Setelah Levo pergi dari markas Blackhole, Nezi menatap Dexa penuh arti. Hanya ada satu hal yang sangat ingin ia tanyakan pada sosok itu. Tentu saja tentang mengapa Levo mengajaknya ke makam Moza.
Baru saja Nezi ingin membuka mulut, Tiba-tiba suara perut lapar Dexa bergemuruh dan membuat perhatiannya teralih.
Sena yang mendengarnya karena suasana terlampau sepi pun terkekeh. Gadis itu melirik ke arah Dexa. "Kau lapar?" tanya Sena dengan nada mengejek.
Dexa tertawa kikuk sambil mengangguk. Tak bisa dipungkiri jika memang mereka hanya makan pagi tadi. Waktu terus berjalan. Apalagi Dexa menghabiskan waktunya untuk menggertak si target untuk mengatakan yang sejujurnya. Tapi selalu gagal.
Kegagalan juga membuat Dexa semakin lapar dan frustasi. Ia memang bisa menahan lapar karena memang sudah terbiasa sejak ditinggal kedua orang tuanya. Tetapi bunyi perutnya tak bisa ia tahan. Memalukan memang. Hanya saja itu alamiah hadir dari tubuh.
"Mau kutemani beli makanan?" Tawar Nezi. Sebenarnya tawaran Nezi bukan hanya mengejutkan bagi Dexa namun juga bagi Sena. Sebab, Nezi mau menawarkan diri untuk keluar dari markas.
Akan tetapi, Dexa menolak. Ia tak mau membahayakan Nezi selama Levo tak ada. Akan sangat berbahaya. Apalagi Nezi keluar dengan keadaan normal. Tidak menyamar. Pasti akan sangat beresiko.
"Tidak. Aku akan pergi sendiri saja. Akan berbahaya kalau kau ikut." Dexa menolak dengan tegas. Ia juga tak ingin menjadi beban siapapun. Apalagi orang yang baru saja bisa menerimanya.
"Kalau begitu, tolong kau jelaskan, apa yang Levo katakan padamu tadi?" tanya Nezi dengan tatapan penuh tanya dan harap agar Dexa mau menjawab pertanyaannya.
Sena yang hanya mendengar pun tetap fokus ke cairannya. Ia tak ingin ikut campur dengan urusan Nezi atau siapapun itu. Jika memang tidak sangat membuatnya penasaran. Meski sebenarnya ia penasaran dengan apa yang ditanyakan Nezi pada Dexa bermaksud apa, tapi ia tak lebih penasaran dengan cairan barunya.
Dexa mengerjap bingung. Pertanyaan Nezi sangat luas. Ia dengan Levo juga membicarakan banyak hal. Apa mungkin Nezi ingin ia menjelaskan apa saja yang ia katakan dengan Levo?
"Kau ... ingin tau semuanya? Akan sangat membutuhkan waktu yang panjang. Aku lapar dan biarkan aku pergi mencari makan dulu." Dexa ingin bangkit melarikan diri karena sebenarnya ia sudah lupa sebagian besar hal yang dikatakan oleh Levo padanya.
Mungkin ia hanya mengingat tentang Moza dan gertakan-gertakan Levo kepada Andrew. Hanya itu saja. Tapi tinggal Nezi ingin tau tentang apa.
"Tidak semua harus kau ceritakan. Kau hanya perlu menceritakan salah satu hal yang penting untukku." Nezi menahan tangan Dexa dan menyuruhnya duduk kembali.
Melihat sikap Nezi, Dexa paham. Nezi pasti tau ke mana Dexa dan Levo pergi sebelum ke tempat eksekusi pertama. Ya, makam Moza. Dexa juga baru teringat jika Levo tak menceritakan kepada Nezi tentang apa yang Levo ceritakan pada Dexa.
Dexa ingin menceritakan semua pada Nezi. Hanya saja Levo pasti punya alasan mengapa yang menceritakan hal itu pada Nezi. Akan tetapi, jika Nezi memaksa untuk keluar dari markas tanpa penyamaran, hal itu juga akan membuat Nezi dalam masalah.
Kemungkinan ia akan mengalihkan perhatian agar Nezi melupakan hal itu sejanak hingga ia meminta ijin pada Levo untuk menceritakan semua pada Nezi. Ia harap Levo bisa mengerti dan alasan Levo merahasiakan hal itu pada Nezi bisa terungkap.
"Kalian terlalu mesra." Sena menyindir dengan kekehan saat melihat Nezi dan Dexa saling menatap satu sama lain. Apalagi posisi Nezi sedang mencekal tangan Dexa seperti sangat tak mau kehilangan Dexa untuk kedua kali.
Akan tetapi sindiran Sena itu tak berhasil membuat Nezi melepaskan tangannya. Dexa hanya berdeham dan menatap Nezi kembali.
"Baiklah. Apa yang mau kau tanyakan? Secara detail aku akan menjawabnya tanpa basa-basi."
Nezi menghela napas pelan. Ia pun melonggarkan pegangannya pada Dexa setelah p****t Dexa merapat kembali ke sofa.
Terlihat Dexa tak main-main dengan ucapannya. Tatapan mata itu membuat Nezi langsung mengatakan apa yang ingin ia tanyakan.
"Ceritakan tentang apa yang kau lakukan di makam Moza."
Beberapa detik, Dexa tak menjawab. Hanya tersenyum dan kemudian langsung berlari pergi. Nezi kecolongan.
"Dexa!" Nezi mulai geram tapi ia percuma saja. Tak ada gunanya mengejar Dexa. Toh Dexa akan kembali nanti. Anak itu akan ia hajar habis-habisan karena sudah mengerjainya.
Sena terkekeh melihat Nezi kena tipu. Tapi gadis itu tak menatap ke arah Nezi karena sudah pasti akan membuat Nezi semakin kesal. Bisa bahaya kalau Nezi tersulut emosi. Semua cairannya akan amburadul secara tiba-tiba.
Nezi menghela napas kasar. Ia sangat penasaran. Sebab, selama ini Levo seperti menyembunyikan sesuatu darinya tentang Moza. Entah mengapa Levo sangat care dengan Moza. Bahkan hingga makam Moza selalu di bersihkan dan dijaga. Padahal Nezi sendiri tak pernah diajak oleh Levo.
Apa yang Nezi pahami, Moza dan Levo tidak saling mengenal. Nezi hanya mengenalkan Moza pada Levo saat Moza sudah dalam keadaan tak bernyawa. Jika Levo dan Moza memiliki hubungan lain seperti pertemanan, mungkin bisa terjadi tapi mengapa Levo menyembunyikan hubungan itu. Ah, banyak sekali yang ia pikirkan. Tapi ia hanya ingin tau satu hal. Mengapa Levo mengajak Dexa ke makam Moza. Jika Levo ada hubungan dengan Moza itu bisa saja. Tapi kalau Dexa? Siapa Dexa bagi Moza?
"Nezi, aku penasaran. Kenapa kau sangat penasaran dengan Dexa?" tanya Sena sembari mengotak-atik mikroskop nya.
Nezi terdiam sejenak. Tak ada salah meski ia cerita pada Sena. Apalagi Sena juga sudah mengetahui tentang Moza. "Aku penasaran. Mengapa Levo mengajak Dexa ke makam Moza? Padahal Dexa sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Dexa."
"Kemungkinan Levo sedang ingin berkunjung sebelum ke tempat eksekusi pertama? Levo kan sering main ke makam kakakmu."
"Ya, memang. Tapi Levo dan Dexa tampak membicarakan hal panjang lebar."
Sena menggeleng. "Entahlah. Aku juga tak paham. Kenapa tak kau tanyakan saja pada Levo nanti? Mungkin Dexa tak berani mengatakan apapun padamu. Karena Levo memintanya untuk diam."
"Mungkin. Tapi aku penasaran. Levo seperti menutupi sesuatu dariku." Nezi menyenderkan kepalanya ke belakang. Membuat Sena menghela napas pelan.
"Sudahlah. Santai saja. Levo takkan menyimpan rahasia apapun kecuali rahasia itu menyakitimu."
Nezi hanya diam. Ia tak berniat berpikir buruk. Sebab, sejak awal Nezi sudah melihat ketulusan Levo yang tak bisa diragukan lagi. Sorot mata dan senyumannya mampu membuat hatinya bergetar.
"Nezi, coba kau nyalakan televisi." Sena menyuruh Nezi menyalakan televisi setelah melihat ke ponselnya.
Nezi yang berada di dekat remote TV pun langsung menekan tombol on. Ia melirik ke arah Sena, "Mau nonton apa?"
"Berita di channel biasa."
Dengan lincah, Nezi langsung menekan tombol nomor tujuan yang merupakan channel biasa membawakan berita tentang kriminalitas.
Setelah membuka channel itu, Nezi terdiam. Matanya terfokus menatap televisi dan menyimak nya. Dalam sekejap, perhatiannya tersita dan tak bisa berpaling.
"Mama?"
***
"Sekarang, kita soraki Kak Zack!" teriak Mea dengan semangat. Hingga semua pasien jiwa beserta perawat yang menonton pun ikut bersorak mengikuti arahan Mea.
"Bakar! Bakar! Bakar!"
Zack tersenyum dengan lebar. Menampilkan rentetan gigi kuda yang putih berkilau. Mendengar sorakan para penonton, Zack langsung membakar kertas yang ada di dalam gelas bening yang telungkup.
Wusshh
Setelah api membakar habis kertas itu, semua bersorak. Kecuali perawat dan mata normal yang melihat. Mereka bertanya-tanya. Namun, tak peduli dengan tatapan itu, Zack dan Mea kembali melakukan atraksi hingga aba-aba dari Levo untuk pergi telah hadir.
"Sekarang, Kak Mea yang beratraksi dong!" teriak Zack memprovokasi. Hingga demua terprovokasi dan menyoraki Mea untuk melakukan sesuatu.
Mea langsung melirik Zack dengan tajam. "Baiklah, baiklah. Aku akan melakukan sesuatu yang hebat."
Semua langsung menyoraki Mea.
"Ada kain lebar?" tanya Mea pada salah satu perawat.
"Ada."
"Pinjam satu."
Mea pun mendapatkan sebuah kain lebar dan berwarna keabuan.
"Zack, pegangi ini. Aku akan menghilang dalam hitungan ketiga. Dan berpindah ke lemari itu." Mea berbisik pada Zack. Menentukan rencana mereka yang akan menjadi tipus muslihat.
Zack terkekeh. "Oke."
"Lihatlah! Aku akan menghilang di balik tirai ini!" Mea langsung tertutup oleh tirai yang dipegangi Zack kemudian saat Zack meminta bantuan hitung satu sampai tiga, Mea menghilang.
Semua bersorak kembali. Terkagum-kagum dengan sulap dari Mea dan Zack.
"Nah, di mana dia sekarang?" tanya Zack seperti seorang pesulap pada umumnya. "Biar kutebak! Dia pasti ada di ... " Mata Zack berkeliling sembari jari telunjuk menepuk-nepuk dagu. "... Di sana!" Zack langsung menunjuk sebuah almari besar yang usang. Sepertinya akan dibuang begitu saja.
Semua mata teralih ke sebuah lemari yang ditunjuk oleh Zack. Kemudian Zack berjalan ke sana dan melihat ke arah para penonton. "Siap?"
Sorakan terdengar untuk membuka lemari tersebut.
"Tadaaaa!"
Keluarlah Mea yang penuh dengan sarang laba-laba dan membuat para penonton tertawa melihatnya.
Zack dan Mea sedang sibuk membuat atraksi menarik di depan para pasien rumah sakit jiwa. Meski mereka sempat ditolak masuk oleh security dan para perawat, namun melihat para pasien bisa tenang dan bersorak gembira melihat aksi Zack dan Mea pun membiarkan Mea dan Zack untuk melanjutkan akai mereka.
Mereka memang tak membawa alat sirkus atau sulap apapun. Namun dengan kemampuan asli mereka yaitu pyrokinesis dan menghilang, Zack dan Mea berhasil menipu para mata. Bukan hanya para pasien. Tapi juga para perawat. Orang waras memang akan bertanya-tanya mengapa bisa mereka berdua melakukan hal itu, menghilang di balik tirai, membakar tisu tanpa ada korek api, hingga menciptakan telur matang tanpa ada kompor dan minyak. Akan tetapi, saat pasien jiwa melihatnya, itu akan menjadi sebuah hiburan yang menyenangkan tanpa ingin menanyakan kebenaran apapun.
Di saat Mea dan Zack sedang menghibur sekaligus mengunci perhatian ke arah mereka, Levo langsung menuju ke ruangan Grizell. Tepat sampai di sana, Grizell terlihat sangat murung. Levo yang masih mendarat di samping lemari untuk menutupi diri dari jendela luar agar tak terlihat dari luar pun mencari celah agar bisa duduk dibangku yang ada di samping ranjang.
Grizell yang tertidur memiringkan badan pun sedikit terkejut karena mendengar suara tarikan kursi. Ia bahkan terlonjak melihat seseorang yang sudah duduk di pojokan dengan setelan rapi akan tetapi mirip dengan malaikat maut di drama-drama.
"S—siapa kau?" tanya Grizell dengan tatapan takutnya. Grizell langsung bangun dan meringkuk di pojokan ranjang. Memeluk lutut dan berniat untuk berteriak.
"Jangan berteriak. Aku akan menjelaskan siapa aku dan apa tujuanku. Jadi, tolong tenanglah, Nyonya Grizell." Dengan nada tenang dan seolah mampu membius Grizell dengan cepat, Levo berhasil menenangkan Grizell.
Setelah Grizell terdiam. Meski masih meringkuk di pojokan ranjang, Grizell tampak mau mendengarkan apapun yang dikatakan oleh Levo.
"Aku, Levo. Tujuanku, hanya ingin mengetahui tentang anakmu. Samantha."
Mendengar nama Samantha, air muka Grizell berubah sendu. Seolah sangat merindukan anak kandungnya yang telah lama meninggal. Bahkan dengan keadaan yang mengenaskan.
Tapi, Levo melihat ada semburat lain. Manik mata Grizell bergerak tak tenang. Seperti ada hal yang takut ditanyakan oleh Levo dan yang tak ingin ia beri jawaban.
"Bolehkah aku bertanya?" Kesopanan Levo membuat Grizell sedikit melunak.
Beberapa saat, Grizell terdiam. Hingga akhirnya, Grizell pun membuka mulut. "Untuk apa kau bertanya tentang Samantha?" tanya Grizell. Sebenarnya Levo tak melihat ada gelagat aneh dari Grizell. Sepertinya dia hanya depresi. Jiwanya hanya terganggu oleh pikirannya sendiri. Sebab, wanita itu masih mampu diajak bercakap dengan tenang.
"Semua demi kebaikan bersama. Kebaikanku dan kebaikan masyarakat kota."
Grizell terdiam.
"Nyonya Grizell?" tanya Levo memecah keheningan.
"Tanyakan saja."
Levo tersenyum. Tak sulit ternyata. Karena Grizell juga tampak ingin memberitahu semua orang tapi ia sudah dianggap gila. Jadi takkan mungkin ada yang percaya. Sedangkan Levo dengan gamblang menanyakan sesuatu padanya, Grizell merasa dipercaya.
"Aku percaya pada apapun yang kau katakan. Jadi, jawablah dengan jujur. Setelah ini, kupastikan kau akan hidup dengan tenang."
Grizell mengangguk.
"Apa Samantha memiliki penyakit yang membuat dia harus mengakhiri hidupnya?"
"Kau pikir anak umur lima tahun bisa punya pikiran bunuh diri?" Grizell menepis dengan pertanyaan lain.
Levo sudah mendapatkan jawaban. "Jadi, Samantha dalam keadaan sakit?"
"Samantha terlahir dengan jantung yang tak sehat. Akan membutuhkan banyak uang untuk mengobati dan terus menerus memeriksakan keadaan Samantha."
Levo mendapat satu jawaban. "Lalu, apa dia benar-benar jatuh dari balkon lantai dua?"
Grizell terdiam. Levo juga ikut menatapnya dengan intens. Dengan gerak-gerik Grizell yang tak nyaman. Levo hanya bisa membiarkan Grizell menikmati keheningan.
Tiba-tiba Grizell menangis dalam diam. Wanita itu menelungkupkan wajahnya ke lutut. Levo hanya diam mengamati. Wanita itu benar-benar terpukul atas kematian Samantha. Hingga akhirnya Grizell mendongak dan menatap Levo.
"Siapa kau sebenarnya? Katakan padaku. Maka aku akan mengatakan semuanya. Jika kau hanya seorang polisi, aku takkan mengatakan apapun."
Levo menghela napas pelan. Ia memijat kening dan terpaksa harus mengatakan bahwa dirinya adalah, "Blackhole."
Suara tangis Grizell meninggi. Entah apa yang wanita itu lakukan. Tapi dalam sedetik, Grizell tersenyum dan menyeka air matanya. "Terima kasih, Tuhan. Akhirnya keadilan telah datang."
Mendengar kalimat itu, Levo terdiam dan tak berkomentar. Ia hanya duduk di bangku yang tersembunyi hingga tak tampak dari luar sambil menyilangkan kaki.
Saat tatapan Grizell beradu dengan tatapannya yang datar, Grizell mulai meluweskan duduknya. "Aku akan menceritakan semuanya. Tapi kumohon, beri keadilan yang sepantasnya untuk Andrew."
Levo tersenyum tipis. "Tentu saja."
***