Tidak tampak

1437 Words
Bahia berjalan gontai di bawah terik matahari, ia baru saja selesai mengumpulkan tugas di kampus dan berencana pulang dengan naik gojek online. Matahari sedang berada di puncaknya, rasanya terlalu panas jika harus berjalan dibawah naungan sinar matahari yang jelas tidak baik untuk kulit. Namun rencana tidak selamanya selaras dengan kenyataan, ponselnya Low battery dan mati. Bahia terpaksa harus berjalan untuk sampai ke pangkalan ojek, sekitar sepuluh menit untuk sampai ke pangkalan ojek dab Bahia harus cepat berjalan, jika tidak ingin berlama-lama di bawah terik matahari. Angkutan umum jarang ada di dekat kampus. “Huft, panas banget... “ gumam Bahia. Gadis itu lantas, berlari-lari kecil mencari jalan yang lebih manusiawi dari sengatan matahari. Bahia berjalan di pinggir-pinggir, agar bisa bersembunyi dari sengatan matahari melalui bayang-bayangan pohon-pohon yang menjulang. Jalan ini memang jalan aspal hingga tidak heran panasnya terasa sangat menyengat, selain itu layaknya jalan raya pada umumnya jalan ini sangat berdebu, beruntung Bahia tadi sudah memakai sunblock dan masker wajah. Finally, akhirnya Bahia sampai di pangkalan ojek. “Bang, ojek ke jalan Delima ya,” kata Bahia. “Sip Neng.” Bahia segera naik, ia meletakkan tas punggungnya di tengah-tengah, antara dirinya dan tukang ojek, hal ini dilakukan agar terhindarnya dari kontak fisik tanpa sengaja dan hal yang dilarang dalam agama Islam. Bahia melirik jam di tangannya, sudah jam setengah dua, beruntung tadi sebelum pulang, Bahia melaksanakan salat Dzuhur terlebih dahulu di kampus. “Meow.... “ Bahia menoleh, matanya langsung menangkap seekor kucing mungil dipinggir jalan. Kucing itu tampak kelaparan. “Bang, Bang, stop di sini aja,” seru Bahia, tiba-tiba. “Lah kok stop di sini Neng? “ Bingung Kang ojek. “Gak papa Bang, ada urusan di sini.” Bahia turun lalu memberikan helm dan secarik uang pada tukang ojek. “Oh iya udah Neng. Terimakasih ya.” Kang ojek langsung pergi. Kembali ke tempat singgahsananya. Dengan riang, Bahia langsung menghampiri kucing itu lalu membuka tas dan mengeluarkan sebungkus toples sosis rasa ayam. Sosis rasa ayam, merupakan cemilan nomor dua, setelah es cream di nomor pertama, bagi Bahia. Tidak heran, jika kemana-mana Bahia selalu membawa sosis di dalam tasnya. Hal ini dilakukan jika tiba-tiba ia lapar mendadak dan malas ke kantin. “Meow.... “ Kucing itu mendengus di dekat kaki Bahia. Bahia berjongkok dan memberikan kucing itu makan. “Makan yang banyak ya, meow...” Bahia mengelus kucing berwarna abu-abu itu. Kucing itu terlihat lahap memakan menu sosis rasa ayam yang Bahia berikan. “Meow....” Kucing itu bersuara. “Kucing lucu, nama kamu siapa? Bagaimana kalo aku kasih nama. Aku akan panggil kamu Chingu dalam bahasa Indonesia itu artinya teman. Mulai sekarang kita teman.” “Meow.... “ Kucing itu kembali menatap Bahia, seperti mengatakan bahwa makanannya sudah habis dan ia ingin lagi. Bahia dengan senang hati kembali memberikan satu sosis lagi pada kucing itu. Bahia memperhatikan kucing itu, ia sangat senang hingga tidak menghiraukan rasa panas yang menyengat kulitnya. Matanya hanya fokus pada kucing lucu itu. Bahia sangat suka pada kucing. Dulu ia punya kucing namanya kucingku. Kucingku mati, karena kecerobohan Bahia yang tidak memperhatikan makanan hingga kucing persia itu keracunan dan mati dan setelah kematian kucingku, Bahia tidak berani lagi memelihara kucing dan memendam rasa sayangnya pada kucing. ia takut ceroboh lagi. “Meow....” “Mau lagi? “ tanya Bahia. “Wah, ternyata kita satu selera rupanya.” Bahia tertawa, matanya teralihkan dari kucing lucu itu. Dan saat itu Bahia baru sadar, bahwa ia tidak sendirian di sana. Bahia melihat bayangan yang menutupi dirinya dari sinar terik matahari. Spontan Bahia menoleh. Ia melihat punggung seseorang yang berdiri menantang terik matahari. “Aariz...,”kaget Bahia. “Kamu ngapain di situ ?” Aariz tidak menjawab. Ia rasa Bahia tahu kenapa ia ada di sana. Bahia menghela nafas panjang, ia lantas langsung berdiri dan memasukan setoples sosis miliknya ke dalam tas. “Oke aku pulang. Kamu juga pulang. Kamu bisa pingsan berdiri kelamaan di depan sinar matahari gitu,” kata Bahia. Kepala Aariz sedikit menoleh. “Kamu pulang saja duluan. Aku ada urusan sebentar. Pulang sana. Jangan terlalu kelelahan itu tidak baik untuk kondisi mu,” jawab Aariz. Bahia mengangguk. “Dan jangan terlalu banyak makan sosis. Itu kurang sehat.” “Iya, iya, Aku tahu Riz... “ Bahia memutar bola matanya. Sikap cemas Aariz membuat Bahia sedikit kesal. Dia sudah dewasa namun tetap saja Aariz memperlakukannya seperti anak kecil. “Bawel... “ Bahia berdecak, pelan. “Itu demi kebaikan kamu, Bahia,” jawab Aariz, tegas. Bahia mengangguk pasrah. “Iya, iya.. maaf.” “Kalo gitu, aku pergi sekarang.” Aariz langsung melanjutkan langkahnya, meninggalkan Bahia yang berbeda jalan dengannya. Bahia mengelus kepala kucing lucu itu sebelum pergi. Kemudian baru melangkah pergi. Bahia menoleh, melihat punggung Aariz dari jauh. Entah kenapa Bahia merasa ada yang berbeda dengan Aariz. Aariz memang terbiasa bersikap dingin, namun kali ini Bahia merasa sikap dingin Aariz berbeda. “Aariz..... “ panggil Bahia. Aariz refleks menoleh, suara Bahia yang cetar jelas saja bisa ia dengar meski jarak keduanya sudah jauh. “Gomawo.... “ Bahia tersenyum. Aariz membalas dengan senyum tipis, sebelum akhirnya kembali ke posisi awal dan fokus pada jalannya. “Hem. Dia bukan patung, dia manusia...” Bahia terkekeh. Sebelum ‘peristiwa' itu terjadi, Aariz adalah sahabat teraneh yang Bahia miliki. Bahia jadi teringat cita-cita Aariz sewaktu kecil. Jika anak kecil pada umumnya ingin menjadi super hero, polisi, tentara, atau presiden. Aariz justru berbeda. Ia ingin jadi patung. Aariz bahkan sering berpura-pura menjadi patung di taman bermain, tidak tanggung-tanggung Aariz menjadi patung selama berjam-jam hingga Bahia kecil yang polos sempat berpikir bahwa Aariz benar-benar menjadi patung. Ada alasan dibalik cita-citanya itu. Aariz bilang bahwa patung tidak akan pernah merasakan sakit, kecewa ataupun sedih. Ia akan terlihat dengan senyum sepanjang hari. Patung juga tidak perlu makan dan minum, hingga tidak akan merasa takut kelaparan saat tidak pulang ke rumah. Selain cita-cita yang aneh, Aariz kecil juga punya sebuah prinsip yang sama anehnya. Aariz bilang bahwa rahasianya adalah tawanan dan dia memiliki begitu banyak tawanan. Tawanan itu, ia jaga sangat ketat lebih ketat dari penjara kerajaan. Aariz tidak pernah keceplosan sekali pun membagai masalahnya pada siapa pun, termasuk Bahia yang notabennya sahabat terdekat Aariz. Setiap kali Bahia mencoba mengorek mengenai tawanannya itu, secerdik itu Aariz segera membalik keadaan, yang berujung malah Bahia kecil yang curhat. Aariz itu tipe orang yang suka mendengarkan cerita namun tidak suka membagi cerita. Terkhusus ceritanya sendiri. Aariz memiliki sebuah ciri-ciri yang unik saat ia marah, sangking uniknya terkadang tidak ada yang sadar bahwa ia sedang marah. Bahia juga terkadang kesulitan menebak diamnya Aariz sebagai pertanda marah atau sedang berlatih untuk menjadi patung di masa depan. Tapi Aariz bukanlah orang yang akan melampiaskan kemarahan begitu saja, ia bahkan menjadikan kemarahannya sebagai tawanan. Aariz memang seaneh itu. Saat Bahia tanya kenapa Aariz jarang sekali terlihat marah pada teman-temannya, Aariz selalu bilang karena ia tidak ingin hubungan rapuh pertemanan akan semakin rapuh karena pertengkaran. Aariz tidak percaya teori bahwa ‘pertengkaran' antara sahabat adalah hal yang lumrah dan biasa saja. Bagi Aariz, jika hubungan pertemanan sudah dihiasi pertengkaran, itu artinya hubungan itu sudah berakhir. Itulah definsi rapuh bagi Aariz. Bahia lalu kembali bertanya mengapa kalo dengannya Aariz sering kali marah. Dan dengan teori kepercayaannya, Aariz berkata, ‘Darah itu lebih kental dari air.’ Bagi Aariz, Bahia bukan sahabat atau temannya, tapi saudaranya. “Kamu lupa, dulu pas kamu jatuh di pohon mangga, Ibu aku donorin darahnya buat kamu, itu artinya kita sedarah kan... Darah ibuku juga ngalir di tubuh kamu. “ Itu jawaban polos Aariz. Dan Bahia kecil, dengan polosnya ikut percaya teori abal-abal milik Aariz. Mereka menamai diri mereka sebagai ‘saudara sedarah’ kala itu. Bahia yang merupakan anak tunggal benar-benar merasa bahagia akan kehadiran Aariz. Ia jadi bisa merasakan memiliki saudara tanpa perlu merengek pada mamanya untuk membuat adonan tepung agar ia memiliki saudara. Aariz memiliki seorang kakak. Perbedaan umur mereka terbilang jauh, dan hal itu sedikit membentangkan jarak keakraban keduanya. Lalu saat mereka beranjak remaja, Bahia dikirim ke pesantren. Bahia mulai mengerti batasan dalam bergaul dengan lawan jenis, begitu pun Aariz. Aariz, ikut organisasi rohis di sekolahnya. Aariz bahkan menjadi ketua umum rohis. Saat Bahia akhirnya pulang dari pesantren dan memilih melanjutkan sekolah di sekolah umum, Aariz yang membantunya banyak hal untuk beradaptasi. “Kamu mau ke Bandung kan? “ “Iya... aku mau liat kakak di sana.” “Jangan lupa buah tangan buat aku ya.” “Iya...” Kala itu senyum lebar Aariz masih ada. Stoknya masih banyak. Dan saat pulang dari Bandung, entah ke mana stok senyum Aariz menghilang. Mungkin ia telah menghabiskan banyak stok senyum selama di Bandung. Dan saat Bahia melemparkan teori anehnya itu, Aariz malah membenarkan. Bahia tidak mengerti maksud perkataan Aariz tapi ia tahu sudah terjadi sesuatu hingga merebut kebahagiaan di wajah Aariz. Bahia terus mendesak Aariz untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Namun seperti biasa Aariz tidak ingin melepaskan tawanannya. Dan malam itu... semuanya benar-benar makin rumit. Bahia yang salah, bukan Aariz. "Aariz maaf.... " lirih Bahia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD