian mereka tertuju pada Husein yang kini sudah berdiri di depan. "Denger-denger usianya 30 tahun." "Bonusnya masih jomblo." Ada yang berbisik-bisik. Tapi matanya tetap fokus sekali pada Husein yang sudah mengucap salam dan salamnya disambut ceria. "Kalo pak Husein yang buka emang beda," bisik salah satu karyawan. Yang lain terkekeh. Husein tampak serius di depan sana. Ia berharap orang-orang yang ada di sini bisa berkontribusi juga untuk perusahaan dan masyarakat melalui magang dan juga penelitian yang mereka lakukan. Itu adalah harapannya. Tak muluk-muluk. Kan yang penting sejalan dengan apa yang mereka lakukan. "Kalo jomblo berarti gak punya pacar?" "Apa perlu ditanya?" "Tapi dia kayaknya gak nyari pacar deh." Tatapan mereka teralihkan pada sikap Husein yang ketika hendak mengambil pulpen yang diberikan oleh staf perempuan, ia tampak menghindar agar tak menyentuh tangannya. Wooow. Jelas saja yang lain segera terkagum-kagum. Dari semua perempuan yang ada di situ, ada dua perempuan yang tampak benar-benar tertarik dengannya. Pertama, yang mengenakan hijab panjang dan lebar. Matanya sempurna tertuju karena kesopanan yang ditunjukkan Husein. Padahal tadinya ia tak tertarik. Ya kalau hanya sekedar fisik, di luar sana juga banyak. Namun cara Husein memperlakukan perempuan dengan cara itu, ia menilainya dari sisi yang lain. Sisi yang tak ia duga. Perempuan yang satu lagi berdeham. Ia tak bisa tenang. Melihat Husein dari awal juga sudah waw. Melihat gaya bicaranya apalagi. Ia suka yang dewasa begini. Apalagi pembawaan Husein tampaknya tenang dan mungkin pendiam. Itu hanya penilaian pertamanya. Ya belum tentu benar juga sih. Selesai memberikan sambutan, Husein langsung keluar. Ia sibuk hari ini. Meski disiang hari, ia mendapat kabar yang tidak enak. Hoho kabar apa itu? "Kayaknya minggu nanti keluarganya si Verrald bakal ke rumah sih. Bakal beneran dilamar tuh." Setelah beberapa minggu belakangan hanya desas-desus. Ada yang bilang sudah dilamar dan ada yang bilang belum, tampaknya kali ini akan benar-benar kejadian dong. Lantas ia harus bagaimana? Ya gak gimana-gimana. Ia hanya harus mengatur ulang hidupnya sekarang. Ia juga sedang berpikir untuk healing mungkin ya? Sepertinya sangat diperlukan. Satu-satunya tempat yang terpikir olehnya pun hanya Korea Selatan di mana adiknya dan adik iparnya tinggal bersama seorang anak yang sudah lahir di sana. Sepertinya ia akan ke sana lagi. Bukan untuk melarikan diri tapi menenangkan diri. Bagaimana pun ia hanya lah manusia biasa. "Lo harusnya langsung lamar aja tuh ke om Fadli. Gak bakal ditolak, Sen. Yakin gue.." Adit sudah sering mengatakan itu. Tapi ia tak pernah mau mendengar. Kenapa? Karena ia tahu kalau Rain tak pernah suka padanya. Kalau ia melakukan itu, yang ada, gadis itu akan semakin membencinya. Ia tak bisa. Justru akan sakit hati sendiri yang ada. Walau ada penyesalan juga. Tapi ya sudah lah. Sudah berlalu juga kan? "Gimana sih ngedeketinnya?" Temannya mengerutkan kening. Ada sang asisten manajer di depan mereka kali ini. Asisten itu juga laki-laki tua yang sepertinya bahkan seusia orangtua mereka. Hahahaha. "Lo ngaco ya?" Ia mendengus. Tentu saja bukan lelaki tua itu yang ia maksud. Kalau itu sih, ia juga ngeri. "Maksud gue yang tadi, pak Husein." Aaaaah. Ia mengangguk-angguk. Mereka masih berada di dalam ruangan pelatihan. Tentunya ini sesuatu yang wajar untuk mereka selama tiga hari berturut-turut. "Yaaa coba aja mumpung fi sini," sarannya. Ia terkekeh. Ya juga sih. Setidaknya ada waktu 3 bulan untuk itu. Apakah akan berhasil? @@@ Verrald akhirnya datang ke Jakarta. Tentu saja Jemput Verrald yang kembali datang ke Jakarta dari Padang. Ia sudah lama meninggalkan kota ini. Ya karena memang banyak kensngan. Bayangkan, ia teringat dengan almarhum papanya yang sudah pergi lebih dulu. Sesuatu yang hingga saat ini selalu membuatnya merasa bersalah. Ia memang masih belum bisa menghapus luka itu. Ia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sini. Tentu saja bukan karena papanya. Ia nurni mengikuti tes hingga akhirnya bisa lolos. Sebenarnya akan lebih baik kalau ia mengembangkan diri di Jerman. Tapi ia memilih pulang karena memang sudah janjinya. Ia ingin meneruskan langkah papanya untuk menjadi pilot di salah satu perusahaan dirgantara terbesar di Indonesia. Ketika berhasil masuk ke sana, ia tentu tak menyianyiakan hal itu. Ia baru akan bekerja senin nanti. Hari ini datang tentu saja tak sendiri. Tentu juga tak mungkin tanpa tujuan. Ia memboyong sebagian keluarga besar mamanya dari Padang ke sini untuk hari minggu nanti. Tentu saja sudah menghubungi keluarga Rain. Namanya juga niat baik ya kan? Dua tahun belakang, sebensrnya hubungannya dengan Rain memang kurang harmonis. Ya kan selain karena terpisah jarak dan perbedaan waktu, prioritasnya saat itu juga bukan Rain. Ia ingin mewujudkan keinginan papanya yang sedari dulu ingin melihatnya sebagai seorang pilot. Namun sayangnya, papanya tak sempat melihat itu. Ya tak apa. Nasi memang sudah menjadi bubur. Setidaknya, ia tak mengulang hal yang sama. Setidaknya, ia sudah berubah menjadi lelaki yang jauh lebih baik. Rain tentu saja datang menyambutnya dan keluarganya. Ia datang bersama Arinda. Kemudian naik mobil terpisah dan ikut mampir ke rumah salah satu kerabat Verrald yang ada di Jakarta. Rumah Verrald kan memang sudah dijual tak lama dari papanya meninggal. Mamanya dan Rey juga pindah ke Padang. Jauh lebih aman di sana karena memang keluarga ibunya Verrald ada di sana. Papanya tak punya banyak keluarga. Rumah dijual dengan terpaksa karena terlalu banyak kenangan. Verrald tak mau mamanya terus sedih tiap melihat rumah itu. Meski mereka juga sudah bisa melanjutkan hidup. Mamanya juga kembali menjadi dokter sejak beberapa tahun terakhir. Setidaknya untuk urusan ekonomi, mereka memang tak goyah. "Lama tante gak lihat kamu, Rain." Rain terkekeh. Ya kan pastinya sudah cukup lama. Mungkin lebih dari 2 tahun. Ada banyak hal juga sih yang berubah. Meski kerudung masih sering dipakai dan dilepas, setidaknya ia lebih dewasa sedikit lah. Ya semoga begitu. Hahahaha. Obrolan singkat terjadi di seoanjang jalan. Sempat membicarakan Ray juga yang tak bisa ikut karena kesibukannya. Membicarakan soal keberangkatan Ray juga nanti ke London. Mungkin sekitar 3 bulan lagi. Ya pernikahannya dan Verrald juga direncakan sebelum Ray berangkat. Tiba di rumah kerabatnya Verrald, Rain dan Arinda ikut masuk ke dalamnya. Ya sempat berkenalan, mengobrol, dan makan bersama. Begitu hendak pulang, Verrald mengajaknya berjalan berdua dulu. Hanya jalan-jalan di sekitar perumahan. Lalu? Lalu diakhiri dengan Verrald yang memberikan selembar kertas. Agak kampungan memang karena tulisannya..... Will you marry me? Hahahaha. Meski begitu, Rain tetap senang. Walau terkadang merasa aneh dengan sosok dewasa Verrald yang ia kenal sekarang. "Cincinnya besok aja sekakian ya?" Rain tertawa. Tentu saja ia mengangguk. Ini saja sudah cukup senang kok. Tak menyangka juga kalau hubungannya dan Verrald akan sampai ke titik ini. Sekarang pembicaraan mereka sudah berganti. Ya tentang kehidupan berkeluarga yang mereka bayangkan. "Mungkin nanti apartemen. Masih ada sih apartemen papa yang lama dan belim dijual. Mama gak tega jualnya. Karena banyak kenangan di sana. Jadi nanti, insya Allah setelah direnovasi lagi, bisa kita tempati abis nikah. Gak apa kan?" "Gak lah. Itu pun sudah cukup." "Aku juga mungkin jarang pulang kayak papa." Ya nasib menjadi pilot. "Tapi aku bisa ikut kamu terbang." Ia terkekeh. Ya juga. Semua memang tampak manis. Karena itu lah rencana manusia. Walau tak pernah tahu apa yang mungkin terjadi berikutnya. @@@ "Tante Erinna bilang kalau Ray bakal berangkat ke London beberapa bulan lagi. Terus Verrald juga jadi tuh mau lamar si Rain. Tahu kan kamu? Kakak sepupunya Agha." Ia mengangguk. Ibunya datang jauh-jauh ke Mesir hanya untuk memberitahunya soal ini. Ia baru saja menyelesaikan sarjananya di Maroko. Kini memang lanjut S2 bahkan sampai S3 di Mesir. Tentu saja di kampus islam tertua di Indonesia. Ia tinggal di sini tentu saja tak sendiri. Bersama adik perempuannya juga yang sedang kuliah di sini. Tinggal di satu apartemen yang sama tapi adiknya sedang menghadiri acara di fakultasnya. "Ummi udah ngomong sih soal ini sama mamanya Ray. Kamu gak keberatan kan?" Ia mengangguk. Ia selalu patuh. Tak pernah menyangkal. Ia tahu kakau kedua orangtuanya pasti ada maksud untuk mempersatukannya dengan Ray. "Ya Arga juga baik. Hanya kamu tahu lah, Arga itu masih kerabat yang cukup dekat. Anaknya memang dewasa. Sama juga dengan Ray. Tapi kalo soal agama, Ray insya Allah lebih baik.." Karena ia tentu sudah lama memantau kedua lelaki itu. Karena memang hanya itu ditambah Agha yang ada di sekeliling Mysha. Namun kalau dari Agha, ia tahu anak itu tak memiliki perasaan apapun pada Mysha. Anaknya juga tak pernah tertarik dengannya. Jadi ya sudah. Tak usah dipikirkan soal itu. "Ray kerja apa sekarang?" Ia tak pernah tahu. "Kalau kata abimu, dia baru dapat investor untuk memperbesar bisnisnya. Kamu tahu Ray itu anaknya jenius juga. Dan kamu tahu, ini semua perlu ada penerusnya." Ya karena Arga belum tentu bisa meneruskan kekayakaan abinya yabg tak terhitung ini. Ray memang bukan golongan konglomerat atau super bilioner seperti mereka. Tapi cowok itu unik dengan segala pemikirannya. Kehidupan mereka sebenarnya sangat berkecukupan. Tapi uang yang dihasilkan Ray lebih banyak dialokasikan untuk kemanusiaan. Ray tahu kalau hidup di dunia itu hanya sementara dan segala yang ia dapatkan hanya lah titipan. Jadi ia tsk suka memegangnya lama-lama. Sementara mamanya juga tak begitu mau menrrima kalau jumlahnya sangat besar. Ia tak memberikan pada abangnya karena dulu mereka sering berantem soal itu. Abangnya selalu menganggap pemberiannya sebagai sebuah rasa kasihan. Verrald memang tengsin dan ia ingin mempertahankan harga dirinya. Jadi Ray pun tak berani lagi melakukan itu. "Ray juga kerja di perusahaan asing dari rumahnya. Mungkin susah juga nyari kandidat lain yang lebih baik. Yang paling penting, kita sudah kenal keluarganya seperti apa. Almarhum papanya juga orang baik-baik begitu pula dengan ibunya." Ia tentu sangat tahu. Meski Ray terkadang tampak serius tapi kenyataannya iajuga humoris. Ya ramah juga. Kepribadian yang sungguh komplit. Arga sebenarnya baik juga kan. Arga juga cukup dewasa dan sudah mandiri juga secara keuangan karena yang ia dengar sudah bekerja. Namun dari sisi lain, Arga mungkin kurang cocok, misalnya dari segi agama. Pola pikir juga berbeda. Mysha juga sadar kalau terlalu banyak perbedaan antaranya dan Arga. Jadi ia tak mau memaksakan hal itu. @@@ Fadli menghela nafas. Dari semalam, ia juga kurang nyenyak. Pasalnya, baru kali ini ada keluarga besar yang langsung melamar. Berbeda dengan Pandu waktu itu yang hanya sendirian. Kali ini jelas suasananya juga berbeda. Masih ada yang sebenarnya menggantung bagi Fadli. Apa? "Kenapa?" "Yakin anakmu udah siap menikah tuh?" Caca terkekeh. Ia tentu tahu apa yang dipikirkan oleh Fadli. Sikap kekanakan Rain dan ya banyak hal lah. Ia juga sadar kalau anak perempuannya baru berada di titik kepengen nikah bukannya siap menikah. Karena memang belum ada apapun yang Rain siapkan. Dalam artian, ilmu tentang pernikahan. Setiap orangtua pasti inginnya anak-anak mereka lebih baik dalam hal merencanakan pernikahan. Tapi ya namanya juga Rain ya. Apa yang diucapkan kedua orangtuanya bisa ia mentah kan lagi sesuka hatinya. "Doakan saja." Hanya itu yang bisa Caca ucapkan. Begitu hari esok tiba, Rain tentu sudah sibuk sejak pagi. Keluarga besar mereka juga datang satu per satu untuk ikut membantu menyiapkan makanan. Setidaknya itu yang bisa mereka siapkan untuk menjamu para tamu. Usai zuhur adalah yang ditunggu-tunggu. Keluarga Verrald sudah berangkat. Mereka sempat solat zuhur dulu di masjid. Satu jam kemudian baru tiba di depan rumah Rain yang juga sudah ramai karena ada keluarga besarnya. Sudah lama Rain menantikan hari ini. Tentu saja ingin dilamar seperti kebanyakan wanita bukan? Cukup lama pula ia menunggu Verrald untuk mereka bisa sama-sama di titik ini. Awan? Hanya teman. Setidaknya ia juga tak memutuskan persoalan silaturahmi dengan mantannya yang satu itu. Awan juga baik kok. Tak membebaninya dengan perasaan yang masih tettinggal. Ya memang tak memberitahu juga karena Rain sudah berhasil meneruskan hidupnya seperti yang ia inginkan dulu. "Assalammualaikum!" Suara salam itu tentu saja langsung dijawab. Para sepupunya heboh karena melihat Verrald. Ya setelah sekian lama tak pernah melihatnya. Sama seperti Rain, mereka juga tak menyangka kalau Verrald dan Rain akan sampai di titik ini. Mereka juga mengira kalau keduanya mungkin tak akan pernah bisa bersatu. Ya karena wataknya. Tapi mungkin sekarang itu berbeda ya? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD