Lamaran (Part 2)

2539 Words
Salah satu om-nya Verrald mewakili keluarga untuk berbicara mengenai tujuan mereka ke sini. Tentu saja untuk melamar Rain bukan? Rain tampak senang. Ibunya tak berhenti melihatnya. Begitu pula dengan Fadli. Walau entah kenapa seperti masih ada yang kurang dan menganggu Fadli. Namun dihari itu, ia mengiyakan permintaan itu. Ya kalau memang anaknya akan bahagia dengan Verrald, ia bisa apalagi selain mengabulkan keinginannya dan mengenyampingkan egonya. Ia memang cenderung keras kepala sih. Tapi Fadli memang punya insting yang cukup kuat. Apalagi ketika memilih Pandu sejak awal. Toh pada akhirnya, Fasha mau kan? Lalu kini? Ia tidak bisa melakukan itu. Dan apapun resikonya, kini ia serahkan pada anaknya. Karena Rain yang memilih jadi anaknya harus bertanggung jawab sendiri. Walau bukan berarti ia harus lepas tangan. Namun tentu saja perannya sudah berbeda. Setelah acara melamar dan disematkan cincin dijari manis Rain disambung dengan makan sederhana. Caca tentu saja sudah menyiapkan makanan untuk calon besan dan keluarga besarnya. Lalu terdengar suara tangisan. Suara Aziel. Fasha buru-buru naik ke lantai atas untuk mengambil Aziel. Bukan hanya Aziel yang ada di sini, yang lain tentu juga ada. Rumah Caca dan Fadli memang sangat ramai hari ini. Karena seluruh keluarga besar Rain juga hadir. Baru kali ini kan ada acara semacam ini di rumah ini? Karena memang sebelumnya tak seperti ini. Fasha tak melewatkan suasana seperti ini. Namun ia tak masalah sih. Karena ia paham dengan kondisi keluarga Pandu. Kini hiduo mereka juga sudah bahagia kok. Caca berbincang dengan mamanya Verrald. Sebelumnya kan hanya beberapa kali melalui telepon. Selama ini pun belum pernah bertemu langsung. Ada Icha juga yang ikut nimbrung. Sebagai sahabat sekaligus mantan pacar suaminya dulu, Erinna tentu mengenalnya. Apalagi Erinna juga kan pernah bekerja di rumah sakit suaminya Icha. Ya mantan bosnya tenru saja. Banyak hal yang mereka obrolkan hingga tak sadar mengungkit soal almarhum Irfan. Ya ada banyak kenangan tentu saja bagi Erinna. Meski ya mungkin terhitung tak cukup lama baginya. Mungkin hanya 23 menuju 24 tahun bersama? Lalu mendadak diambil oleh Yang Maha Kuasa. Hari yang sungguh tak terduga. "Malam itu, aku masih ketemu sama dia di mall. Abis nge-gym kan?" Erinna mengangguk. Ia juga ingat sekali sih. Lalu malamnya, lelaki itu seperti enggan tidur sehingga terus mengajaknya mengobrol. Ada banyak hal yang mereka obrolkan termasuk membicarakan siapa yang mungkin menjadi jodoh anak-anak mereka. Hal yang membuat Erinna tersenyum. Ya kini mungkin anaknya sudah bertemu dengan jodohnya. Mungkin setidaknya sudah terjawab bukan? Ray juga mungkin akan seprrti rencana mereka bertahun-tahun dulu. Seharusnya lelaki itu melihat ini semua. Namun sayangnya yang namanya takdir kematian itu tentu saja berbeda bukan? Dan kalau Erinna tahu hari itu akan menjadi hari terakhir mereka bersama, ia pasti akan rela tak tidur semalaman untuk menemaninya mengobrol. Mungkin itu memang sebuah firasat yang terlewat olehnya. Tapi ya penyesalan apapun akan percuma. Ia selalu meneteskan air mata kalau teringat malam itu. Tak perlu ada penyesalan karena ia sudah menyambung hidupnya lagi meski saat itu, ia sungguh kebingungan. Ya bayangkan saja, suaminya pergi begitu tiba-tiba ditambahnanak sulungnya tak dewasa. Beruntung, anak bungsunya bisa diandalkan. Ray yang mengurus semuanya dengan rapi hingga mereka kembali ke Padang. Tak mudah memang tapi setidaknya, semuanya sudah dilewatkan. Icha dan Caca sempat memeluknya sebelum Erinna dan keluarga besarnya pulang. Hal yang membuat haru. Sebenarnya bukan haru karena lamaran sih tapi karena obrolan tak sengaja mereka tadi soal ayahnya Verrald dan Ray yang sangat hebat. Setidaknya, Verrald berhasil meneruskan jejak almarhum papanya untuk saat ini kan? Ia juga akan mulai bekerja besok. Jadi mereka juga tak bisa terlalu lama di sini. @@@ Ray memang tak bisa ikut lamaran abangnya hari ini. Ia berencana keluar dari kantornya sekarang. Sejujurnya, ia bekerja di dua kantor. Pertama, kantor lokal di Padang. Kedua, kantor asing yang kantor pusatnya di London. Makanya ia sengaja mengambil S2 di London agar waktu tidurnya juga tak begitu terganggu seperti ini. Ya bayangkan saja, di pagi hingga sore hari ia bekerja di sini lalu malamnya ia menyambung pekerjaan di perusahaan asing itu. Ini kerja kerasnya sih untuk mengumpulkan uang demi membangun perusahaan sendiri yang masih sangat sederhana. Wong karyawannya saja hanya dua. Ah itu juga tak bisa disebut karyawan karena dua orang lain itu adalah temannya sendiri sejak kuliah di kampus yang sama. Ia berpamitan dengan teman-teman kantornya. Lalu kembali ke ruman. Acara perpisahan sebetulnya sudah semalam. Ia sengaja mentrsktir teman-temannya. Hari ini ia hanya ke kantor sebentar untuk mengambil barang-barang ya sekaligus pamit ke beberapa orang yang kemarin tak bertemu. Tiba di rumah, rumahnya gak sepi sih. Ini kan rumah kakek dan neneknya yang tradisional modern. Dari luar ya tampilannya seperti rumah Gadang tapi versi modern. Tentunya besar sekali karena kakek dan neneknya ini pengusaha dan dulunya memang pejabat terkenal di sini. Kebetulan sekali, mamanya anak bungsu. Semenjak papa meninggal ya mereka kembali tinggal di sini. Sang kakek tak tenang kalau mereka tinggal jauh apalagi kan yang menjaga sudah tak ada. "Makan dulu, Raay!" "Iyaaaa!" Padahal sebelum berangkat tadi ia sudah sarapan. Hahaha. Ini bahkan belum jam 10 pagi kok. Ia masuk ke kamar dulu. Baru mau keluar, ponselnya berdering. Ada nama yang tak asing di sana dan akhir-akhir ini memang sering menghubunginya. Ia sebetulnya sudah tahu sih sejak kecil soal perjodohan ini. Dulu papanya pernah bicara. Karena ayahnya si gadis yang memintanya langsung pada papanya. Bukan sebaliknya memang. Lalu ini? Ia mengucap salam dan dibalas. Tentu saja bertanya kabar dulu baru kemudian berbicara langsung pada intinya. Ia sudah hapal dengan kebiasaan lelaki ini. "Jadi kapan akan ke rumah, Ray?" Ia memang diminta datang untuk silaturahmi sebelum berangkat ke Lomdon. Ia tampak berpikir. "Mungkin nanti sekalian kalau Ray berangkat ke London, Abi. Nanti mampir dulu di Mesir." "Ya-ya itu lebih bagus sepertinya. Abangmu jadi menikah?" "Jadi, Abi. Insya Allah nanti sebelum Ray berangkat ke London, mereka akan menikah." Wirdan mengangguk-angguk di seberang sana. "Lalu mamamu akan ikut ke London?" "Rencananya ya. Tapi masih lihat kondisi juga bagaimana baiknya." Wirdan mengangguk-angguk lagi. "Nanti yang penting datang lah ke rumah dulu." Ia mengiyakan lalu menutup telepon dan menghela nafas. Mysha. Nama itu terlintas di dalam benaknya. Sejujurnya ia tak begitu dekat dengan gadis itu dibandingkan Arga atau Agha. Karena tahu akan dijodohkan, ia memang tak terlalu mau memikirkan atau mencoba menarik perhatian Mysha. Tidak sedikit pun. Ia tak pernah tahu memang cinta itu apa. Tak pernah jatuh cinta hingga sekarang. Makanya ia juga tak keberatan dengan perjodohan itu. Tapi kalau Mysha menolak pun, ia tak masalah sih. Itu kan hak Mysha. Akhirnya ia mencoba mencari nomor ponsel Mysha. Ia tak tahu jam berapa di Mesir saat ini. Tapi mungkin agak pagi? Ia mencoba menelepon dan cukup lama baru diangkat. Karena Mysha tak tahu ini nomor siapa. Ya baru kali ini memang Ray menghubunginya. Ia berdeham lantas mengucap salam. Mysha bahkan bisa menebak suaranya. "Assalammualaikum...." "Wa-waalaikumsalam." Ia agak tergagap. Entah kemapa malah jadi gugup. Sementara Ray malah berdeham. "Maaf lancang meneleponmi," ujarnya. "Aku Ray." Ia hanya berdeham. Tentu saja sudah tahu. Tak ada lelaki yang menghubunginya kecuali keluarga dekat. Kalau Arga? Arga menghubunginya melalui email. Arga tak pernah tahu nomor ponselnya karena memang tak pernah meminta. "Eung....menganggu?" "Gak kok. Ada apa?" Ray mengangguk pelan. Bagus lah kalau begitu. "Kamu sudah dengar soal perjodohan kita dari abimu?" Ia mengiyakan dengan dehaman. Tentu saja. Meski baru beberapa tahun terakhir ini. Ia kaget? Ya sangat lah. Karena memang tak pernah tahu sejak lama. "Aku ingin membahasnya. Bisa?" "Ya. Silahkan." "Aku akan jujur kalau aku tak bisa menolak perjodohan itu. Tapi kalau kamu tidak mau, kamu boleh menolak. Tidak perlu terbebani dengan permintaan abimu. Aku yakin, abimu pasti akan mengerti." Hanya hening setidaknya untuk beberapa saat. Lalu Ray mendengar helaan nafas. "Kamu punya gadis lain yang kamu sukai?" Ia malah bertanya balik. Karena kalau yang ia tangkap, sepertinya Ray yang justru ingin menolak pertunangan ini tapi tak enak hati pada abinya. "Tidak ada." "Yakin?" "Ya." "Lalu kenapa bilang begitu tadi?" Ia terbatuk-batuk. Kenapa ia malah disudutkan? "Bukan. Aku hanya berpikir pernikahan ini akan dijalani oleh dua orang. Harus ada persetujuan dari keduanya. Aku tahu kalau kamu ya.....dengan Arga...." Ia tentu tahu kalau Arga sudah lama menaruh hati bahkan mengejarnya hingga sekarang. Ia juga ragu sebenarnya. Namun ketika berbicara soal kedua orangtua, mereka memang sebenarnya tak memaksa. Tapi ketika dimintai pendapat ia juga tak menolak. Jujur, ia harus punya alasan kuat selain perasaan untuk bisa menolak Ray sebagai kandidat utama dari abinya. Tapi ia tak menemukan apapun sejak beberapa bulan lalu. Beberapa bulan lalu, ia diberikan selembar foto oleh abinya. Foto Ray. Ia hampir tak mengenalnya. Bukan karena banyak berubah tapi jujur sejak kecil, ia sudah tak pernah bertemu kagi dengan Ray. Kalau pun ada kunjungan keluarganha ke rumah keluarga Ray ayau sebaliknya, ia tak pernah bertemu Ray lagi. Cowok itu tak pernah terlihat. Saat kabar ayahnya meninggal sampai ke telinga, ia tak bisa datang karena memang berada di lokasi yang jauh dan sibuk kuliah. Walau abi dan umminya segera terbang kala itu. Lalu apa pendapatnya soal foto Ray itu? Fotonya yang sudah beranjak dewasa? Ya ganteng sih. Jauh lebih dlganteng dibandingkan Verrald. Jika Verrald itu lebih mirip ke mamanya. Nah Ray? Perpaduan papa dan mamanya. Namun ia mewariskan bentuk wajah papanya yang ganteng itu. Arga? Ya ganteng meski memang bukan yang ganteng-ganteng amat seperti Agha atau Ray. Dari segi kepribadian? Ia tak pernah tahu Ray seperti itu. Hanya berdasarkan penilaian umminya yang bisa saja bias. Cowok itu sangat bertanggung jawab dan sangat menjaga mamanya. Dua hal itu yang selalu ia dengar dari mulut umminya. Karena memang sedari dulu, Ray yang justru lebih banyak mengambil posisi sebagai anak tertua bukan Verrald yang yah memang bandel dan kekanakan sih. Papanya juga sangat mengandalkan Ray. Ray menjadi lebih dewasa dibanding usianya karena saat itu, Verrald memang tak bisa diandalkan. Tapi sekarang tentu saja berbeda. Verrald sudah lebih dewasa. "Aku gak punya hubungan apapun selain berteman dengan Arga." Ray terdiam mendengarnya. Ya iya lah. Kan tak mungkin pacaran bukan? Ray berdeham. "Ingin tetap lanjut denganku? Perjodohan?" Karena sepertinya tak ada penolakan. "Kamu yang gak mau lanjutin ya?" Ray menghela nafas. "Bukan begitu. Aku hanya memastikan saja." Ia berdeham. "Aku akan melanjutkan kuliah ke London dan mungkin tiga bulan lagi akan berangkat. Insya Allah. Saat berangkat itu, aku akan mampir dulu ke Mesir. Aku sudah bilang pada abi. Kalau lancar, aku akan sekalian melamarmu saat itu. Jadi aku hanya ingin bilang, pikirkan lah baik-baik sebelum hari itu datang. Karena aku bukan orang yang gampang berubah pikiran. Maaf menganggumu. Wassalammualaikum," tutupnya. Ia menutup telepon itu lalu menghela nafas panjang. Ia setidaknya memberikan waktu untuk Mysha bersiap-siap dan kalau masih ada waktu kalau Mysha ingin menolaknya. Namun anehnya, itu malah membuat Mysha enggan melepasnya. Ia masih mencurigai kalau Ray punya gadis lain. Lalu ia masih mau maju? Ia memang aneh. @@@ "Lo udah siap nikah belum sih?" Itu Fasha yang bertanya. Melihat adiknya masih seperti itu. Seperti apa? Ya usai lamaran bukannya ikut membantu yang lain membersihkan rumah eeh malah tidur hingga malam. Jam sembikan baru bangun. Kalau Fasha, Pandu, dan Aziel sih sengaja menginap semalam ini. Besok baru kembali ke rumah Pandu. "Berisik!" Pandu terkekeh. Sudah tak heran sih. Kedua orang ini memang suka berantem sih. "Yee dikasih tahu juga." "Kayak kak Asha rajin aja." Caca geleng-geleng kepala. Ya benar memang Pandu. Memang sudah tak heran. Tapi tetap saja. Fasha melempar bantal ke arahnya dan ia dengan sigap menghindar. Hahahaha. Setidaknya Aziel belum tidur. Kalau sudah tidur pasti tak akan ad ayang bisa melakukan keributan karena akan diomeli ayahnya yang tadi tak terusik karena keduanya bertengkar. Hahahaha. Fadli sedang menahan diri sebetulnya agar tak mengomel. Hahahaha. Setidaknya ia fokus dengan Aziel yang masih asyik bermain. Mungkin karena sore tadi kurang main dengan yang lain. Ya iya lah para bocah sudah pulang begitu rumah neneknya selesai dibereskan. Rain memanaskan makanan sisa tadi siang. Ia lapar sekali. Ia tak tahu tadi kalau akan tertidur saat menunggu kamar mandi. Kamar mandi kan penuh tuh termasuk kamar mandi di kamarnya sendiri. Eeh ia malah tertidur secara tak sengaja dan bangun-bangun sudah malam begini. Ia baru makan sekarang. Verrald mungkin sudah tidur karena besok adalah penerbangan perdananya. Ia ada rencana sih mau ke bandara untuk memberikan bunga sebagai yaaaa penyemangat hari pertama Verrald bekerja di sini. Semoga saja ia terbangun. Hahaha. Karena biasanya kalau sudah pulas tidur begini akan susah kalau mau tidur malam lagi. Harusnya bablas saja tidur sekalian sampai pagi. Rencana pernikahan kurang dari tiga bulan. Ya belum apapun sih yang dipersiapkan. Besok mungkin ia akan survei gedung yang menyesuaikan kantongnya Verrald. Mungkin juga tak banyak orang yang bisa mereka undang mengingat biayanya juga terbatas. Fadli tak mau membantu? Bukan begitu. Keluarga besar mereka memang begini. Membiarkan sang keluarga lelaki semampunya membiayai pernikahan. Mereka tak menuntut pernikahan yang harus mewah kok. Fadli juga santai. Pernikahannya dulu juga sangat sederhana tuh dirayakan di rumah mertuanya. Memang sesederhana itu pernikahan baginya. Mungkin akan berbeda dengan yang lain. Misalnya pernikahan Dina. Kan mewah tuh. Wira memang mengeluarkan lebih banyak uang. Tapi tentu saja sudah didiskusikan dengan baik pada Adit. Tidak bermaksud apa-apa juga. Wira hanya berpikir kala itu yang menikah adalah anak perempuannya. Jadi ia ingin merayakannya dengan sedemikian besar. Itu kan pemikiran Wira. Kalau Fadli? Ia memang tak pernah menuntut acaranya harus bagaimana meski anaknyanperempuan. Ia tak mau membebani siapapun. Ia lebih berpikir dari pada membuat pesta pernikahan sedemikian wah mending uangnya untuk anaknya yang akan menikah itu. Menurutnya setelah menikah akan butuh lebih banyak uang. Ya kan? Ia memang datang dengan pemikiran itu dan mungkin memang berbeda dengan para ipar maupun abangnya yang lain. "Besok, cek semua kebutuhan pernikahan kamu. Urus sendiri. Jangan merengek sama ayah." Fadli mengatakan begitu. Hahahaha. Yang lain menertawakannya. Ia mengerucutkan bibir. Tadinya sih memang ia ingin ayahnya saja yang mengurus. Hahaha. Tapi bukannya Fadli tak mau mengurus. Anaknya ini benar-benar harus dibiarkan mandiri. Karena ya jujur saja, Rain bujan Fasha. Fasha bisa mandiri dengan didikannya. Kalau Rain? Semakin dididik, semakin tidak ingin mandiri. Hahahaha. Rain akan selalu melakukan segala cara untuk membuat ayahnya lemah padanya dan pada akhirnya memang berhasil. Ayahnya pasti akan memberikan segala sesuatu untuknya. Lalu untuk sekarang? Tidak bisa. Hahahaa. Fadli akan lebjh tegas untuk kebaikannya sendiri juga kok. Ia akan menjadi istri nanti. Jadi harus tahu posisinya. Hahaha. @@@ Dikala Rain lamaran, ada yang baru saja berangkat naik pesawat dadakan. Membeli tiket pun dadakan. Setidaknya VISA-nya memang selalu siap sedia. Hahaha. Ia berangkat dengan satu koper yang isi barangnya benar-benar apa adanya. Tak tahu juga bagaimana keadaa Korsel saat ini. Ia hanya menelepon Hasan kalau akan segera terbang ke sana. Setidaknya Hasan sempat mengangkat teleponnya tadi. Adiknya jelas benar-benar terkejut. Ada apakah? Pekerjaan? Oke ia tak mau ambil pusing. Hahaha. Husein baru saja terbang dengan pesawat yang akan membawanya transit dulu di Singapura. Ia tetap berada di dalam bandara selama transit. Hanya pergi membeli beberapa cokelat untuk keponakan. Meski tak yakin juga akan masuk perut keponakannya yang masih kecil itu. Hahaha. Pasti akan masuk ke perut emaknya kan? Usai membeli cokelat, ia kembali masuk ke ruang tunggu. Ia bahkan tak berniat membuka ponselnya. Ya tak mau membaca pesan dari satu orang pun. Hahaha. Saking apa? Saking was-wasnya. Ya kan siapa tahu ada yang usil lalu mengirim foto lamaran itu. Ia tak bisa. Ia belum bisa menerima itu. Berkali-kali ia menarik nafas dalam. Begitu duduk di dalam pesawat, ia hanya menatap ke arah jendela. Menatap awan putih yang menemani perjalanannya hari ini. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD