Bab 3

2665 Words
Bab 3 Derap langkah Keika semakin dipelankan. Sebisa mungkin meredam suara yang ditimbulkan.Bulu kuduknya semakin meremang. Dia bukannya takut akan gelap. Hanya saja, suara gemerisik dari arah dapur membuatnya parno. Waktu hampir menunjukkan tengah malam. Tadinya dia hanya ingin turun dari kamarnya mengambil air putih. Pertama kalinya dia keluar kamar sendiri. Karena sejak satu bulan lalu dia selalu ditemani bodyguard wanita. "Sial." umpat Keika lirih. Disaat tak ada seorang pun yang mengawalnya, dia justru mendapati pergerakan asing di dapur. Dengan penerangan yang remang. Bayangan hitam terlihat jelas tengah bergerak-gerak. Susah payah Keika menelan ludahnya. Bayangan itu kembali membuat bulu kuduknya meremang. Dia paling anti pada hal-hal mistis. Namun juga penasaran. Keika semakin mendekat dengan langkah yang diatur tak menimbulkan suara sedikit pun. Sebelah tangannya menggenggam sapu lantai yang dia ambil tak jauh dari dapur. Jaga-jaga. Sosok laki-laki dengan t-shirt terlihat semakin jelas sedang memgubrak-abrik isi kulkas. Dan jelas itu bukan salah satu bodyguard atau pun pelayan lain. Rambutnya terlihat sedikit panjang. Karena semua pekerja berpotongan rambut pendek. Bak buk!! Keika melayangkan sapu yang dipegangnya ke arah punggung sosok itu. Membabi buta. Dengan semua tenaga yang dia miliki. Rasanya dia teramat bersyukur karena sebulan ini dilatih beladiri. Meski dia harus mengalami pegal-pegal teramat saat awal-awal berlatih. Tulang-tulangnya belum terbiasa untuk melakukan latihan fisik yang menguras energi. Yang membuat sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Besok, Keika akan bilang pada Bobby -guru beladirinya untuk menaikkan level pelajaran dan menggembleng dirinya semakin keras. Biar bisa langsung membekuk maling seperti malam ini. Ah, dia juga akan bercerita pada Bobby dengan d**a membusung bangga. Kalau murid kebanggannya ini sudah pandai beladiri. Pada maling saja, Keika tidak takut sama sekali. Malahan menghajar mati-matian. "Gina ... ada maling. Buruan keluar!"teriak Keika kencang dengan tangan terus memukulkan sapu ke arah seseorang yang dianggap maling. "Aw ... aw ... berani beraninya." desis orang itu dengan suara bariton yang membuat bulu kuduk Keika semakin berdiri ketakutan. Namun tidak wanita itu pedulikan. Keika terus saja melayangkan pukulannya tanpa menghiraukan rintihan dari sang korban. "Gina!" Teriak Keika lagi lebih keras. Dia mulai frustasi karena tak ada seorang pun yang mendatanginya. Ke mana semua orang yang biasanya berjaga sampai seorang maling bisa lolos masuk ke rumah. Keika membulatkan matanya ketika merasa pergelangan tangannya dicekal. Sapu yang menjadi senjatanya terlepas dari genggaman jatuh berdenting di lantai. Kini bahkan kedua tangannya sudah dicekal. Kembali Keika menelan ludah susah payah. s**l. Tak adakah yang mendengar teriakannya "Siapa yang kamu sebut maling. Hah?" tanya laki-laki itu lantang. Suaranya tegas dan menakutkan. Matanya tepat menatap ke manik cokelat terang Keika. Tatapan mengintimidasi yang kentara. Meski beberapa helai rambutnya menjuntai menutupi wajah. Tak ada ketakutan yang Keika tampilkan. Dia justru menemukan ide cemerlang. Kalau maling saja bisa masuk. Berarti ada jalan rahasia di rumah ini. Satu kesempatan tidak boleh terlewat meski harus bekerja sama dengan seorang maling. Keika menarik tangannya kasar hingga terlepas dari cekalan. Sesaat dia menyeringai. Mendekati sang maling dan berucap pelan. Menuangkan ide apa yang ada dipikirannya. "Bagaimana kalau kita bekerja sama tuan maling." "Berani-beraninya kamu bocah. Kamu tidak tahu siapa aku?!" seru sang maling sedikit keras. Keika refleks mengacungkan jarinya tepat di bibir. Mengabaikan kalimat apa yang dilontarkan maling itu. "Sshh ... jangan keras-keras, aku hanya ingin ikut kamu keluar dan kamu boleh mengambil semua barang berharga di rumah ini. Setuju." Keika menaik turunkan alisnya. Harapannya melambung. Yang ada dibenaknya hanyalah bisa keluar. Masalah maling, dia mungkin bisa mengatasinya dengan kemampuannya. Dengan catatan tak ada s*****a dan kemampuan khusus dari sang maling. Dan dia bisa saja mudah lari dari seorang laki-laki daripada sepuluh bodyguard. "Kamu pikir kamu siap--" "Non Kei ada apa?" teriakan dari arah belakang Keika memotong ucapan sang maling tadi. Gina dengan tergesa-gesa berlari ke arah nonanya. Disusul dengan beberapa pengawal di belakang. "Sial." Keika memgumpat pelan. Idenya lagi-lagi dikacaukan lalu tanpa aba-aba dia melayangkan tendangan kaki kanannya tepat ke arah perut sang maling. Membuat laki-laki itu mundur beberapa langkah dengan ringisan pelan di bibirnya. Keika jengkel. Karena ide kerja samanya tak membuahkan hasil apa pun. Lampu dapur dinyalakan. Membuat keadaan lebih terlihat jelas. Gina dan para pengawal mendekati Keika. Sedangkan maling tadi masih menundukkan kepalanya dengan sebelah tangan menekan perut dan sebelahnya lagi berpegangan pada meja dapur. "Anda tidak apa Nona?"tanya Gina khawatir. Menyangga tubuh Keika yang sesaat tadi tampak limbung. "Tidak pa-pa. Tangkap maling itu." perintah Keika. Dengan sigap tanpa menunggu perintah dua kali, para pengawal berjalan ke arah sang maling. Dan siap menyergap laki-laki yang Keika anggap maling. Laki-laki itu masih memeluk perut dan menundukkan kepala. Keika tersenyum, lebih ke sebuah seringai. Dia yakin sekali, tendangannya tadi membuahkan rasa nyeri teramat di perut lelaki itu. Dia harus berterima kasih pada Bobby yang selalu menekankan untuk memusatkan tenaga pada kakinya jika ingin melakukan tendangan. Namun, seringai di bibir Keika tak berlangsung lama, dia segera mendesah menyesal. Harusnya dia menendang area s**********n, agar laki-laki itu tak berkutik. Kata Bobby -sekali lagi. Kelemahan lelaki itu berada pada area s**********n. Dalam keadaan terjepit, sebisa mungkin dia mengumpulkan tenaga dan mengarahkan pukulan ke area s**********n. "Siapa yang akan kalian tangkap. Hah!!" Gelegar suara tajam membuat semua orang kecuali Keika membulatkan matanya, membeku di tempat masing-masing. Mereka terlalu mengenali suara siapa itu. "Lancang sekali!" Teriaknya lagi penuh dengan letupan emosi. Dia menegakkan tubuh mengabaikan nyeri di perut dan menengadah dengan tatapan siap membunuh. Kalau dihitung dalam skala satu sampai sepuluh, amarahnya mungkin sudah berada di angka sebelas. Iya, sampai melewati skala nilai. Itu artinya sudah amat sangat marah. "Tu ... tuan, maafkan kami. Kami tidak tahu itu Anda." Gina untuk pertama kalinya membuka suara. Bibirnya terlihat jelas bergetar hebat. Mendengar ucapan Gina kali ini Keika yang membulatkan matanya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Tuan," gumam lirih Keika pada dirinya sendiri. Menatap tak percaya pada sosok laki-laki yang disebutnya maling tadi. Pikirannya segera bekerja cepat. Harap-harap cemas dengan hati terus menggumam do'a semoga Tuan yang Gina maksud bukan Tuan besar yang tadi pagi datang. Bukan laki-laki yang menjabat suami namun tidak ingin Keika akui. Dia hanya berharap semoga ada Tuan lain. Yang lebih lembut dari pada Tuan besar yang pagi tadi Gina sebutkan. "Anda baik-baik saja Tuan?" tanya salah seorang pengawal. Semakin membuat Keika membeku di tempatnya. Keika menajamkan manik matanya melihat orang yang dipanggil tuan itu. Poni yang sedikit panjang menjuntai menutupi sebagian mata laki-laki itu. Tanpa menjawab apa pun sang tuan melangkah mendekat. Lalu melayangkan tinjunya ke arah perut para pengawal secara bergantian. Membuat mereka jatuh terjungkal ke belakang. Keika menelan ludah ketika melihat pengawal dengan tubuh besar kekar dan terlatih itu tumbang hanya dengan sekali pukul. Pakai tangan kiri. Kali ini Keika yang menatap takut-takut. Pikirannya berkecamuk. Jika itu adalah sang tuan. Berarti laki-laki itu adalah suaminya. Suaminya yang tak pernah dilihatnya. Bahkan ketika hari pernikahan pun dia tak diperbolehkan untuk melihat sendiri wajah suaminya. Laki-laki yang berkedok sebagai suami Keika. Namun nyatanya gadis itu merasa dijual oleh ayahnya. Keika yakin bukan sebuah perjodohan yang dialaminya. Tak ada ikatan apa pun di antara mereka kecuali hitam di atas putih. Bahkan mereka tak saling mengenal sebelumnya. Tanpa memperdulikan siapa pun. Keika beranjak dari tempatnya, berlari sekencang mungkin ke arah kamarnya. Yang dia ingin hanya bersembunyi. Seruan khawatir dari Gina sama sekali tak membuatnya menghentikan langkah. Sesampainya di kamar. Keika segera mengunci pintu dan menutup tirai jendela yang memang selalu dia buka setengah tiap malam. Keika membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Memeluk tubuhnya erat. "Kei takut Nenek." lirih Keika dengan bibir yang bergetar hebat. Wanita itu benar-benar ketakutan. Dan ada rasa perih di dadanya. Dia tak tahu kenapa. Yang jelas sosok suaminya terlihat sangat menakutkan. Dia baru saja bertindak bodoh, dengan tak langsung mengibarkan bendera perang. Tak pernah sekali pun Keika berpikiran bahwa pertemuan pertamanya dengan laki-laki yang membuat hidupnya menderita bertemu dengan cara yang memalukan dan menakutkan. Gelegar kemarahan yang tadi didengarnya semakin terngiang di pikirannya. Membuat semua nyalinya semakin menciut. Sebisa mungkin Keika menutup mata. Mengenyahkan semua ketakutan. Tanpa Keika sadari, harinya baru akan dimulai. Entah itu menyenangkan atau lebih menyedihkan dari kemarin. Semua tergantung pada bagaimana dia menjalani harinya. *** "Non Kei ... bangun." Keika mengerjapkan matanya sejenak. Lalu setelahnya kedua iris cokelat terang itu membulat menyadari ada seseorang di dalam kamarnya. Bukankah tadi malam dia mengunci kamarnya. Tak perlu ditanyakan, jelas sekali pelayannya mempunyai kunci ganda pada kamarnya. Malas. Keika tetap dalam mode berbaringnya. Semalaman dia tidak bisa tidur. Pikirannya berkecamuk. Memikirkan apa yang akan terjadi dan dialaminya selanjutnya. "Keluarlah Gina. Aku masih ingin tidur."  ucapnya dengan mata yang terpejam. Hari ini dia tidak ingin keluar kamar. Biar. Biarkan saja dia bertindak kurang ajar. Pikirannya kembali pada malam tadi. Saat dia melayangkan pukulan dan tendangan pada suaminya. Memang pantas saja suaminya mendapatkan hal itu karena laki-laki itu pun tega membuat Keika menderita selama ini. "Tapi hari ini Anda ada kelas piano," Gina kembali bersuara, dia berdiri menanti dengan sabar di dekat Keika. Menatapi wanita itu yang justru semakin mengeratkan pelukan. Hampir seluruh tubuh Keika tertutup selimut, hanya bagian puncak kepalanya saja yang menyembul. Keika menghela napas. Perlahan membuka matanya. Selama berada di rumah itu semua fasilitas dan keinginanya terpenuhi. Termasuk kelas piano. Sejak dahulu, Keika paling ingin menyentuh piano. Dan ketika tiba di rumah ini dan ditawari ingin mengisi waktu dengan apa. Keika yang saat itu tanpa sengaja melihat grand piano di ruang tamu, serta merta menunjuk benda itu sebagai keinginan pertamanya. Dan yang terjadi selanjutnya, dia diberi guru dan kelas private untuk bermain piano. Keika pikir, setidaknya dia memiliki kesibukan lain di rumah itu. Yang akan mengisi waktu-waktunya sehingga tak melulu mengingat bagaimana merananya dia. "Suruh libur saja. Toh orang itu masih di rumah bukan?" tanya Keika. Dia yakin suami tak dikenalnya itu masih berada satu atap dengannya. Hawa-hawa mencekam terasa jelas memyelimuti sekitarnya. Gina mengangguk lemah. Wanita itu tengah melipat selimut tebal di ranjang Keika. Karena akhirnya Keika bangkit dari tidurannya dan melepaskan selimut. "Iya. Tapi Tuan tadi menyuruh Anda beraktifitas seperti biasa." Keika mendengkus. Lalu memijat pelan pelipisnya yang berdenyut sakit. Pantas saja dia hanya tidur selepas shubuh tadi. Selama ini dia acuh tak acuh pada sekitar. Tak memperdulikan apalagi berusaha mengenal suaminya. Hei, bahkan nama laki-laki itu saja baru ia tanyakan kemarin. Apa yang ia alami dulu terjadi begitu cepat. Yang ada dibenaknya saat ini hanyalah perasaan terbuang. Dia merasa bahwa ayahnya menjual dirinya seperti di cerita-cerita romance yang pernah dibacanya. Keika paham betul bagaimana keadaan keluarganya saat itu. Tapi tak bisakah Ayahnya tidak berbuat setega itu. Menjual putrinya dengan kedok pernikahan hanya demi sejumlah uang. "Non ... saatnya mandi." Ucapan dari Gina mengembalikan Keika ke dunia nyatanya. Keika kembali menghela napas beratnya. Entah sudah yang ke berapa kalinya gadis itu melakukannya pagi ini. Tanpa menjawab atau pun menunggu ucapan Gina selanjutnya, Keika beranjak ke kamar mandi. Air dingin mungkin bisa sedikit menenangkannya. Dua puluh menit kemudian, dengan pakaian kasual yang biasa dipakainya setiap hari. Keika melangkah pelan menuruni satu persatu anak tangga. Seperti semalam, dia berusaha tidak sedikitpun menimbulkan bunyi. Meski tak ada pelayan atau pun pengawal yang mengikutinya tapi Keika merasa justru saat ini tengah diawasi intens. "Selamat pagi Nona," sapa beberapa pelayan yang tengah menyiapkan menu sarapan pagi ini di atas meja. "Pagi," jawab Keika datar. Dia sedikit menghela napas lega. Mendapati tidak ada orang yang tidak ingin ditemuinya di meja makan. Sekilas Keika mengitari pandangannya ke seluruh ruangan. Sepi. Kosong. Sudah tak ada lagi para pengawal yang menjaga 24 jam tanpa henti. Tanpa menunggu lama Keika duduk di salah satu kursi, mengambil makanan yang tersedia dan langsung melahapnya. Dia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan sarapannya dan kembali lagi ke kamar. "Ehmm," Sebuah deheman pelan menghentikan aktifitas Keika. Gadis itu mendongakkan wajahnya pelan. Bola mata dengan iris cokelat terang itu membulat mendapati seseorang yang tak ingin ditemuinya justru berdiri tepat di hadapannya. Alviano Brahma. Lelaki itu berdiri gagah dengan pakaian yang membalut tubuhnya. Kemeja hitam polos yang sempurna melekat di tubuh laki-laki itu. Dengan susah payah Keika menelan makanan yang tadi sempat berdiam cukup lama di mulutnya. Sejak bangun tadi pagi dia berusaha untuk meneguhkan hatinya bahwa dia tidak takut. Untuk apa takut pada suami berengsek itu. "Kamu tidak ingin menyapaku?" tanya Alvian menatap datar pada wanita yang juga tengah menatapnya. Beberapa kali Keika mengerjapkan matanya. Terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan laki-laki itu. Semalaman dia berpikir apa yang akan pertama kali dialaminya ketika bertemu Alvian. Mungkin dia akan di marahi habis-habisan. Disumpah serapahi atau lebih buruk lagi. Pukulan balas pukulan. Keika menggeleng pelan menyingkirkan pikiran buruknya pagi ini. "Ehh, em ... Selamat pagi, Tuan," sapa Keika akhirnya. Meski suaranya diusahakan agar tak terdengar gugup tapi tetap saja keluarnya menyedihkan. Kenapa dia harus gugup. Bukankah selama ini dia adalah gadis angkuh dengan sejuta ekspresi dingin dan datarnya. Alvian terkekeh pelan mendengar sapaan Keika. Membuat gadis itu menatapnya tak mengerti. "Apa kamu pelayan di sini. Memanggilku seperti itu?" Alvian bertanya seraya menarik kursi diujung meja. Yang biasanya selalu kosong. Keika masih menatap bingung pada suaminya. Memperhatikan setiap gerak-geriknya. Selama berhari-hari baru pagi ini dia sarapan ditemani seseorang. Seseorang yang jelas ikut makan bukan sekadar berdiri di belakangnya. "Panggil saja namaku. Itu lebih enak didengar." Alvian bersuara lagi. Ketika mendapati gadis di depannya masih saja bungkam. "Eh, i-iya Tu-- Maksud saya Al atau Vian?" Keika mengerjap, sedikit mengernyit meminta pertimbangan dari lelaki di hadapannya ini. Alvian mendongakkan wajahnya. Gadis di depannya tengah menatapnya datar dan dingin. Tak ada ekspresi lain di wajah ayu itu. Sungguh berbeda dengan Alvian yang sesekali menyungging senyuman tipis meski nada suaranya terdengar datar. "Terserah kamu saja." "Baiklah Al, selamat pagi." ucap Keika akhirnya dengan nada seperti biasa. Dingin tak tersentuh. Tanpa mengatakan apapun lagi dia melanjutkan sarapannya. Inginnya sih langsung meninggalkan meja makan saat itu juga. "Pagi," Alvian membalas sapaan Keika. Dia menyeringai disela kegiatannya menyesap kopi paginya. "Ngomong-ngomong tendanganmu semalam lumayan juga," Keika tersedak makanannya. Buru-buru dia meraih segelas air putih dan meneguknya hingga habis setengah. Setelahnya dia banyak-banyak mengambil napas dengan tarikan pelan. Sembari bola matanya tak melepas tatapan dari Alvian. Dia sedikit menilai bagaimana perangai Alvian yang sesungguhnya. Semalam, dia teramat yakin, Alvian adalah sosok menakutkan. Apalagi ketika dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat lelaki itu hanya memberi satu pukulan pada pengawal dan sudah membuat tumbang. Atau ada konspirasi di belakang. Bahwa pengawal itu harus tumbang begitu saja dengan pukulan dari Alvian. Bisa saja terjadi, Alvian adalah Tuan besar mereka. Alvian tersenyum miring melihat tingkah Keika. Cukup perhatikan saja. Tidak lebih. Setelah dirasa tarikan napasnya cukup tenang. Keika menelan ludahnya susah payah sebelum meloloskan kalimat, "Tadi malam aku sungguh tak tahu bahwa itu kamu." "Dan jika aku tahu, aku pasti akan menendangmu lebih keras," lanjut Keika di dalam hati. Kalau dia tahu itu Alvian pasti tak akan segan untuk menghajar lebih membabi buta lagi, karena didominasi kebencian pada lelaki itu. Lelaki jahat yang menikahinya tiba-tiba, membawanya pergi jauh dari keluarga untuk tinggal di rumah besar bak istana kosong ini, lalu ditinggalkan begitu saja, seolah dia hanya seonggok tidak berguna dan tidak memiliki perasaan. Belum cukup sampai di situ, dia juga dikurung seperti burung di dalam sangkar. Dijauhkan dari dunia luar dan menjadi mahkluk anti sosial. Padahal sebelum ini, pekerjaaan Keika adalah pegawai mini market yang menuntut dia terus ramah dengan sungginga  senyum meski harinya sedang buruk dan moodnya sedang terbang-terbang tak tahu arah. Tapi, Keika senang hidup seperti itu. Dia tidak perlu rumah mewah, pakaian bagus, segala keinginannya terpenuhi namun menjadi kesepian. Dibuang ke tempat asing yang tak dia inginkan. Alvian hanya menaikkan sebelah alisnya. Matanya mengisyaratkan sebuah kata, "Benarkah?" Lama keduanya diam. Diam tanpa membuka obrolan apa pun. Masing-masing hanya fokus pada makanan di piringnya. Seolah apa yang ada di atas piring itu adalah sesuatu teramat berharga yang jika lengah sedikit akan dicuri orang. "Aku selesai. Permisi," pamit Keika. Mood sarapannya pagi ini benar-benar hilang. Dia beranjak dari duduknya dengan mengambil sepotong sandwich. Oh ayolah, dia bahkan hanya menyuap dua sendok nasi ke mulutnya dan itu pun ditelan dengan susah payah. Alvian tak menanggapi kepergian Keika. Dia hanya menatap piring gadis itu yang bahkan makanan di atasnya terlihat masih utuh. Kemudian dengan santainya dia melanjutkan acara sarapannya sendiri. Selama ini pun dia selalu sendiri seperti gadis itu. Dan kesendirian itu membuat ketenangan dalam versinya. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD