Bab 7

1652 Words
Bab 7 Keika melirik kanan kirinya dengan lelehan air mata yang kian deras. Dia adalah orang asing, di tempat yang asing. Menggigit bibir bawahnya, Keika melirik ke dalam rumah, mencari keberadaan Alvian. Ketika cukup lama netra cokelatnya mencari dan tidak menemukan sosok itu. Tatapan Keika kembali pada tenangnya air kolam di bawahnya. Dia menelan ludah, menahan isak tangis. Merasa bahwa dunianya memang sudah berhenti. Ayahnya memang berniat menjualnya ke mucikari agar bisa bekerja di lokalisasi. Dan ketika itu terjadi maka kehormatan dan harga dirinya lenyap seketika. Keika tidak akan ada harganya sama sekali. Selama ini hidupnya cukup menderita bersama Jonny. Di samping laki-laki itu suka meminta uang padanya, Jonny pun tak jarang melayangkan pukulan. Dan ketika tahu, sepeninggal dirinya Jonny memasukkan Suriya ke panti jompo, Keika tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan neneknya. Dia marah. Marah pada dirinya. Marah pada Jonny. Marah pada Alvian karena datang tanpa memberi penjelasan apa pun, membawa Keika masuk ke kehidupan asing. Dan dia marah pada keadaannya yang tak bisa berbuat apa pun. Kini, dia harus bagaimana? Kabur dari rumah Alvian adalah jawaban paling benar. Tapi, bagaimana dia bisa keluar. Keika mendongak, menatap pagar rumah yang menjulang tinggi beberapa meter dari tempatnya duduk. Dan dia tersenyum getir melihatnya. Tidak hanya tinggi, di atas pagar itu juga dipasangi kawat berduri. "Nenek, Keika harus bagaimana? Keika ingin bertemu Nenek." Dengan tetesan air mata yang semakin menderas, Keika memejamkan mata dan menarik napas panjang. Lalu perlahan membawa tubuhnya turun dan masuk ke dalam kolam. Dia berdiam beberapa saat di dalam air, mencoba menenangkan dirinya, atau sekali lagi mencoba bunuh diri. Keika menggeleng di dalam air, membuka matanya perlahan. Mengakhiri hidup jelas bukan sebuah jawaban. Setelah dia mati, memang apa yang akan dia dapatkan. Ketenangan. Ketenangan seperti apa, Surga tidak akan menerima dirinya yang mengakhiri hidup secara hina. Merasa napasnya mulai habis, Keika menyembul ke permukaan. Dia meraup udara secara brutal. Baru setelahnya berenang ke tepi, menjauh dari tempatnya duduk di awal tadi. Dia menyeberangi kolam dan segera keluar dari kolam, duduk sesaat di tepian sebelum akhirnya beranjak bangun dan berjalan ke arah sebuah ruang tak jauh dari kolam. Ruangan khusus untuk latihan bela diri. Keika selalu berlatih di dalam ruangan itu. Senyum Keika terbit ketika dia mengungkit handel pintu ruangan dan ternyata tidak dikunci. Dia menoleh kanan kiri, mencari seseorang yang siapa tahu memergoki dirinya. Dan segera masuk lalu mengunci pintunya ketika tidak ada satu orang pun yang dia temukan di sekitarnya. Alvian entah sedang di mana. Mungkin sedang mondar-mandir di ruangan lain, menjawab panggilan dan membahas pekerjaan. Keika bersyukur, Alvian memberi waktu untuknya sendiri dulu. Dan kini di dalam ruang latihan bela diri, Keika tidak membuang-buang waktu, dia mengambil hand wrap di tempat penyimpanan dan segera memakainya. Melilitkannya ke telapak tangan, memutar sampai punggung tangan dan pergelangan tangan. Setelah kedua tangannya lengkap dilapisi hand wrap, Keika mengarahkan langkah ke arah samsak berukuran kecil yang menggantung di ruangan itu. Ada dua samsak di sana. Satu ukuran besar yang mencapai berpuluh-puluh kilo gram. Satu lagi yang ukurannya paling kecil dan Keika memilih kawan pukulnya kali ini, adalah samsak yang berukuran kecil saja. Dia hanya perlu sedikit meluapkan kekesalan, amarah dan kekecewaan di dalam dirinya. Tentang apa pun hal yang menimpanya belakangan ini. Mengepalkan tangan, Keika menarik napas panjang dan melayangkan satu pukulan keras, disusul dengan pukulan-pukulan lain yang sama kerasnya. Bakk bukk bukk!! Suara pukulan-pukulan keras seperti itulah yang hanya terdengar di telinga Keika, memenuhi ruangan yang menjadi tempatnya bersembunyi. Jauh dari jangkauan mata siapa saja. Peluh bercampur sisa-sisa tangis dan air kolam yang membanjiri wajah dan tubuhnya, tak menghentikan sedikit pun aksi pukul-pukulnya pada benda menggantung di depannya yang terlihat kuat dan keras. Kedua punggung tangannya mulai lecet dan mengeluarkan darah meski sudah dilapisi hand wrap. Tubuhnya pun mulai menggigil kedinginan. Tapi lagi-lagi itu semua tak menghentikan sedikit pun aksi membabi butanya untuk memukuli samsak tinju di depannya. "Aargghh!" Keika menjerit frustasi. Bagaimana mungkin ayah yang selama ini disayanginya justru menyuruhnya untuk menceburkan diri ke dalam lubang gelap. Menjadikan tubuhnya seperti barang murahan yang diperjual belikan begitu saja. Selama ini Keika teramat bersabar, karena meski hidupnya sulit, dia bersyukur Jonny membiarkan dia hidup bersama Suriya. Tidak membiarkannya sendirian, terlunta-lunta di jalanan. Namun, tak cukup semua usahanya. Kerja kerasnya. Jonny tetap melakukan tindakan semena-mena. Keika sendirian. Dia tidak punya keluarga selain Suriya. Ketika nenek yang teramat dikasihinya akhirnya dijauhkan darinya, Keika bisa apa untuk membawa neneknya kembali. Jonny sangat tega. Keika yakin, Alvian tidak akan membawa Keika secara cuma-cuma, Jonny pasti meminta uang sehingga mau melepaskan Keika. Namun, kenapa setelah Keika pergi dan Jonny mendapatkan uang, lelaki itu justru memasukkan Suriya ke panti jompo. Ah, benar. Dia tetap di perjual belikan oleh Jonny. Bedanya dia tidak berada di lokalisasi, namun istana yang mengurungnya. Keika luruh di lantai. Tubuhnya basah kuyup karena peluh dan juga sisa-sisa air kolam tadi. Dia menunduk dalam membiarkan air dan peluh di wajahnya menetes. Dia tak lagi menangis. Tidak membiarkan air matanya luruh semakin banyak. Sesakit apapun yang dia alami. Sudah cukup dia menumpahkan semua tangisnya. Sekarang tidak lagi. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Harapan yang selama ini menjadi tumpuan dan kekuatannya pun sudah tak bisa dia pegang lagi. Neneknya, bagaimana keadaannya saat ini. Jonny memang sekejam itu padanya. Dengan tubuh yang masih sempoyongan, Keika berusaha berdiri. Meski dengan susah payah, akhirnya dia bisa kembali berdiri tegap. Beberapa kali dia kembali melayangkan tinjuannya. Hingga suara gedoran pintu yang keras di belakangnya sedikit mengalihkan perhatian. "Heii ...gadis bodoh sedang apa kamu di dalam. Buka pintunya atau kudobrak!" "Gadis bodoh." Keika mendengkus kasar, bergumam getir. Dia memang hanya seorang gadis bodoh. Makanya begitu mudah dipermainkan dan dilempar sana sini. Tidak ingin mempedulikan gedoran di pintu dan seruan suara bariton yang terdengar memekakan di telinganya, milik Alvian. Keika kembali ke fokusnya. Memukuli samsak di depannya membabi buta. Hanya ini cara untuk membuat dirinya tenang, daripada melukai orang. Bukankah lebih baik melukai diri sendiri tanpa melibatkan satu orang pun. BRAKKK!!!! Dentuman suara pintu yang terbuka kasar tak sedikitpun mengalihkan perhatian Keika. Dia tak peduli siapa pun yang mendatanginya. Bukankah semua orang di sini hanya menganggapnya sebagai orang yang harus dijaga, dilindungi. Tanpa sedikipun memberi kasih sayang dan perasaan nyaman. Tanpa memperdulikan betapa tersiksanya gadis itu dalam hari-harinya. Tanpa ada sedikitpun penjelasan kenapa dia harus tetap tinggal. "Gadis bo--" Suara seseorang yang baru saja masuk ruang latihan itu terhenti. Secepat kilat lelaki itu berlari ke arah satu-satunya gadis yang berada di dalam ruang itu, dengan tubuh yang tampak sempoyongan. Tubuh gadis itu hampir jatuh ke lantai jika beberapa detik saja dia terlambat menangkap tubuh Keika. "Gadis bodoh." desis Alvian sarkas. Membawa Keika dalam gendongannya. Dan segera keluar ruang latihan. Dia tidak mempedulikan tubuhnya sendiri akan ikutan basah karena sekujur tubuh Keika basah. Yang menjadi perhatiannya hanya tubuh lemah Keika. "Al," lirih Keika menyadari seseorang tengah mengangkatnya. Dia terlalu lemah untuk sekadar berkata-kata ataupun bersikap angkuh seperti biasa. Badannya kini terasa remuk semua. Padahal sejak tadi dia biasa saja, tak merasakan sakit apapun. Dan tiba-tiba dia pun diserang rasa pening yang luar biasa. Berdenyut keras mengelilingi kepalanya. "Apa yang kamu lakukan seperti itu. Kamu mau mat--" Keika tak lagi mendengar kelanjutan ucapan Alvian karena pandangannya mulai mengabur dan kegelapan menyelimutinya. Dia jatuh pingsan. Didekapan sang suami. Yang tentu saja membuat suaminya kalap dan secepat yang Alvian bisa melangkahkan kaki masuk ke kamar. Alvian meletakkan Keika di atas ranjang, di kamar yang selama ini ditempati gadis itu. Dia menyuruh Gina dan para pelayan membersihkan tubuh Keika dan merawatnya. Lalu dia keluar kamar untuk memberi keleluasaan para pelayannya bekerja. Alvian memijit pelipisnya. Dia tak menyangka sama sekali. Sambutan yang diterimanya saat selesai dengan pekerjaannya hari ini akan menguras emosinya. Benar, dia sangat emosi dan hampir tak terkendali apalagi melihat keadaan Keika saat ini. Beberapa hari tinggal bersama gadis itu sama sekali tak membuat mereka lebih dekat. Justru Keika terlihat selalu menghindari Alvian dan semua pembicaraan. Meski memang, tadi dia membiarkan Keika menggunakan ponselnya untuk menelepon teman. Alvian mengernyit, bertanya-tanya. Sebenarnya, apa yang Keika bicarakan hingga gadis itu berbuat nekat begitu. *** Alvian memasuki kamar Keika setelah dia membersihkan diri dan meminum secangkir kopi. Dia memakai pakaian kasual dan terlihat lebih santai. Kaos polos putih dengan celana pendek tiga perempat. Rambutnya yang basah dia biarkan berantakan. Menghela napas, Alvian mendekati ranjang Keika. Gadis itu terlihat tengah menutup matanya damai. Gina bilang tadi, Keika sempat bangun dan dokter yang memeriksanya mengatakan dia kelelahan dan butuh bedrest. Pelan, Alvian mendudukkan tubuhnya disamping Keika. Memandang wajah gadis itu intens. Entah mengapa dia menjadi merasa bersalah dengan keadaan Keika. Tadi, ketika menemukan Keika dengan keadaan kacaunya. Alvian sempat menahan napas. Dia marah melihat gadis itu terluka. Dia bukanlah sosok laki-laki yang suka melukai wanita apalagi bertindak tangan. Meski kata-kata yang keluar dari mulutnya terkadang lebih tajam dari tindakan. Sesaat, pandangannya beralih ke kedua tangan Keika yang tergeletak di sisi kanan kiri tubuhnya. Tangan sebelah kanan terbalut perban putih sebatas ruas-ruas jarinya. Sedang yang sebelah kirinya terlihat jelas luka terbuka dengan bercak-bercak merah betadine yang membuatnya meringis perih. Dia sudah berjanji menjaga Keika dan dia juga sudah dipercayakan oleh nenek gadis itu. "Benar-benar gadis keras kepala." gumam Alvian lirih. Dia mengulurkan tangannya dan ditempelkan di dahi Keika. Panas masih terasa. Pantas saja wajah Keika masih memerah. Bosan sendiri, akhirnya Alvian menyerah. Dia mulai menaiki ranjang dan merebahkan dirinya tepat disebelah Keika. Malam sudah mulai beranjak dan hari ini dia merasa sangat lelah mengurusi perusahaan. Entah insting apa yang mendorongnya untuk ikut tidur dan menemani Keika malam ini. Yang jelas saat ini dia tidak bisa meninggalkan Keika sendiri meski dia bisa saja menyuruh salah seorang pelayan untuk menunggui gadis itu. Berbaring menghadap ke arah Keika. Alvian menyingkap anak rambut yang menjuntai menutupi wajah gadis itu. Sesaat sunggingan manis tersungging di wajah tampannya. Pertama kalinya dia melihat wajah Keika dalam kondisi sedekat ini. Wajah yang biasa angkuh dan keras kepala itu kini terlihat damai. Tarikan napasnya terdengar teratur. "Selamat malam," bisiknya lirih. Setelahnya sudah bisa dipastikan dia ikut terbuai dalam mimpi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD