Bab 4

1416 Words
Bab 4 Keika bersungut-sungut di dalam kamarnya. Setelah dia menghabiskan sandwichnya, dia memilih mengambil ikat rambut dan kini menggulungnya. Dicepol di atas kepala. Dia menggelengkan kepala ketika di kepalanya berputar wajah Alvian yang menyeringai tadi. Ini pertemuan mereka yang kedua setelah acara baku hantam secara sepihak semalam. Keika berpikir, akan kah Alvian tetap tinggal di rumah, atau hanya singgah sehari-dua hari sebelum kembali pergi ke antah berantah yang tidak ingin Keika ketahui. Keningnya mengernyit dalam ketika sekelebat pikiran bahwa dia pernah melihat Alvian sebelumnya, mampir di benaknya. Keika rasa, sebelum hari pernikahan mereka yang mendadak dan pertemuannya di rumah ini, Keika sempat melihat Alvian. Bukan cuma satu kali, tapi ada dua sampai tiga kali. Hanya sekilas. Dia berpikir keras untuk mengingat. Lalu menyerah ketika tidak mendapat jawaban memuaskan. Mungkin saja Alvian pernah bertandang ke mini market tempatnya bekerja dulu, membeli beberapa barang. Keika mengangguk. Menyetujui pemikiran itu. Bisa saja. Pertemuan di mini market yang hanya sekilas tidak menutup kemungkinan itu terjadi. Setelah beres di depan kaca dan ikatan rambutnya sudah cukup baik, Keika hendak berjalan ke arah balkon. Namun, ketukan di pintu disusul tarikan handel yang membuat daun pintu membuka, membuat gadis itu menoleh dan menemukan Gina berdiri di ambang pintu. "Tuan Alvian ingin Anda menemui beliau." Gina bersuara. Mengutarakan tujuannya menyambangi kamar Keika atas perintah mutlak dari Tuan besarnya. Namun, yang wanita itu dapatkan hanya dengkusan kasar dan sebelah alis Keika yang naik. Tidak ingin peduli dengan apa yang Gina sampaikan, Keika segera melanjutkan niatan awalnya untuk berjalan ke arah balkon. Dia belum melihat balkon dan menghirup udara segar. Namun, perkataan dari Gina berikutnya, sukses membuat langkah kaki Keika terhenti detik  itu juga. "Kalau Anda tidak mau. Kami semua yang akan mendapat hukuman, tidak boleh makan seharian ini." Masih mencoba untuk tidak peduli, Keika hanya membalas singkat. "Ya udah, puasa dulu." Gina yang masih berdiri diambang pintu menatap Keika dengan tatapan memelas. "Bukan itu saja, Nona. Tuan Al akan memotong gaji kita. Hari ini tidak akan terhitung bekerja." Keika menggeram. Dia membalikkan tubuhnya, menatap Gina dengan kejengkelan yang naik ke ubun-ubun. Namun, ketika wanita di hadapannya tampak mundur selangkah. Keika akhirnya menghela napas. Mencoba mengenyahkan kejengkelan barang seinchi saja. Rasanya bekerja tidak dibayar itu nggak enak banget. Dikira gotong royong apa, yang suka rela. "Di mana dia?" tanya Keika, dengan ayunan langkah mendekat pada Gina. Dia tidak punya pilihan bukan? Kalau pun dia berpikir Alvian hanya menggertak, Keika khawatir ketika tidak dituruti, Alvian sungguhan menjalankan ancaman itu. Meski Keika sendiri takut, kalau-kalau Alvian akan menyakitinya atau membunuhnya. Harusnya dia tidak perlu takut, toh selama tinggal di rumah itu, dia beberapa kali menyakiti diri sendiri, dan bahkan nekat bunuh diri. Inginnya mengakhiri hidup, namun Tuhan masih sayang padanya. Ingin dia bertaubat karena selama ini banyak dosa. Dengan langkah terayun berat, Keika mengikuti Gina yang membawanya untuk menemui Alvian. Dia mengernyit ketika bukannya turun ke lantai satu, Gina justru terus mengayun langkah ke arah ruangan paling sudut dengan pintu paling minimalis menurut Keika. Tanpa ukiran. Namun, dia yakin ruangan itu adalah yang paling besar di sepanjang lantai dua. Dan tidak pernah terjamah oleh kakinya selama ini. "Tuan Al ada di dalam, Nona," Gina menghentikan langkah tepat di depan pintu. Sebelah tangannya menunjuk daun pintu itu. "Aku harus masuk? Kenapa tidak minta di luar saja." Mau tidak mau, Keika menyimpan curiga pada Alvian. Bagaimana kalau ruangan itu ternyata tempat eskperimen. Dia pernah melihat di TV juga mendengar cerita-cerita dari temannya yang membaca novel bertajuk dark romance. Katanya kalau ada ruangan misterius yang tidak boleh terjamah, kemungkinan itu adalah ruang p********n. "Kamu tahu red room, itu ruangan yang nggak bisa kamu bayangkan. Di sana mungkin kamu bisa disiksa macam-macam. Dijejali n*****a, atau hal mengerikan lainnya." Keika bergidik ngeri mengingat ucapan salah satu temannya di mini market. Alhasil bukannya masuk ke dalam ruangan itu, Keika justru mundur selangkah dengan berusaha menelan ludah susah payah. Tiba-tiba keringat dingin mengucur, menetes di punggungnya. Dia menggeleng tegas dengan wajah memucat. "Nggak." "Kenapa nggak, Non?" Gina bertanya, berusaha mencegah kepergian Keika. Karena gelagat wanita itu seolah akan kabur dan mengambil langkah seribu. Jangan lupakan juga bagaimana raut wajahnya. Pucat pasi, seperti melihat hantu. "Non Kei sakit?" Gina mendekat, hendak memeriksa kening Keika namun wanita itu lebih dulu mundur lagi. "Aku nggak mau masuk ruang itu. Nanti disiksa sama Al." Keika mempertahankan penolakan. Sembari terus menggelengkan kepala. Menaikkan sebelah alisnya, Gina berusaha menahan kuluman senyum. Dia tidak merasa kalau Alvian akan menyiksa Keika. Ketika Alvian menyuruhnya untuk memanggil Keika, lelaki itu hanya meminta untuk diobati. "Ini kamar pribadi Tuan Al, Non." Gina menjelaskan. Entah apa pun yang Keika pikirkan sebelumnya terhadap kamar itu sehingga Keika bisa mengira kalau Alvian akan menyiksanya. Keika mengerjap. "Kamar?" dia menengadah, kembali menilai daun pintu minimalis bercat putih di hadapannya. Kemudian dia mengangguk pelan. Benar juga, pintu itu tidak bercat merah. Tapi bisa saja di dalam ruangan itu isinya warna merah darah semua. Sekali lagi, Keika bergidik. Tidak mau memepercayai apa yang Gina katakan. Gina lebih lama tinggal di rumah ini, menjadi salah satu pelayan kepercayaan Alvian. Bisa saja dua orang itu bersekongkol untuk menjebaknya. Keika mengambil langkah mundur, hendak berbalik. Namun gegelar interupsi dari dalam kamar membuat bulu kuduknya meremang. "Apa yang kalian ributkan. Cepat masuk!" Itu jelas suara Alvian. Suara bariton yang terdengar amat memekakkan di telinga Keika. "Maaf, Tuan," Gina bersuara, dia mengetuk pintu beberapa kali. Ketika mendapat perintah sekali lagi untuk masuk, dia membuka daun pintu sedikit lebar, mempersilakan Keika untuk masuk. "Silakan, Non. Tuan Al sudah menunggu." Keika ingin berlari menjauh saja, namun wajah memohon Gina membuat langkahnya untuk menjauh terasa amat berat. Akhirnya dia mendekat, sedikit melongokkan kepala ke dalam kamar besar itu dan menilai. Lalu senyumnya terbit perlahan. Bukan kamar bercat merah darah seperti yang dia pikirkan. Hanya kamar bercat monokrom yang tampak minimalis. Sembari menelan ludah perlahan, dan mengabaikan keringat yang keluar sebesar biji jagung di dahinya, Keika mendorong daun pintu yang sejak tadi sudah terbuka setengah. Lalu berjalan masuk melewati ambang. "Tutup pintunya." Perintah itu menyambut Keika, ketika satu langkah di depan ambang pintu. Dia mencebikkan bibir dan mendorong pintunya menutup, tidak rapat agar kalau-kalau Alvian bertindak jahat padanya, dia bisa segera kabur. "Ada apa memanggilku kemari?" Keika bersuara, setelah beberapa kali berdehem untuk meloloskan sesak yang tiba-tiba menghimpit. Baru sadar jika ruangan yang dia tempati memang sebuah kamar, dan mungkin benar yang Gina sebutkan, jika ruangan yang menjadi pijakannya ini adalah kamar pribadi Alvian. Kamar berukuran besar. Dua kali lipat lebih besar dari kamarnya sendiri. Menurut Keika, kamar yang menjadi tempatnya terlelap selama ini saja sudah besar, maka kamar Alvian akan membuat decap kagum sebagian orang. Bukan hanya besar, tapi juga desain interiornya sungguh bagus. Seolah desain itu memang dibuatkan khusus dan spesial untuk Alvian. "Ke sini," Alvian mengedikkan dagu, menunjuk sisi ranjang kosong, sebelah tempat yang dia duduki. Dia menyeringai kecil ketika sadar Keika sedari tadi tengah menilai kamarnya. "Kamu suka kamarnya?" tanyanya. Begitu intens memperhatikan langkah pelan Keika yang menuju padanya. Gadis itu, meski terlihat jutek namun cukup penurut. "Secara garis besar, siapa pun orang yang ditawari kamar ini untuk ditempati pasti akan mengatakan suka," Keika mengedikkan bahu. Dia menghentikan langkah tepat satu meter dari tempat Alvian duduk. Lagi-lagi usaha untuk membuat mudah niatan kaburnya. Dengan menjaga jarak. "Syukurlah." desah Alvian. Dia meletakkan tablet yang sedari tadi menemaninya sembari menunggu kedatangan Keika ke atas nakas. Baru setelahnya dia memberi perhatian penuh dan mendecap, ketika wanita itu masih berdiri kaku dengan jarak aman darinya. "Duduk, di sini." pintanya, menepuk sisi ranjang, tepat di sebelahnya. Nampaknya gadis itu tidak memahami apa yang dia pinta di awal tadi, ketika mengedikkan dagu. "Nggak mau. Ngapain duduk deket-deket." Keika menolak tegas. "Bukan muhrim." imbuhnya pasti, sembari membuang tatapan. Melupakan sepenuhnya jika sebelum ini mereka sudah menikah. Sah di mata agama dan hukum. Ada ayah angkatnya yang menjadi saksi juga wali hakim dan penghulu. Jangan lupakan neneknya yang juga berada di saat-saat itu. Alvian menaikkan sebelah alisnya. Dia menggenggam jemari Keika dan menariknya paksa hingga jatuh terduduk. Dan berbisik serius di depan wajah Keika yang tampak terkejut dengan sikapnya. "Kita sudah menikah. Dan artinya kita muhrim, kan?" Keika menarik paksa tangannya untuk terlepas. Tapi, meski dia sudah terlatih beladiri genggaman jemari Alvian di pergelangan tangannya terlalu kuat. "Lepas. Jangan deket-deket. Aku teriak nih." Bodoh kalau Keika mengira Alvian akan menurut, karena Alvian adalah sosok yang paling tidak bisa diperintah apalagi kalau itu bukan berurusan dengan pekerjaannya. Alvian tersenyum miring ketika Keika semakin membulatkan mata melihat gerakannya yang semakin mendekat. Setelah beberapa senti di depan wajah Keika, Alvian berbisik rendah. "Kamu harus bertanggung jawab." ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD