Kali ini Dexa menggunakan uangnya untuk membeli makanan di restoran ayam. Di mana dulu ia hanya bisa mencuri dan memakan hasil kerja keras orang lain. Meski ia juga pernah membeli makanan sendiri dengan uang miliknya, ia hanya bisa makan makanan sederhana. Hanya sesuap nasi dan lauk yang terlihat tak menggugah selera.
Dexa melahap nasinya dengan santai sembari melirik kanan kiri. Mungkin mereka menatap Dexa heran karena penampilan Dexa yang tampak biasa tapi mampu membeli makanan dengan harga tinggi. Ia hanya ingin mencoba makanan mahal dan memuaskan diri dengan membeli apa yang ingin ia beli sekarang. Sebab, dulu ia sangat kesulitan mendapatkannya.
Ia mencoba untuk tak peduli. Makanan yang ada di hadapannya menanti untuk segera dihabiskan. Dexa pun juga melahap makanannya sambil menonton televisi. Terlihat bahwa ada kabar tentang kecelakaan Andrew yang luar biasa. Padahal baginya biasa saja. Hanya saja sensasi di dalam mobil saat itu memang mengerikan.
Terlebih lagi di berita itu, Andrew dikabarkan menghilang setelah kejadian. Banyak pihak yang menyalahkannya karena dianggap lari dari tanggung jawab. Ada yang mendukungnya juga dan mengatakan bahwa Andrew hilang karena terlempar karena kecelakaan. Dan kemungkinan hanyut ke sungai. Kebetulan di dasar jurang ada sungai dengan arus kencang.
Dexa tersenyum sengit melihat berita itu. Entah mengapa, melihat Andrew berada di tangan Blackhole adalah akhir yang tepat untuk Andrew. Apalagi Dexa sudah mengingat semua yang dilakukan oleh Andrew.
Tiba-tiba saja Dexa penasaran dengan yang Levo lakukan di rumah sakit jiwa. Kemungkinan besar Levo mendapatkan info dari istri Andrew. Akan tetapi, jika istri Andrew benar-benar gila, sudah pasti Levo kembali dengan tangan kosong.
Sontak Dexa langsung mempercepat makannya. Ia melahap dengan semangat hingga tak tersisa satu daging ayam pun. Hanya meninggalkan tulang belulang yang tak sedap untuk di makan.
Setelah menghabiskan makanannya, Dexa langsung kembali ke markas Blackhole. Baru saja ia masuk ke toilet, seorang lelaki menatapnya aneh.
Dexa yang menyadari tatapan itu pun menoleh. Ia menghentikan langkah dan menatap sosok itu dengan heran. Mengangkat satu alisnya bingung. "Kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu?" tanya Dexa.
"Ah, aku hanya heran. Beberapa kali aku melihatmu masuk ke kamar mandi yang rusak. Bukankah kamar mandi yang akan kau masuki itu tidak berfungsi?" tanya lelaki asing itu dengan perasaan bingung.
Dexa terdiam sejenak. Mencari alasan yang terdengar logis agar tak menimbulkan kecurigaan lagi.
"Hmm, ini urusanku. Bukan urusanmu."
"Tapi kau aneh. Apa ada yang kau sembunyikan?" tanya lelaki itu tanpa basa-basi.
Dexa memutar bola matanya malas. "Hei, apa kau harus tau apa yang kulakukan di dalam sini? Ayolah, kau juga lelaki kan? Aku yakin kau tau apa maksudku."
Lelaki itu menggeleng. "Aku tidak paham apa maksudmu."
"Aku tinggal di kos yang dekat dengan rumah warga. Kos kecil dan dinding yang tak kedap suara. Aku lelaki dewasa dan ada rasa 'haus'. Ini wc umum dan aku berhak melakukan apapun tanpa interogasi siapapun."
Mendengar kata 'haus' pun lelaki itu langsung paham. Kemudian lelaki itu mengangguk dan tersenyum kikuk. "Ternyata kau juga bisa melakukannya di tempat umum. Mungkin kau punya kelainan."
Dexa mendelik. "Terserah apa katamu." Dengan wajah kesal, Dexa pun masuk ke dalam toilet tempatnya masuk ke markas. Hampir saja ia dicurigai. Mungkin alasannya tadi memang mengarang. Tapi ia cukup pintar memilih alasan.
Setelah merasa bahwa lelaki asing tadi sudah pergi. Dexa langsung masuk ke pintu markas dan sampailah ia di tempat para pembunuh ketidakadilan. Markas Blackhole.
Terlihat Nezi langsung menatapnya dengan penuh arti tapi mimik wajah yang tetap datar tanpa eskpresi. Pasti sosok itu akan menerkamnya setelah ini. Tapi Dexa tetap terlihat biasa walaupun Nezi terlihat mengerikan sekarang.
Baru saja Dexa hadir, Sena langsung terkekeh. Tak bertanya apa alasan Senang tertawa melihatnya, Dexa sudah tau apa alasan itu. Pasti Nezi akan menghajarnya.
"Kau!"
Benar dugaannya. Meski tatapannya datar dan wajah rata, tapi Nezi langsung meninggikan suara dan mendekati Dexa.
"Ah, maafkan aku, Nezi. Aku hanya belum siap menceritakannya sebelum mendapat ijin dari Levo. Jadi, kumohon mengertilah. Sebentar lagi mungkin Levo akan kembali. Jadi bersabar saja. Aku akan menceritakannya kalau Levo mengijinkan aku untuk bercerita."
Nezi terdiam. "Aku juga tidak akan memaksa."
Dexa hanya melongo. Kemudian mengangguk kikuk dan duduk di sofa. "Oke. Sepertinya hanya aku saja yang negative thinking."
"Kau selalu begitu."
"Tapi kenapa kau tiba-tiba mengatakan 'kau!' saat aku baru saja kembali?"
"Aku terkejut."
Dexa mengernyit. "Terkejut kenapa?"
Sena terkekeh. Ia melirik ke arah Nezi dan kemudian ingin membuka mulut tapi Nezi yang berdiri di belakang Sena langsung membekap mulut Sena.
Sena memberontak dan berusaha melepaskan tangan Nezi dari mulutnya. Melihat hal itu, Dexa bingung dibuatnya.
"Kalian berpacaran?" tebak Dexa ngawur.
"Tidak. Jangan mengada-ada. Nezi hanya untuk Mea." Sena mendelik.
Sedangkan Nezi hanya diam menatap Sena penuh arti.
"Ah, lalu?"
"Ternyata Nezi takut dengan hantu."
"Senaaa." Merasa dipermalukan, Nezi membalikkan badannya ke tembok dan menghindari tatapan Dexa.
Sedangkan Sena terbahak melihat Nezi yang malu dengan dirinya sendiri. "Jadi, tadi aku menceritakan hal mistis saat di markas sendirian. Kau dan Nezi saat itu pergi bersama. Levo, Mea, dan Zack juga pergi dengan urusan mereka. Aku sendirian di markas."
"Sena cukup."
Sena tak mempedulikan ucapan Nezi. "Kemudian, aku? Merasa bahwa ada yang duduk di sofa itu sembari memperhatikanku."
"Senaa," geram Nezi.
Sena terkekeh. Bahkan Dexa juga ikut geli melihat Nezi yang ketakutan.
"Kemudian saat aku melirik sekilas," bisik Sena sambil memutar kursinya menghadap Dexa. "Bawwwrrr!" Sena menggeram keras sembari menggelitik pinggang Nezi. "Aku melihat penampakan di sana. Tapi sekilas. Dan aku tak melihat siapa dia. Mungkin salah satu korban kita."
"Senaaaaaa." Nezi yang terkejut takut bukan main langsung mendorong kursi Sena masuk ke ruangan identifikasi.
"Nezi! Nezi!"
Nezi yang tampak terenga-engah pun dibuat bahan lelucon oleh Dexa. Tak ia sangka, ternyata Nezi sangat penakut. Padahal sudah membunuh banyak nyawa. Tapi Nezi ternyata sepenakut ini.
"Ada alasan mengapa aku benci cerita horor. Pertama, karena aku selalu sendirian di markas. Kedua, karena mereka tak nyata. Jadi jangan dibuat seolah mereka nyata dan bisa membalas dendam seperti yang ada di film-film."
Ceklek!
"Aku akan beritahu Mea kalau Nezi penakut."
"Jangan!" Nezi mencegah.
Sena terkekeh. "Kau malu?"
Nezi terdiam. Jelas malu. Tapi Nezi tak bisa mengatakannya. Karena harga diri.
Melihat kedekatan para anggota Blackhole, rasanya Dexa hanya ingin satu hal. Ia sangat ingin melindungi mereka dari kejadian buruk yang kemungkinan menimpa mereka suatu saat nanti.
***
Mea dan Zack mengakhiri atraksi mereka dan langsung pergi tanpa menunggu apapun lagi. Mereka melihat Levo memberi sinyal untuk keluar dari rumah sakit jiwa. Kemungkinan Levo sudah mendapatkan info yang sedang dia cari.
Setelah bertemu dengan Levo di luar rumah sakit, mereka langsung menghujani Levo dengan berbagai pertanyaan. Akan tetapi, raut wajah Levo yang tidak bisa ditebak itu membuat Mea dan Zack paham. Mereka tak seharusnya bertanya sebelum Levo menuntaskan Andrew.
Levo lansung memegangi tangan kedua orang yang ada di sisinya. Mereka langsung menuju ke tempat yang dituju oleh Levo. Ternyata tempat itu adalah tempat eksekusi kedua. Tempat terakhir. Sudah terlihat lubang hitam yang sudah Zack bom hingga membentuk lubang.
Jika mereka sudah mendarat di sana, itu berarti Levo akan segera mengakhiri hidup Andrew. Sudah dipastikan itu.
Tanpa mengatakan apapun, Levo pergi kembali. Ia pasti akan mengambil yang lainnya untuk melihat hidup terakhir Andrew di sana. Agar mereka tahu, penyebab ketidakadilan telah musnah satu persatu.
Tak ada lima menit, Levo kembali bersama Nezi, Dexa, dan Sena. Kemudian sosok itu menghilang lagi. Pasti akan menjemput target mereka.
Levo pun mendarat di tempat eksekusi pertama. Terlihat Andrew hanya terdiam membisu. Kedua kantung matanya menghitam. Pipinya tampak tirus mungkin karena frustasi karena sudah larut malam tapi tak kunjung ada bakal bantuan. Kehadiran Levo tak membuat Andrew berkutik.
"Sebenarnya besok adalah waktu kematianmu." Sederet kalimat Levo tak digubris oleh Andrew sama sekali. Mungkin tenaganya sudah terkuras habis. Jadi, ia tak bisa lagi membantah apapun.
"Tapi aku sudah tak tahan lagi. Besok aku harus bisa membawa berita kematianmu ... pada Grizell."
Mendengar nama itu, Andrew tampak melotot ke arah Levo. "Dia hanya wanita gila! Dia mengacaukan segalanya!"
Levo menghela napas pelan. Ia menarik kursi dan duduk di depan Andrew. Menatapnya dengan pilu. Merasakan betapa menyedihkannya sosok Andrew saat ini. Pasti pikirannya kacau. Hidupnya sudah tak lagi berarti. Tapi mengapa masih ada rasa benci pada seseorang yang tak bersalah sedikitpun.
"Kau ... seharusnya meminta maaf atas segala hal yang kau lakukan. Bukan hanya Grizell. Bahkan aku juga mengetahui bahwa kau sudah memakan uang rakyat. Hingga apa? Para kaum jelata makan nasi sisa, minum air kotor, mereka tidur di kolong jembatan saja harus diusir. Mereka terhina, teraniaya, karena apa? Karena kau mengambil hak mereka. Setidaknya, meminta maaf saja pada mereka jika kau tetap akan membenci Grizell."
Andrew terdiam. Seolah hatinya sudah menjadi batu. Tak peduli apapun yang terjadi. Harta membutakan. Tahta membisukan.
"Kalau kau tak mau mengatakan kata maaf, akui saja kesalahanmu untuk terakhir kali."
"Kau merekamnya?"
Levi terdiam.
"Aku takkan mau mengakuinya."
Levo tersenyum tipis. "Kau mengatakan hal ambigu yang akan mengundang asumsi buruk."
"CUKUP!"
"Baiklah. Cukup. Teman-teman ku sudah menunggu. Kita harus segera ke sana. Hari juga sudah mulai malam. Karena kami juga harus menebar tanda untuk polisi agar mereka bisa menemukan jasad kalian."
"Kalian?"
Levo mengangguk. Kemudian senyuman miring terlihat jelas dan setelah Levo membuka ikatan tali yang melilit tubuhnya dengan kursi, Levo mengajaknya berpindah tempat ke tempat eksekusi kedua.
Ada beberapa orang di sana sedang sibuk membunuh para nyamuk yang menyerang. "Kau lama sekali, Lev!" protes Mea.
Levo langsung mendorong Andrew hingga berada di hadapan semua para anggota Blackhole.
"Kalian ... aku akan melaporkan kalian ke polisi! Kalian akan dihukum mati. Di depan semua orang, kalian akan dicincang dan disiksa sampai mati!"
Semua anggota hanya diam. Saling memandang. Mungkin Andrew masih belum sadar bahwa dia akan diam selamanya.
Mea yang tak sanggup menahan tawa pun terbahak. "Hei, kau itu sudah di ujung tanduk kematian. Tapi kau masih belum menyadarinya?" Bukan Mea namanya kalau mulutnya tak asal jeplak.
"Dia takkan pernah sadar karena sejak dulu dia sudah gila." Nezi menimpali.
Dexa menahan tawa mendengar itu. Mulut-mulut pedas mereka sepertinya terbuat dari tungku panas. Jadi, bisa membuat suasana memanas dan Andrew pun semakin kesal.
"Dengar Andrew, kau takkan sendiri. Ada mereka yang menemanimu." Mea kembali mengucapkan hal yang membuat Andrew melihat ke sekeliling.
"Para lintah darat suruhanmu. Sekaligus mantan bodyguard setiamu."
"Leo?" gumam Andrew. "Tapi tunggu. Lintah darat?"
"Jangan sok tak tahu. Lintah darat itu para suruhanmu kan?" gertak Mea.
Andrew terdiam. Seolah tak bisa mengatakan apapun. Ada sesuatu yang disembunyikan.
"Sena." Levo memberi isyarat pada Sena. Gadis itu pun langsung mendekat pada Andrew dan menyuntikkan sesuatu ke tubuh sosok itu dengan asal.
Andrew yang terikat pada bagian tangan berusaha untuk lari. Namun, Zack langsung menahannya dan membuat Sena menyelesaikan suntikannya.
Gadis itu menyuntikkan cairan kejujuran. Sebab, Andrew sangat sulit meminum minuman yang sudah dibawa oleh Levo.
Andrew duduk lemas di tanah. Sosok itu menangis pada akhirnya. Namun, Levo sudah memintanya untuk menggiring Andrew ke dalam lubang yang sudah di siapkan.
Andrew sempat memberontak. Namun, Levo langsung membawanya dengan pindah tempat secara tiba-tiba. Dengan kedalaman lubang yang tidak main-main, Andrew takkan bisa merangkak ke atas.
"Kau bisa jujur sekarang." Levo berpindah tempat kembali ke atas. Meninggalkan Andrew di dalam lubang.
"Tak ada yang bisa kukatakan pada kalian." Suara Andrew mulai melemah.
"Katakan saja, apa kau disuruh seseorang? Apa seseorang telah meracuni otaknmu?" tanya Levo dengan tenang.
Andrew tak bersuara. Tak seperti biasa, Andrew seolah tak mendapat reaksi dari cairan kejujuran milik Sena.
"Andrew, kau tak bisa berkelit lagi. Lintah darat dan Leo sudah mengakui semuanya. Kau tak bisa berbohong lagi. Ditambah pengakuan dari Grizell. Kau ... sudah dinyatakan bersalah, Andrew." Ucapan Levo membuat Andrew berteriak.
"AKU TIDAK BISA MENGATAKANNYA!" teriak Andrew penuh kesal. "Dia ... Dia tidak akan pernah mengampuni kalian! Kalian akan mati di tangannya! Kalian akan mati jika mengusik ketenangannya!"
Jawaban Andrew membuat Levo mengernyit. Ada yang aneh dari Andrew. Sosok itu tak bisa berkata jujur padahal sudah lebih dari satu menit cairan masuk ke tubuhnya. Bahkan Andrew terus menyebut kata dia. Dia siapa yang dimaksud?
"Dia siapa yang kau maksud?" tanya Levo. Tapi Andrew tak menjawab.
Karena tak sabar, Mea maju mendekat. "Kalau kau tak mau jujur, kami akan langsung membunuhmu."
"Bunuh saja aku. Daripada aku harus dibunuh oleh dia."
"Dia? Dia siapa?" Tanya Mea. Tapi tetap tak ada jawaban.
"Levo, kita tak bisa bermain-main lagi. Seseorang akan berkata jujur hanya saat dalam ambang kematian." Nezi menyela.
"Ya, bunuh saja sekarang. Lempar gas Sarin padanya." Zack juga ikut memberi ide.
Levo pun menghela napas pelan. Sepertinya memang benar apa kata Nezi, sepertinya Andrew memang harus dalam ambang kematian agar Andrew mau mengatakan yang sejujurnya.
"Dexa, ambil sebuah botol di sana." Levo menunjuk sebuah botol yang tertata rapi. Hanya ada dua botol. Berisi gas Sarin yang berbahaya.
Dexa mengangguk dan akhirnya mengambil botol itu lalu memberikannya pada Levo.
"Andrew, maafkan aku karena kau harus berakhir sekarang." Levo pun menjatuhkan botol itu hingga pecah dan menutup lubang dengan kayu. Kemudian menutupnya dengan kain hitam.
"Dia pasti akan mencari kalian! Dia pasti akan membunuh kalian!" teriakan terakhir Andrew terdengar samar. Batuk-batuk Andrew juga terdengar. Itu pertanda, paru-parunya telah terkena gas Sarin yang mematikan.
Blackhole menuntaskan misi. Meski masih menjadi teka-teki, siapa 'dia' yang dimaksud oleh Andrew.