Sedingin Es

1410 Words
Keadaan Bahia sudah membaik, gadis itu juga di perbolehkan pulang. Beruntung kedua orang tua Bahia, tidak mempermasalahkan kejadian kemarin dan masih memperbolehkan Bahia untuk tetap ngekos di rumah bu Nirmala. Azzura merasa senang, Bahia kembali ke kos. Itu artinya Azzura bisa merawat Bahia sebagai penebusan rasa bersalahnya. Entah kenapa, beban rasa itu masih Azzura tanggung. Setelah memastikan semua urusan rumah dan kebutuhan Bahia selesai. Azzura baru lega, untuk meninggalkan Bahia di rumah. Urusan beasiswa, masih menyita banyak waktu Azzura. Hari ini Azzura datang lebih awal ke kampus dari dua hari yang lalu. Azzura harus pintar-pintar mengatur waktu, membagi waktunya agar tidak keteteran. Azzura harus mondar-mandir mengurus berkas ke kantor administrasi, lalu mengajar mengaji Kyle, gadis yang waktu itu mendatangi Azzura di ruang auditorium. Azzura juga harus membagi waktu untuk mengajar di mushola, murojah dan juga belajar sebagai tugas seorang mahasiswa. Azzura sedikit memperlambat langkahnya, kampus nampak masih sepi dan kantor administrasi sepertinya belum di buka. Azzura memutar langkahnya menuju mesjid kampus, mumpung ia masih berada di bagian depan kampus. Azzura sangat jarang berkunjung ke masjid kampus. Keadaan fakultasnya dan mesjid yang berada di daerah paling depan kampus, salah satu alasannya. Azzura segera melepas sepatutnya dan meletakkannya di rak khusus sepatu. Lalu berjalan menuju tempat wudhu khusus akhwat. Dugaan Azzura ternyata meleset, kampus tidak sepenuhnya sepi. Di dalam masjid dan teras mesjid banyak mahasiswa yang sudah datang. Ada yang memilih berkunjung ke mesjid untuk sekedar menunggu kelas di mulai, berdiskusi ringan, melaksanakan salat duhha atau kembali melanjutkan istirahat mereka yang sempat terputus karena harus datang ke kampus lebih pagi agar tidak terjebak macet. Ini cara aman bagi mahasiswa yang rumahnya tergolong jauh dari kampus. Azzura jadi teringat keadaan masjid di zaman Rasullulah. Masjid tidak hanya sekedar tempat ibadah semata sebagai mana praktiknya sekarang, melainkan masjid di buat hidup dengan mulai segalanya dari masjid. Masjid di jadikan tempat ibadah, pusat budaya dan ilmu pengetahuan. Di mulai dari masjid dan kembali ke masjid. Begitulah polanya. Azzura bersyukur dengan hidupnya masjid di kampus, itu menandakan kecintaan mahasiswa terhadap masjid. Hal ini juga menandakan keterikatan hati dengan masjid. “Assalamualaikum Warohmatillah...” Azzura menoleh ke kanan lalu ke kiri. Mengakhiri salat duhha-nya. Azzura berdoa setelahnya dan hendak membaca satu buku di rak buku yang sejak tadi menggodanya. Salah satu alasan lain mengapa masjid tempat favorite ke dua setelah perpustakaan. Rak buku yang berada di setiap sudut masjid. Masjid menjadi tempat yang sering di kunjungi mahasiswa karena fasilitas yang tersedia cukup mempunih. Ada banyak buku di setiap sudut masjid. Di masjid juga sangat sejuk untuk bersantai membaca semua buku tebal itu. “Azzura...?” seorang gadis menghentikan pergerakan tangan Azzura. Azzura mengiyakan. “Ada orang yang memanggil mu. Katanya dia menunggu kamu di teras masjid. Dia menunggu mu di dekat tiang sebelah kanan, ” kata gadis berjilbab panjang itu. “Baiklah. Terimakasih...” Azzura berjalan ragu ke teras masjid. Azzura bingung. Ia bukan mahasiswa berpengaruh yang punya banyak relasi sampai orang harus bersusah payah untuk datang menemuinya. Ia bukan mahasiswa yang memiliki banyak organisasi di dalam maupun di luar kampus hingga bisa di anggap sepenting itu. Ia hanya mahasiswa biasa yang di kenali segelintir orang, itupun hanya beberapa mahasiswa di fakultas dan prodi yang sama dengannya. “Maaf mengganggu,” ujar Aariz, menghentikan langkah dan kebingungan Azzura. Aariz menyenderkan tubuhnya pada tiang teras masjid. Ia seperti sengaja menghentikan Azzura, agar gadis itu tidak berjarak dekat dengannya. Mereka berdiri sejauh sepuluh kaki. “Hem,”- Azzura menimbang-nimbang kalimat selanjutnya -,”memangnya ada apa kamu mencari aku? Keadaan Bahia baik-baik sajakan? “ “Keadaan Bahia baik-baik saja.” Aariz berdeham dua kali sebelum melanjutkan kalimatnya. “Ini.” Sebuah cokelat terjulur dari tangan kanan Aariz. Hal itu luput dari penglihatan Azzura. Azzura tidak sadar pria itu membawa cokelat berukuran besar di tangannya. “Buat kamu. Sebagai permainan maaf dan terima kasih. Maaf untuk kata-kata tajam waktu itu,” kata Aariz. Pria itu sedikit memajukan langkahnya agar Azzura bisa meraih cokelat di tangannya. “Suka cokelatkan? “tanya Aariz berusaha berbasa-basi mengusir canggung yang mengudara. Azzura tersenyum dan mengambil cokelat itu. “Alhamdulillah. Terima kasih, Riz.” “Hem,”- Aariz terdiam beberapa detik, –“tolong jangan makan cokelat ini, di hadapan Bahia. Cokelat tidak baik untuk Bahia. Bahia tidak boleh makan yang banyak mengandung gula.” Azzura menatap cokelat berukuran besar di tangannya. Tatapan Azzura menerawang jauh, membayangkan apa yang akan ia lakukan dengan cokelat sebesar ini. “Pahamkan?” Azzura mengangguk. **** Azzura tersenyum memandangi kumpulan anak kecil yang duduk berkerumun menikmati cokelat batang bersama. Sesekali mereka tertawa hingga memperlihatkan gigi mereka yang penuh cokelat. “Kak Azzura..... ” gadis kecil itu memeluk tubuh Azzura dengan jari-jari mungilnya. Azzura membalas pelukan itu lalu mengelus pucak kepala gadis itu. “Kak Azzura baik banget deh, cokelatnya enak banget... “katanya begitu bahagia. “Makasih Kak, Azzura... “ Secara bersamaan anak-anak kecil itu langsung menyerbu Azzura dengan peluk mereka. Mengerubungi Azzura yang berada di tengah. Mereka seperti membentuk lingkaran tertutup. “Kakak baik banget. Tapi kenapa kakak gak ikut makan cokelat?” tanya Ifah— gadis kecil itu memang sangat cermat. Hanya dia yang menyadari bahwa Azzura tidak ikut menikmati cokelat itu. “Kakak takut gendut ya? Kakak tetap cantik kok, meski gendut....” “Kakak gak takut gendut kok, Sayang....” Azzura tersenyum. Ifah sudah berpindah duduk di pangkuan Azzura. “Terus kenapa, Kak ?” Ifah menonggolkan kepalanya ke hadapan Azzura. “Tapi ini rahasia...,” kata Azzura, mengubah suaranya jadi berbisik. “Misi rahasia. “ “Misi ? rahasia? “ Suara Ifah ikut berbisik. “Apa Kak? “ Azzura tersenyum. “Kakak lagi puasa. Ini misi rahasia kakak hari. Sststststts... jangan bilang siapa-siapa... ” Ifah manggut-manggut semangat. “Sip...sip Kak. Ifah paling jago nyimpan rahasia. Rahasia Lily aja masih Ifah simpan dengan baik. Kemarin, si Lily gak sengaja jatuhi sendal kak Delshad di got tapi Ifah diam-diam aja.” “Oh jadi sendal kak Delshad semalam kotor karena jatuh ke got? “ “Iya Kak, Lily bilang ini rahasia. Jangan kasih tahu yang lain. Ogah gak ada kasih tahu siapa pun—oops...” Ifah spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya itu. “Ifah keceplosan, Kak,” katanya dengan mata membulat sempurna. “Anggap Kakak gak dengar ya? Ifah udah janji sama Lily ....” Mata kecil Ifah yang melebar membuat Azzura tersenyum kecil. “Kak, jangan kasih tahu yang lain ya....” Azzura mengangguk kecil. Gadis kecik itu menghela nafas lega. “Udah sore, kakak harus pulang.“ Azzura bangkit dari duduk lesehan di teras musholah. Beberapa anak yang masih di sana, berganti memeluk Azzura. “Nanti malam, kita ngaji seperti biasa, setelah magrib. Ada Kak Bahia juga....” “Kak Bahia udah sembuh, Kak? “tanya Ifah antusias. Ifah memang sangat dekat dengan tim pengajar perempuan, Azzura dan Bahia. “Alhamdulillah, Sayang.” “Ye.. Ifah jadi gak sabar buat ngaji nanti malam.” “Yang lain juga, jangan malas ngaji ya. Ngaji itu buat bekal kita di akhirat. Kita gak boleh malas-malasan. Kita harus semangat. Oke....” “Oke, Kak..., “sahut mereka bersamaan. “Sekarang Kakak pulang ya. Assalamualaikum....” “Waalaikumsalam, hati-hati Kak Azzura... “ jari-jari mungil mereka melambai-lambai, mengiringi langkah Azzura yang kian menjauh. Mushola dan rumah bu Nirmala hanya melewati berapa rumah saja. Azzura hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di kosan. “Oh betulkah? “ tanya Bahia. Giffari mengangguk sedangkan Delshad hanya tersenyum tipis. Ketiganya sedang menikmati udara sore di pondokan. “Jadi Delshad pulang nyeker ?” “Iya, mau gimana lagi,” jawab Delshad mengiyakan peristiwa apesnya lusa kemarin. “Sendal dia kotor jatuh di got...” Giffari menceritakan kronologi peristiwa lusa kemarin. “Siapa pelakunya? “ “Paling anak-anak yang rebutan sendal,” sahut Delshad. “Gak masalah, yang terpenting mereka semangat ngajinya. Alhamdulillah, makin banyak yang ngaji.” Bahia mengangguk, setuju. Begitu pun Giffari. “Masyaallah, akhi... Ini baru calon generasi muda penerus bangsa. Mengutamakan sesama dari pada kepentingan sendiri.” Giffari memberikan tepuk tangan meriah. Bahia ikut menyemarakkan dengan tertawa pelan. Pupil mata gadis itu mengecil karena himpitan pipi yang naik ke atas. “Eh, Azzura.... “ sapa Bahia begitu pupil matanya menangkap sosok Azzura yang baru saja tiba. “Assalamualaikum, Iah, Shad, Gif....,” sapa Azzura. Ketiganya tersenyum seraya menjawab salam Azzura. “ Gimana, urusannya sudah selesai? “tanya Bahia. “Alhamdulillah udah. Makanya tadi lama. Jam tiga baru selesai.” “Satu mahasiswi teladan sudah pulang, sekarang tinggal tunggu mahasiswa teladan satunya... “ . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD