Bab 6

1687 Words
Bab 6 Keika menempelkan ponsel Alvian di telinga kanannya. Keluar ke halaman belakang dan bersandar pada kusen pintu yang menghubungkan rumah dan halaman. Dia menanti dengan cemas panggilannya terjawab. Hingga beberapa saat kemudian panggilannya diangkat. Mengukir senyuman tipis, Keika membalas salam dari Amalia. Suara wanita di seberang terdengar penuh kelegaan memenuhi indera pendengarnya. "Kamu apa kabar, Kei? Akhirnya kamu hubungi juga. Aku khawatir banget." berondongan pertanyaan dari Amalia menyambut ketika akhirnya Keika mengambil duduk di tepi kolam. Lesehan di lantai. Keika diam beberapa saat, dia menoleh ke dalam rumah dan menghela napas. Sebelum akhirnya mengembalikan atensinya pada jernihnya air kolam renang. "Aku baik, Mel." sahut Keika lirih. "Maaf ya, baru hubungi kamu. Hapeku rusak dan butuh waktu buat benerin." imbuhnya berdusta. Kalau Keika mengatakan yang sebenarnya bahwa ponselnya di sembunyikan entah di mana dan dia dikurung di dalam rumah. Tentu itu bukan kabar yang baik. Justru membuat sahabatnya itu bertambah khawatir. "Oh iya, Mel. Sampaikan maafku ya, buat bos dan temen-temen di mini market semua, karena nggak sempet bilang salam perpisahan. Main pergi begitu saja." Jangankan salam perpisahan. Dia saja merasa seolah apa yang dia alami adalah mimpi. Sebulan lalu sepulang dia bekerja, dia diseret Jonny untuk ikut ke bar, lalu sebelum sempat masuk ke bar, mereka bertemu dengan seorang kakek yang tidak Keika ingat namanya, dan kemudian semua berlangsung begitu cepat. Dia menikah dengan Alviano Brahma. Yang terjadi selanjutnya sudah jelas. Dia terdampar di istana dengan kesepian mencekam. "Nanti aku sampein Kei. Kamu jangan merasa bersalah begitu." Amalia bersuara, kali ini terdengar lebih santai dari yang awal. "Kamu di mana sekarang, Kei?" Keika berusaha mengurai senyuman. "Masih di Jakarta. Tenang aja, aku nggak akan pergi jauh." sahutnya teramat jujur. Bagaimana dia bisa pergi jauh kalau lingkupnya sekarang hanya seputar istana yang mengurungnya ini. Alvian mungkin saja mengatakan akan mengajaknya keluar, namun, jika dengan lelaki itu ikut serta, Keika merasa tidak akan bisa bebas sesukanya. Meski di dalam rumah pun kebutuhan dasarnya seperti pakaian terpenuhi tanpa terkecuali. Keika terkadang bertanya-tanya, mengapa sejak kedatangannya ke rumah itu, dia sudah memiliki stok pakaian teramat banyak di lemari dengan ukuran yang begitu pas dengan tubuhnya. Siapa yang sudah memilihkan pakaian untuknya. Dan pakaian yang ia kenakan selama di rumah ini pun adalah pakaian berharga mahal yang sejak dulu tidak terjamah oleh gajinya. Model pakaiannya pun kebanyakan adalah model kasual kesukaannya. Keningnya mengernyit. Mengapa dia baru sadar sekarang. Bahkan sampai ke pakaian dalam pun semuanya pas di tubuhnya. Tidak terlalu sempit atau kebesaran. "Kamu masih di Jakarta? Aku ingin ketemu Kei." Amalia kembali bersuara. Membuyarkan lamunan yang sesaat tadi mampir di benak Keika. Keika mengangguk. Dia juga teramat ingin bertemu Amalia dan Neneknya. Sudah rindu sekali dan juga ingin bercerita banyak hal tentang apa yang dia miliki. "Besok aku usahain buat ketemu kamu, Mel sama jenguk nenek." "Kei, kamu nggak dijual sama Jonny kan? Aku dengar malam itu kamu akan dibawa ke bar, buat dijual ke mucikari." suara Amalia yang tadinya tampak santai kini kembali terselip kecemasan. Seolah baru saja sadar apa yang Keika alami. Keika membasahi bibir bawahnya, dan bertanya dengan suara lirih. "Jadi, Jonny memang benar ingin menjual aku?" Sedari awal, Keika berusaha menyangkal tentang fakta bahwa Ayah angkatnya itu memang akan menjual dirinya pada mucikari. Menjadi pekerja di lokalisasi. Dia selalu mengira, sejahat-jahatnya sang Ayah, Jonny tidak akan tega menjual dia sampai seperti itu. Lalu sekarang, apa dia harus bersyukur, karena menikah dengan Alvian otomatis dia tidak akan dijual oleh Jonny. Dia tidak akan pernah menjual dirinya, menjajakannya pada lelaki hidung belang yang mendamba kepuasan dan menuruti napsu dunia saja. Terdengar napas tercekat di seberang. Amalia tampak memejamkan mata. "Aku takut kamu dijual Kei. Jadi, kamu di mana sekarang. Kamu bukan di lokalisasi kan?" Meski berat, Keika berusaha menghela napas. "Nggak Mel. Aku nggak dijual Jonny kok. Aku udah menikah sekarang." "Menikah?" seruan terkejut dari Amalia membuat Keika sedikit menjauhkan ponselnya. Telinganya berdenging pelan karena jeritan Amalia yang membuatnya pengang. "Bagaimana bisa?" Keika tahu, dia harusnya menceritakan keadaannya pada Amalia, agar setidaknya wanita itu percaya bahwa sekarang dia baik-baik. Sampai detik ini dia masih baik-baik saja. Entah dengan nanti dan kemudian hari. Dia tidak bisa membaca apa yang ada dalam pikiran Alvian. "Aku diminta menikah dengan seseorang, tepat saat Jonny menyeret aku ke bar. Atau aku memang dijual oleh Jonny, hanya saja statusku menjadi istri seseorang. Bukan sebagai pekerja s**s di lokalisasi." Pernyataan itu pun yang selalu berputar di kepalanya. Jonny mungkin saja menjual dirinya. Laki-laki itu banyak hutang karena berjudi dan mabuk-mabukkan jadi apa pun bisa Jonny lakukan untuk menutup utang. Termasuk menjual dirinya. Cukup lama tak ada sahutan dari seberang, hingga tiba-tiba yang terdengar di telinga Keika adalah tangisan Amalia. Wanita itu bahkan tersedu teramat keras, membuat Keika sekali lagi menjauhkan ponselnya, dengan bola mata yang tampak memburam. Dia harus beberapa kali menarik napas panjang dan menghelanya pelan. Tidak ingin menangis, meski satu hal itu yang teramat ingin tumpah dan merajai dadanya. "Hei, Mel. Kok nangis. Aku nggak apa-apa." Keika bersuara, memejamkan mata, menarik kakinya yang terlipat di pinggir kolam untuk kemudian memasukkanya ke kolam. Beruntung dia memakai celana tiga perempat sehingga celananya tidak banyak terkena air kolam. Dia menarik napas pelan, dan kembali bersuara karena nampaknya Amalia tidak percaya dengan ucapan Keika sebelumnya. "Aku di tempat yang aman sekarang, Mel. Nggak perlu kerja. Nggak harus dikejar-kejar Jonny dimintai uang. Harusnya kamu seneng dong, Mel." Keika menggerakkan kakinya yang terbenam di kolam, membuat gemerisik yang Keika harap bisa sedikit menenangkan dirinya. Meski rasanya mustahil. Hatinya sedang bergejolak. "Udah ah Mel nangisnya. Malu kalau diliatin pelanggan. Dikira kamu lagi patah hati. Syukur kalau ada pelanggan cowok cakep yang mau jadi sandaran, kalau malah mereka kabur. Nanti nggak bisa closing bulanan." Disinggung tentang pelanggan nyatanya mampu membuat Amalia yang sedari tadi sesenggukan membalas sinis. "Pelanggan mana yang kabur lihat aku. Yang ada mereka tuh pengen puk puk, nawarin es krim biar diem." Keika tergelak pelan. Mengusap sudut matanya, tak ingin membiarkan air mata itu menetes. Dia tidak ingin menjadi cengeng. Dia harus bisa tegar, apa pun yang sedang terjadi pada hidupnya. "Jadi, siapa suami kamu. Aku inget banget kamu nggak punya pacar dan nggak pernah pacaran. Terus tiba-tiba nikah?" "Kalau nggak punya pacar memang nggak boleh nikah?" Amalia mendesah. "Bukan gitu. Tapi kenapa tiba-tiba banget. Oke. Cowok itu memang datang tepat waktu bawa kamu kabur. Aku pernah lihat dia sebelumnya?" Keika mengernyit, memaksa otaknya untuk mengingat. Pernah tidaknya Alvian menyambangi mini market mereka. Kalau lelaki itu pernah datang, sudah pasti akan jadi satu bahan gosip bagi dia dan teman jaganya. Karena Alvian sendiri tidak akan tampil biasa-biasa saja. Minimal datang seperti artis. Kalau pun pakai kasual, lelaki itu jelas lebih dari cukup menarik perhatian. "Nggak pernah. Kayaknya Mel." "Terus kamu kenal dia dari mana?" Keika menggeleng pelan. Kedatangan Alvian seperti pangeran yang turun ke bumi secara tiba-tiba. "Dia gimana sih, Kei. Tampilannya. Aku penasaran banget. Cakep nggak? Secara kamu selama ini selalu nolak beberapa cowok ganteng yang terang-terangan nembak kamu." Untuk satu pertanyaan yang Amalia katakan itu, Keika termangu sesaat. Dia menolehkan kepala melirik ke dalam rumah dan menemukan Alvian sedang mondar-mandir dengan ponsel menempel di telinga. Keika tidak akan terkejut jika ponsel Alvian banyak. Ponsel pribadi dan khusus untuk masalah pekerjaan memang lebih efisien dibedakan. Keika memang beberapa kali ditembak laki-laki. Tapi selalu berakhir dengan penolakan. Karena entah kenapa, semua laki-laki yang berani menyatakan cinta padanya tak pernah sampai ke hatinya. Membuat dia akhirnya memutuskan untuk menggelengkan kepala dan menolak. Ada satu laki-laki, seorang parlente, dan Keika sadar diri siapa dirinya. Hanya seorang pegawai mini market. Maka rasa sukanya pada lelaki itu hanya sebatas naksir tanpa harapan tinggi. Kembali pada pertanyaan Amalia, Keika memicingkan mata, semakin memperhatikan Alvian dari kejauhan, lalu dia mulai mendeskripsikan bagaimana sosok lelaki itu. "Dia tampan seperti yang kamu kira." Keika melirih, lidahnya serasa kelu tiba-tiba. Ingin mengatakan kalau Alvian jelek, nanti dia berdusta. Karena kenyataannya Alvian sangat tampan. "Dia baik, jagain aku, protektif, nggak pernah suka kalau aku kerja berat-berat." Keika hanya bisa mendeskripsikan secara garis besarnya saja yang dibumbui dusta. Dia baru mengenal Alvian dua hari ini. Dan sambutan pertemuan mereka tidak cukup baik. Demi membuat Amalia tenang, dia lebih baik sedikit berbohong bukan? Masalah benar tidaknya pernyataannya tentang Alvian, bisa dipikir nanti lagi saja. Amalia menjerit senang. "Aw, kamu beruntung sekali Kei. Aku ingin cerita banyak sama kamu, tapi nanti kelamaan, masih jam kerja." Keika mengangguk maklum, lalu teringat satu tujuan lain ketika dia memutuskan untuk menghubungi Amalia. Tentang Neneknya. "Mel, kamu tahu gimana keadaan nenekku?" Amalia diam beberapa saat, hingga Keika memanggil nama gadis itu untuk mengembalikan kesadaran. "Nenek kamu dimasukkan ke panti jompo sama Jonny." Jawaban itu sukses membuat Keika membeku. Gerakan kakinya di dalam kolam terhenti seketika. Ponsel yang menempel di telinganya tergelincir, hampir jatuh ke dalam kolam, andai tidak ada tangan seseorang yang menangkapnya. "Hati-hati Kei. Ponsel pinjem lho, harusnya dijaga baik." Alvian yang datang tepat waktu dan menyadari jika ponselnya tergelincir dari genggaman Keika segera mengambil langkah seribu. Dia menyerahkan ponselnya yang masih terhubung dengan nama kontak Amalia. Keika menoleh pada Alvian, mengerjap dan sebutir air mata lolos dari sudut matanya. Dia menerima ponsel dari Alvian dengan tangan gemetar lalu membisikan terima kasih. Dan segera membuang tatapan, tidak ingin membiarkan air matanya terlihat oleh Alvian. Bukankah dia tidak ingin terlihat lemah di mata Alvian. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Alvian khawatir, dia sudah mengulurkan tangan hendak mengusap punggung Keika yang tampak bergetar karena tangis untuk menenangkan, namun diurungkan ketika Keika membalas dengan gelengan. "Aku nggak pa-pa Al. Makasih. Tapi aku masih belum selesai telepon." gumam Keika, menoleh sekilas pada Alvian meminta pengertian lelaki itu. Dan ketika Alvian mengangguk tanpa mendesak untuk menceritakan apa pun yang membuat dia menangis, Keika mengukir senyum tulus dan sekali lagi menggumam terima kasih. Sepeninggal Alvian, Keika kembali melanjutkan pembicaraan dengan Amalia. Mencari tahu alamat panti jompo di mana neneknya dititipkan. Baru setelahnya, Keika menutup panggilan karena Amalia tak bisa lebih lama mengobrol dengannya. Meletakkan ponsel Alvian sedikit lebih jauh dari tepi kolam, baru setelahnya, Keika menangis tersedu-sedu. Lirih. Dia yang hendak dijual oleh Jonny, lalu sekarang mendapat kabar bahwa neneknya, Jonny masukkan ke panti jompo. Keika bisa apa untuk menemui neneknya, sedangkan posisinya saat ini tidak ubahnya seekor burung dalam sangkar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD