19. Disguise Feeling

1689 Words
Tubuh Lisa menengang ketika Faraz menciumnya dalam. Ia berusaha mengenyahkan rasa gugup dan takut yang dirasakannya dengan mencoba menikmati sentuhan bibir Faraz di bibirnnya, tapi tetap gagal. Namun, rasa takut masih dominan menghinggapinya. Faraz melepaskan ciumannya dan menatap Lisa dengan tatapan dalam dan penuh gairah. Keduanya terengah karena ciuman halal yang baru saja mereka lakukan. Saat tangan Faraz bergerak akan membukan tali handuk kimono Lisa, Lisa dengan cepat menahan tangan Faraz. Faraz menatap Lisa dengan tatapan bingung dan penuh tanya. “Ja ... jangan, Ras! A ... ak ... aku belum siap,” cicit Lisa sambil menunduk dan mencengkram tangan Faraz yang masih memegang tali kimononya. Ia tak berani menatap Faraz karena menahan malu dan takut. Takut jika Faraz marah karena penolakannya. Faraz mendengus agak keras. Rahangnya mengetat menahan amarah. Gairah yang dirasanya tadi menguap berganti amarah. Ia melepas tangan Lisa yang mencengkram tangannya tadi dan berbalik sambil mengusap wajah dan rambutnya kasar. Lisa merasa kaget karena ulah Faraz. Lisa jadi merasa semakin bersalah. Lisa pikir ini pasti karena dirinya yang belum siap untuk disentuh Faraz lebih jauh. Lisa berjalan menghampiri Faraz lalu menggamit lengannya. Seketika itu juga Faraz melepaskan tangan Lisa, tapi kali ini dengan pelan. “Jangan sentuh aku!” ucap Faraz tajam sambil berusaha tenang mengendalikan emosinya. “Maaf, Ras. Maaf aku belum bisa. Ini masih terlalu singkat buat aku. Maaf.” Faraz berdecih mendengar alasan Lisa. “Kamu nolak disentuh suami kamu sendiri. Tapi, kamu pasti udah berkali—kali disentuh sama mantan kamu tadi. Iya, kan?” ucap Faraz tajam. “Oh atau kamu masih terbayang-bayang sama mantan kamu itu ya?” Faraz memang sengaja ingin menyentuh Lisa untuk membuktikan kebenaran ucapan Revan padanya tadi siang. Faraz pikir, cara untuk membuktikannya hanya dengan menyentuh Lisa. Penolakan yang diberikan Lisa padanya membuatnya berpikir bahwa Lisa masih enggan disentuh olehnya karena masih terbayang-bayang Revan dan sentuhan yang mereka lakukan saat masih pacaran dulu. Lisa mengernyitkan dahi mendengar tuduhan yang dilontarkan Faraz padanya. “Maksud kamu apa, Ras? Aku gak ngerti. Maksud kamu apa aku kebayang-bayang sentuhan Revan?” “Jangan pura-pura, Lisa!” Faraz emosi. Ia pun dilanda kebimbangan. Apakah keputusannya menikahi Lisa sudah tepat dan benar? Ia bercita-cita ingin mendapatkan istri yang shalihah, tapi kenapa Allah memberinya istri seperti Lisa yang punya mantan? Astaghfirullahal’adziim ... Lisa berpikir maksud ucapan Faraz. Oh tidak! Pasti si Revan udah bilang yang gak benar sama Faraz. “Oh, jadi kamu lebih percaya ucapan orang lain dari pada aku yang sekarang udah jadi istri kamu sendiri?” Lisa merasa hatinya amat sakit saat Faraz menilainya serendah itu sebagai perempuan. Meski ia dan Revan telah berpacaran cukup lama, tapi Lisa membatasi interaksi skinship dengan Revan. Hal itu jugalah yang membuat Revan bosan dan berselingkuh di belakang Lisa. Lisa tadinya merasa amat bersalah pada Faraz, tapi karena ucapannya yang membuat Lisa sakit hati, rasa bersalah juga berubah menjadi amarah. Lisa tak terima dinilai sebagai perempuan yang rendah oleh Faraz. “Harusnya kamu tanya aku dulu sebelum nuduh yang gak bener, Ras! Aku gak nyangka kamu nilai aku serendah itu! Kamu kan bisa tanya baik-baik dulu sama aku. Aku bisa jelasin semuanya.” Mereka berdua sama-sama terdiam menyelami pikiran dan perasaan masing-masing. Perasaan mereka jadi tertukar. Lisa yang awalnya merasa bersalah jadi marah, sedangkan Faraz yang tadinya merasa marah jadi bersalah. Dalam hati, Faraz membenarkan ucapan Lisa. ia harusnya bertanya baik-baik pada Lisa dan tidak menuduh Lisa serendah itu. “Oh, atau kamu diam-diam nyesel ya nikah sama aku? Kamu lelaki soleh, tampan, kaya, berpendidikan tinggi, gak pernah pacaran dan punya mantan harus nikah sama aku yang perempuan biasa aja dan dulunya bahkan pernah pacaran dan punya mantan. Kamu pasti nyesel kan nikahin aku yang bukan tipe kamu? Aku yang jauh banget dari Annisa yang soleh, lembut dan keibuan. Iya kan?” Lisa melihat Faraz yang diam menjadi tambah yakin bahwa semua ucapannya tadi adalah benar. Lisa berusaha mengendalikan emosinya sebisa mungkin. “Asal lo tahu ya, Ras. Meskipun gue pernah pacaran, tapi gue gak pernah biarin Revan nyentuh gue dan karena hal itu juga yang buat dia selingkuh di belakang gue. Dia selingkuh karena gak bisa nyentuh gue! Dia bosan sama gaya pacaran gue yang kuno dan gak mau disentuh sama dia!” Lisa yang dalam mode marah menggunakan kata ‘gue’ kembali. Ia langsung mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Lisa menutup pintu dengan membantingnya keras untuk meluapkan emosinya. Setelah menutup pintu, Lisa langsung memegang dadanya yang berdenyut nyeri menahan pedih. Ia meneteskan air matanya. Sungguh, menurut Lisa sikap Faraz saat ini sudah keterlaluan. Lisa tak kuat menahan tangisnya, ia buru-buru menyalakan keran air di wastafel agar isakannya tak terdengar hingga ke luar kamar mandi. === Malam ini Faraz merenung kembali di depan teras vilanya. Hari ini hanya ada Faraz dan Lisa di vila karena Mang Udin dan Bik Ipah pulang ke rumah mereka. Mungkin, bagi pasangan pengantin baru yang normal, ini adalah momen bagus untuk memadu kasih dan cinta tanpa gangguan orang lain. Namun, kali ini Faraz dan Lisa lebih mengharapkan kehadiran dua orang paruh baya itu agar mereka tak saling sapa dan berinteraksi. Faraz hanya bisa menikmati cumbuan pekat dan dinnginnya malam ditambah suara jangkrik dan binatang malam yang saling bersahut. Faraz dan Lisa masih dalam mode saling mendiamkan satu sama lain. Keduanya sama-sama keras kepala dan belum ada yang mau mengalah. Usai melaksanakan salat maghrib dan isya di mesjid, Faraz belum masuk kamar. Ia belum sanggup bertemu Lisa. Faraz kembali dibuat bingung dengan nasib pernikahannya. Baru saja tadi pagi mereka saling bertukar biodata, bertukar cerita tentang masalah pertanian, hingga di area paralayang mereka bertemu dengan Revan, mantan Lisa dan percakapan mereka sambil melakukan tea walk sore tadi. Terselip rasa bersalah pada hati Faraz karena sudah menuduh Lisa hanya berdasarkan ucapan mantannya. Faraz akui, harusnya ia menanyakan langsung hal itu pada Lisa. Tapi, Faraz bingung cara mengungkapkan pertanyaannya sehingga ia memutuskan untuk menyentuh Lisa langsung demi mendapatkan jawabannya. Bodohnya, penolakan yang diberikan Lisa padanya ia simpulkan bahwa istrinya itu masih terbayang-bayang dengan mantannya. Faraz menghela napas lelah. Awal pernikahan yang rumit seperti ini membuatnya kadang putus asa dan pesimis untuk melanjutkan pernikahan dengan Lisa. Faraz berulang kali merapalkan istighfar dalam hati karena ia tidak mau tergoda oleh bisikan-bisikan setan. Ya Allah, apa Lisa itu istri yang tepat untuk hamba? Apakah dia jodoh hamba dunia akhirat? Batin Faraz. Sudah, kalau kamu tidak cocok dengan Lisa pisah aja, Ras. Gampang, kan? Tinggal cerai saja? lagian mana pantas lelaki shallih seperti kamu dapat istri yang agamanya pun tidak sekufu atau selevel dengan kamu? Sisi buruk Faraz membisiki hal buruk itu padanya. Ingat, Faraz. Kamu sudah berijab qabul dengan ayah Lisa. Lisa sudah menjadi tanggung jawabmu dunia akhirat. Jangan merasa diri shalih atau baik! Itu tidak benar. Ingat, kamu dulu memutuskan menikah dengan Lisa setelah beristikharah, kan? Jika saat ini agama Lisa belum baik, tugasmu adalah membimbingnya menjadi istri yang shalihah. Hal yang menurutmu buruk, siapa tahu Allah menjadikan banyak kebaikan di dalamnya. Pernikahanmu dengan Lisa sudah Allah tulis di Lauh Mahfuz sejak zaman azali. Sisi baik dalam diri Faraz mencoba menasihati. Astaghfirullahal’adzim ... Faraz terus beristighfar dan berdzikir agar hatinya merasa tenang. Usai berdzikir, ia memutuskan untuk membaca Al Qur’an agar hatinya lebih tenang. Dalam keheningan malam, suara tilawah Faraz yang merdu menjadi irama tersendiri. Suara bising binatang malam pun lenyap, seakan tahu bahwa ada hamba Allah yang sedang membaca kalam Tuhannya. Lisa yang sedang berjalan menuju dapur untuk mengambil minum pun mendengar suara tilawah suaminya yang merdu. Kaki Lisa terpaku sejenak. Ia benar-benar kagum dengan Faraz. Perasaan bersalah semakin menggerogoti benaknya. Lelaki yang baik dan shalih seperti Faraz memang tidak pantas mendapatkan istri sepertiku, batin Lisa. Lisa berhenti dan duduk di kursi dapur mendengarkan suara tilawah Faraz yang menentramkan jiwa siapa pun yang mendengarnya. Namun, ketika suara ponsel menginterupsi, Faraz berhenti dan Lisa buru—buru mengambil minum dan kembali ke kamar. === Faraz menghentikan tilawahnya dan menatap ponselnya yang berdering. Ternyata Asep menghubunginya lagi. “Halo, Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam. Eh, borokokok, kunaon isuk tadi teh dipareuman hape na?”  (Eh, borokokok! Kenapa tadi pagi teleponnya dimatikan?) Asep protes karena Faraz langsung menutup telepon mereka ketika gelas yang dipegang Lisa jatuh. “Lia meupeusken gelas, Sep (Lisa mecahin gelas, Sep). Makanya saya langsung matiin teleponnya. Saya bantuin dia beresin beling.” “Oh, kirain teh kunaon kitu. Eh, kamu gak serius kan Ras rek cere jeung si Lisa? Ngan heureuy pan maneh teh nya?” (Oh, kirain kenapa. Eh, kamu gak serius kan Ras mau  cerai sama si Lisa? Kamu Cuma bercanda kan?) “Teuing lah, Sep. Saya ge da lieur.” (Gak tahu lah, Sep. Saya juga pusing.) “Ck, lah Ras, Ras. Ulah lieur kitu atuh lah. Ceuk urang ge pedekate heula, beres. Agama kamu teh kan bagus, tahu kan cerai teh dibenci ku Gusti Allah?” (Ck, Ras, Ras. Jangan pusing begitu lah. Kata saya juga pedekate dulu, beres. Agama kamu kan bagus, tahu  kan kalau perceraian itu dibenci Allah?) “Tahu, Sep. Udah coba pedekate, Sep. Tapi dia teh wataknya keras.” “Ya kamu atuh nu ngalah, Ras. Ulah batu duanana, da nu aya bakalan ribut wae. Lamun si Lisa keras, kamu nu kudu lembut, ngalah. Ulah sarua keras na.” (Ya kamu yang mengalah, Ras. Jangan kepala batu dua-duanya. Jangan sama kerasnya.) “Ya masa saya mulu yang ngalah dan ngertiin sih, Sep? Da lama-lama kesel atuh saya juga.” “Lah pan kamu teh suaminya. Da umur kamu ge lebih tua tibang si Lisa. jadi, kamu lah nu kudu banyak ngalah, Ras. Da engke mah lila-lila ge si Lisa bakalan mikir atuh. Pasti lama-kelamaan kalo kamu lembut ke si Lisa juga, dia bakalan mikir dan ngubah sifatnya. Doaken mangkanna.” (Kamu Itu suaminya. Umur kamu Juga lebih tua dari Lisa. Jadi, kamu yang harus banyak mengalah. Nanti juga lama kelamaan Lisa bakal berpikir dan mengubah sifatnya. Makanya didoakan juga.) “Kitu nya, Sep.” (Gitu ya,Sep.) “He-euh. Eh, bisi hilap yeuh, ke mun tos balik ti Puncak urang aya reuni jeung babaturan SD nya.” (Iya. Eh, takut lupa nih. Nanti kalau udah pulang dari Puncak, kita ada reuni sama teman-teman SD). “Oh, okelah siap.” “Geus atuhlah, Asep pareuman heula yeuh hapena. Rek bobo cantik jeung Neng Eli. Ulah ngiri nya. Pan kamu ge bisa bobo cantik jeung si Lisa.” (Ya sudah ya, Asep matikan dulu teleponnya. Mau bobo cantik sama Eli. Jangan iri ya. Kan kamu juga bisa bobo cantik sama si Lisa). Boro-boro bobo cantik, batin Faraz. “Wassalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Faraz mematikan ponselnya. Ia memikirkan saran dari Asep tadi. Rasanya, ia sudah banyak mengalah untuk Lisa. Apa masih kurang banyak? Faraz bangkit dari duduknya. Ia memberanikan diri untuk masuk kamar dan bertemu dengan Lisa. “Aaaaa!” Faraz yang mendengar teriakan Lisa langsung berlari menuju kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD